Heni Kusmiati mencurahkan empatinya untuk penderita talasemia. Ia menghimpun sumbangan dari donatur. Pasien yang kurang mampu diongkosi untuk naik transportasi. Demikian pula mereka yang tak sanggup membayar iuran BPJS.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Heni Kusmiati (56) mengulurkan tangannya untuk ratusan penderita talasemia. Ia mencari donor, menghimpun bantuan untuk pasien tak mampu, hingga menyimak keluhan mereka. Kehilangan buah hati lantaran kelainan darah tersebut menyulut naluri keibuannya untuk merangkul pengidap penyakit yang sama.
Heni dengan ramah memberi tahu mitra-mitranya untuk mengambil nomor antrean. Ia juga mempersilakan ibu setengah baya mengambil formulir. Pengunjung tersebut hendak menyumbangkan darahnya untuk warga Cinere, Depok, Jawa Barat. Pasien berumur 27 tahun itu membutuhkan tiga donor.
”Syukurlah, saya carikan sudah dapat dua orang. Enggak apa-apa. Besok lagi,” katanya di RSUP Fatmawati, Jakarta, Selasa (29/11/2022). Donor tersebut mengambil nomor antrean dan sudah masuk lima menit kemudian. Heni terbiasa bersiaga sejak pukul 09.00.
Beberapa penderita talasemia dan orangtuanya yang berdatangan langsung mencium tangan Heni. Mereka pun berbincang dengan akrab. ”Sekarang, Hb (hemoglobin) kamu rendah. Jangan tunggu lapar, ya. Biar makan sedikit-sedikit yang penting, terus,” katanya menasihati pasien muda.
Kedatangan dokter untuk menjelaskan komunitas yang hendak membantu penderita talasemia spontan ia tanggapi dengan bersemangat. Demikian keseharian warga Pasar Minggu, Jakarta, tersebut. Berjaga di unit transfusi darah (UTD), Heni tak pernah bertopang dagu.
Acap kali ia malah lintang pukang melayani pasien dan keluarganya. Sejak pagi hingga malam, ponsel Heni tak pernah berhenti menerima pesan soal talasemia. ”Pernah, dua jam telepon saya heng. Saya sampai puyeng. Mana, (ponsel) satu lagi hilang,” katanya.
Heni juga hilir mudik di ruang talasemia. Ia mengecek kehadiran pasien, menyampaikan imbauan membayar iuran BPJS, memberikan informasi soal ketersediaan darah, mengatur kedatangan penderita talasemia, hingga mendengarkan kegundahan mereka.
”Waktu seharusnya kontrol, beberapa pasien enggak datang. Ternyata, enggak punya biaya. Saya minta datang saja dulu,” ujarnya. Heni bersama sejumlah donatur membuat grup percakapan lewat gawai untuk mengumpulkan bantuan. Penderita talasemia yang hidupnya susah, dibayari untuk naik transportasi.
”Pernah, pasien carter angkot dari Parung (Bogor). Panderita talasemia lain dari Leuwiliang (Bogor) naik taksi online (daring),” ujarnya. Mereka yang punya sepeda motor diongkosi untuk membeli bensin. Belum lagi, sejumlah pengidap penyakit keturunan tersebut tak mampu membayar iuran BPJS.
Akhir pekan
”Kadang, pasien juga sakit jadi perlu biaya tambahan tapi saya mengingatkan, jangan terus-menerus. Bantuan hanya dari donatur yang sebagian tak menentu,” katanya. Jika penderita talasemia tak datang, Heni berinisiatif mengontaknya. Ia juga membantu menyiapkan nomor antrean untuk pendonor.
”Kalau sedang menuju rumah sakit, mereka kasih tahu. Waktu sampai, nomor sudah didapatkan jadi transfusinya lebih cepat,” ucapnya. Sehari-hari, ia melayani donor dan pasien talasemia hingga pukul 14.00. Jika sudah pulang, tetapi mereka masih datang, Heni mengoordinasikannya.
Ia meminta donor mengirimkan foto formulir yang diteruskan kepada pasien. Bahkan, Heni tak segan datang pada akhir pekan. ”Kalau dijapri, saya berangkat. Soalnya, kasihan juga sebagian donor waktunya luang Sabtu atau Minggu saja,” ujarnya.
