Tris Sofia Wartina, Betang Batarung, Rumah untuk Penari
Tris Sofia Wartina selama puluhan tahun setia berkarya untuk seni tari yang mengangkat kekhasan Dayak Kalimantan Selatan.
Menari tak hanya menggerakkan tubuh Tris Sofia Wartina (37) tetapi juga perjalanan hidupnya. Rumahnya di sulap jadi sanggar yang 14 tahun karyanya menghiasi Kota Cantik, Palangkaraya.
Tris tak bisa lupa. Ingatannya kembali pada saat umurnya sembilan tahun. Saat itu, ia diajak orang tuanya untuk menghadiri sebuah acara pernikahan kerabatnya. Acara pernikahan itu mungkin biasa bagi sebagian besar undangan yang hadir, tetapi tidak bagi Tris. Acara yang dibuka dengan tarian itu lekat hingga saat ini.
Bunyi gemerincing gelang di tangan para penari yang ia saksikan 28 tahun lalu itu masih terngiang, bunyinya jatuh dari telinga lalu ke hati Tris. “Saya ingat betul, bahkan semua penarinya saya ingat. Tarian itu melekat, membuat saya ingin belajar menari,” kata Tris di Kota Palangkaraya, Minggu (20/11/2022).
Sejak saat itu Tris mau belajar menari. Tahun 2003 ia sempat mengikuti workshop yang digelar Bagong Kussudiardja di Yogyakarta. Tiga tahun kemudian, Tris menjadi mahasiswa Universitas Palangka Raya (UPR) yang mewakili daerahnya untuk mengikuti Festival Tari se-pulau Borneo di Sarawak, Malaysia.
Ia terus menari hingga akhirnya membentuk komunitas penari yang belum ia beri nama pada tahun 2008. Komunitas itu kerap diajak pentas oleh pemerintah melalui Dinas Kepemudaan dan Olah Raga Kota Palangkaraya saat itu. Ia pun memutuskan untuk membuat sanggar tari. Meski usianya masih begitu muda, ia cukup percaya diri hingga akhirnya nama Sanggar Betang Batarung diresmikan tahun 2009.
Nama Betang Batarung tidak muncul begitu saja. Nama itu diberikan oleh beberapa tokoh adat Dayak yang kerap ia kunjungi untuk dimintai pendapat. Almarhum Sabran Achmad, salah satu tokoh pendiri Provinsi Kalimantan Tengah, memberikan nama itu. Betang, salam bahasa Dayak Ngaju berarti rumah, sedangkan Batarung banyak diartikan sebagai petarung, namun makna sebenarnya adalh harkat dan martabat.
“Jadi rumah (sanggar) ini, rumah untuk semua kalangan, muda sampai tua, kalangan atas sampai kalangan bawah. Orang Dayak juga suku manapun yang mau belajar ada di sini,” kata Tris.
Tris bercerita, sanggar itu dimulai hanya dengan delapan sampai 10 orang saja, lalu 14 tahun berlalu sejak 2008, jumlah anggota sanggar itu berlipat ganda menjadi lebih dari 500 orang hingga saat ini, baik yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif lagi.
Beragam. Kata itu bisa menggambarkan sanggar seni di Kota Palangkaraya, termasuk sanggar milik Tris. Para penari yang menarikan ragam tarian Dayak berasal dari berbagai latar belakang, persis seperti filosofi betang atau rumah panjang orang Dayak, yang merupakan rumah bagi semua.
Baca juga: Diego Campos Konsistensi Mengantar Jadi Juara Dunia
Identitas Dayak
Minggu siang, Tris yang sedang hamil besar memegangi pinggangnya bukan untuk menari tetapi masih memperhatikan beberapa anak-anak didiknya yang sedang berlatih menari. Matanya awas, memerhatikan. Di tengah keseriusannya itu, salah satu pengunjung tiba-tiba bertanya beberapa alat yang digunakan anak-anak itu menari. Ia pun menjelaskan, seperti Ganggereng yang bentuknya seperti bambu namun diisi oleh kacang hijau sehingga bunyinya gemerincing jatuh ke telinga.
Pengetahuan itu, kata Tris, penting untuk diajarkan ke anak-anak didiknya. Sehingga menari bukan hanya soal gerak tubuh, melainkan ekspresi diri, juga mengenalkan jati diri mereka sebagai seorang Dayak.
Atas dasar itu, Tris kemudian mendirikan Lembaga Kursus dan Pelatihan Betang Batarung. Lembaga itu merupakan, sebuah wadah pendidikan non-formal yang memiliki kurikulum dan silabus pendidikan non-formal. Sehingga anak-anak didik Tris tak hanya mengenal Dayak lewat tarian tetapi juga pengetahuan.
“Misalnya menari Mandau, propertinya itu apa saja itu kami ajarkan. Jadi kalau menari tetapi gak tau apa yang kalian kenakan itu gak bisa dapat ‘rasa’-nya,” ungkap Tris.
Tris mengungkapkan, sebagai penari ia kerap mendapatkan pertanyaan-pertanyaan mulai dari apa yang ia kenakan hingga gerakan. Nah, pertanyaan itu pun kerap didapat para penari atau anak didiknya yang bahkan sebagian dari mereka bukan orang Dayak, sehingga mendapatkan pendidikan tentang kearifan lokal Dayak menjadi penting, bahkan bagi orang Dayak sendiri untuk menguatkan identitas mereka.
Tris paham betul bahwa tarian Dayak tak terlepas dari lingkungan atau alamnya. Gerakan-gerakan dari tiap jengkal tarian Dayak diambil dari apa yang leluhur mereka lihat, dengar, dan rasakan. Seperti tarian yang menjadi andalan sanggar milik Tris yakni, tarian Hatampung Penyang.
Tarian itu merupakan gabungan dari banyak gerakan tari khas Dayak Kalimantan Tengah, mulai dari dadas hingga tarian mandau (parang khas Dayak). Tris bercerita, saat menciptakan Hatampung Penyang, banyak dasar atau pakem tarian lain yang tidak diubahnya dan gerakan-gerakan itu berasal dari alam.
“Ada gerakan melompat-lompat karena hidup di tanah gambut atau di hutan ketika banyak duri yang merintang kita melompat-lompat, atau kepakan sayap burung haruei (sejenis merak khas Kalimantan) dan ada juga gerakan seperti air sungai mengalir,” kata Tris.
Untuk melestarikan pengetahuan itu juga, selama empat tahun terakhir Tris menggelar Pagelaran Kesenian Betang Batarung yang isinya tak hanya pagelaran tari tetapi juga diskusi-diskusi yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya mulai dari seni tari, seni music Dayak dan banyak hal kesenian lain.
“Pagelaran kesenian itu juga jadi wadah apresiasi untuk penari-penari muda, tetapi itu merupakan rangkaian acara ulang tahun sanggar ini,” ungkap Tris.
Dari rumah kecil di sudut Kota Palangkaraya menjadi rumah banyak penari yang membuat mereka menjadi besar. Tris merasakan betul makna dari nama Betang Batarung, ia yang sebelumnya tak mengenal banyak orang kini memiliki salah satu sanggar terbesar di Kota Palangkaraya bahkan Kalimantan Tengah. Sanggar itu pun mengepakkan sayapnya hingga ke luar negeri.
Sebelum pandemi Covid-19 melanda, Betang Batarung diundang ke beberapa negara mulai dari London di Inggris, Kanada, Malaysia, dan Belanda. Pentas di pulau Borneo hingga beberapa kota lain di Indonesia juga pernah dirasakan sanggar itu maupun Tris sebagai penari.
“Keunikan jadi ciri khas yang ditangkap para penikmat seni di luar negeri, keunikan Dayak dalam tarian,” ungkap Tris.
Nama : Tris Sofia Wartina
Lahir: Kuala Kapuas, 22 Maret 1985
Riwayat pendidikan:
•1991 – 1997SDN Negeri 4, Jalan Kini Balu Palangka Raya
•1997 – 2000SMP Negeri 2, Jl Diponegoro Palangka Raya
•2000 – 2003SMA Negeri 1, Jl Ais Nasution No. 2 Palangka Raya
•2003 – 2008S-1 Fak. Teknik, Universitas Palangka Raya,
•2019 – 2022S-2 Magister Manajemen, Universitas Palangka Raya
Pencapaian:
•Tahun2008, Finalis Pemilihan Duta Lingkungan Hidup Region Kalimantan mewakili Kalimantan Tengah.
•Tahun 2010 Peringkat III Nasional Pemuda Pelopor Bidang Seni, Budaya dan Pariwisata pada Program Kementrian Pemuda dan Olah Raga Republik Indonesia.
•Tahun 2022 Penata Tari Terbaik, Lomba Tari Daerah Kreasi pada Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) tahun 2022, Kalimantan Tengah.