Ia dan sukarelawan-sukarelawan lain berbagi informasi mengenai penderita talasemia yang membutuhkan darah lewat grup daring. ”Kalau kekurangan, dicarikan donornya. Pasien tertentu juga dibuatkan grup penyumbang untuk patungan biaya,” ujar Heni sambil menunjukkan layar gawainya.
Ia pun gembira dengan pengetahuan para donor yang semakin luas. Semula, mereka umumnya hanya tahu leukemia, hemofilia, atau anemia. ”Selalu ada yang bersedia menolong. Kalau talasemia, makan yang bergizi pun enggak jadi darah,” katanya.
Jumlah pengidap talasemia yang rutin datang ke RSUP Fatmawati untuk transfusi darah terdiri atas 79 pasien dewasa dan 115 anak. ”Hari ini, dewasa misalnya, 11 orang. Kemarin, 12 anak yang kontrol. Kalau bisa, pasien bawa donor sendiri,” katanya.
Tak heran, ia bak pengayom, bahkan sudah dianggap ibu bagi pengidap talasemia. Heni yang senantiasa terlihat antusias dan sigap itu tak menerima honor. ”Paling, uang pulsa saja, Rp 300.000 per bulan dari YTI (Yayasan Thalassaemia Indonesia),” katanya.
Anak meninggal
Ia juga pengurus Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalassaemia Indonesia. Anak sulung Heni, Dicky Supriatna pun mengidap talasemia. Namun, sudah berpulang karena komplikasi dengan hepatitis C, tahun 2012. Sebelum menutup mata, mendiang menyampaikan amanat kepada orangtuanya.
”Dicky pejuang talasemia yang tangguh. Waktu meninggal, usianya 26 tahun. Saya diminta membantu pasien-pasien lain,” kata Heni mengungkapkan latar belakang kegigihannya itu. Anak kedua pun hidupnya singkat. Saat masih berumur lima bulan, bayi tersebut demam lalu mengembuskan napas terakhirnya.
Setiap bulan, dibutuhkan ratusan kantong darah di RSUP Fatmawati. Pandemi menambah beban lantaran donor berkurang. Saat awal merebaknya Covid-19, masyarakat cemas keluar rumah, apalagi datang ke rumah sakit dengan pasien penyakit menular itu yang tiba silih berganti.
”Stok darah sempat anjlok. Sekarang, sudah pulih. Kalaupun permintaan belum terpenuhi, menunggu satu atau dua hari saja,” ujarnya. Vaksin dua kali ditambah penguat atau booster dan meredanya pandemi memantik keberanian donor. Heni tak bisa menampik kekhawatirannya terserang Covid-19.
”Niat saya baik jadi bismillah saja. Alhamdulillah, saya belum pernah kena (Covid-19). Saya selalu mengenakan masker, pakai cairan antiseptik, dan cuci tangan,” katanya. Heni juga rajin mandi setibanya di rumah, mengonsumsi vitamin, dan makan teratur. Ia hanya kurang istirahat, tetapi tetap sehat.
”Saya enggak pernah tidur siang. Setelah pulang, masih memenuhi order memasang payet. Tengah malam baru istirahat,” ujarnya. Sejak bangun sekitar pukul 05.00, Heni memang tak bisa diam. Ia tak punya pegawai untuk menyematkan manik-manik pakaian.
”Pendapatan lain, dari toko mainan di rumah. Eceran seperti boneka, tas, dan mobil-mobilan. Kalau saya pergi, ibu yang jaga toko supaya tetap aktif meski sudah sepuh,” ujarnya. Toko di gang tersebut juga menjual kerudung, alat tulis, dan aksesoris rambut.
Sementara suami Heni bekerja sebagai teknisi listrik lepas. Saat ditanya soal pendapatan, ia enggan menyebutkan jumlahnya. ”Cukuplah buat makan. Anak saya yang ketiga, syukurlah sehat. Sudah kerja. Kini, saya bisa mencurahkan hati untuk pasien talasemia dan donor,” ujarnya sambil tersenyum.