Dalam banyak tulisan di kolom Udar Rasa, yang dimuat di Kompas Minggu, Bre berkali-kali membahas masalah kognisi, sebuah sistem yang menghargai proses pengetahuan dan kesadaran lewat pengalaman.
Oleh
PUTU FAJAR ARCANA
·7 menit baca
Bre Redana seperti paket lengkap dalam ilmu menulis. Sebagai jurnalis, mungkin ia salah satu orang yang menggunakan kepala dan kaki sekaligus untuk menerapkan ilmu dan pekerjaan seorang wartawan. Ia dikenal sebagai jurnalis yang menggunakan daya nalar untuk bekerja, terutama dalam memberi kerangka dan landasan untuk menyusun rencana peliputan. Pada ujung lain, Bre juga seorang jurnalis yang menggunakan kaki dan kepekaan tubuh untuk hadir langsung dalam setiap peristiwa.
Pengalaman, sebagai jurnalis yang telah melewati tiga dekade itu, secara sungguh-sungguh ia terapkan ketika bekerja di ranah ilmu yang berbeda. Karya-karya fiksinya sangat mencerminkan pengamalan ilmu jurnalistik yang mendasar. Ia misalnya, mengharuskan dirinya untuk hadir dalam bentangan peristiwa, yang sebelumnya telah ia riset secara kepustakaan. Novel terbarunya Kidung Anjampiani, adalah satu contoh novel yang didahului oleh penelitian mendalam tentang eksistensi Kerajaan Majapahit. Berkali-kali, Bre harus mendatangi situs Trowulan di Jawa Timur dan sekitarnya untuk memastikan bahwa kerajaan itu benar-benar pernah ada. Tidak hanya tercatat dalam dokumen-dokumen sejarah dan nostalgia kebesaran Nusantara.
Sebagai dokumen sejarah yang telah terbentang sejak abad ke-13, keberadaan Kerajaan Majapahit, telah banyak diteliti, dikaji, untuk kemudian dituliskan dalam berbagai bentuk media. Sebagai jurnalis yang berpengalaman, Bre membidik beberapa sudut pandang yang jarang dirunut oleh para peneliti sebelumnya. Ia menggunakan sensitivitas seorang jurnalis untuk kemudian menemukan hal-hal eksklusif. Dari sini, lahirlah trilogi buku, Majapahit Milenia , Dia Gayatri , dan Kidung Anjampiani .
“Ini mungkin akan jadi tetralogi,” kata Bre, Minggu (30/10/2022) di Jakarta. Bukan tidak mungkin pula bahan risetnya yang begitu kaya, selain itu akan menjadi karya-karya yang lain pula. Sebab, ujar Bre, menulis itu bukan semata-mata karena ide ilham, tetapi penerapan manajemen waktu dan disiplin. Dua hal terakhir inilah yang banyak “diingkari” oleh para penulis, sehingga mereka menemukan inspirasi. Seolah, jika tak ada inspirasi, maka mereka tidak menulis, apalagi menghasilkan karya.
Tepat pada hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2022 lalu, novel Kidung Anjampiani diumumkan sebagai penerima penghargaan Sastra Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi 2022. “Tentu saja saya senang. Selama ini, seperti sering dikatakan Vivi, saya sejatinya tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menulis,” kata Bre. Vivi yang dimaksud tak lain dari belahan jiwanya Vivi Yip, seorang art dealer yang telah malang melintang dalam dunia seni rupa.
Menurut Vivi, seperti diceritakan Bre, ia tidak bisa beres-beres rumah, karena hasilnya pasti tidak rapi. Kalau pun mencoba membantu memasak, malah bikin dapur berantakan. “Nyopir pun saya tidak begitu terampil. Katanya, seperti sedang menumpang pengemudi reli Paris-Dakar. Untung kamu bisa nulis kata Vivi, dah satu itu cukup,” tutur Bre. Ia nyengir seperti kebiasaannya selama ini.
Sepintas Bre seperti bermain-main saat menceritakan ini, tapi memang begitulah sejatinya. Sejak usia SMP ia sudah menerjunkan dirinya ke dalam dunia tulis-menulis. Dalam ingatannya, ia pertama menulis di majalah MIDI ( Muda-Mudi , 1972-1976), salah satu pengasuhnya bernama JB Kristanto. Mas Kris, begitu Bre memanggilnya, di kemudian hari menjadi rekan kerja di harian Kompas.
“Tahun itu juga saya mengirim tulisan ke Kompas , tetapi tidak pernah dimuat, hahaha…” tutur Bre. Saat mahasiswa, Bre aktif mengirimkan tulisan-tulisannya ke berbagai media. Ia bahkan menjadi redaktur pelaksana per kampus di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga bernama Gita Mahasiswa . Ia juga tak henti-hentinya mengirim tulisan ke koran kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) bernama Kampus . Sesungguhnya, sejak itu jurusan hidup seolah telah ditentukan. Ia akhirnya memilih kuliah di Sastra Inggris UKSW dan melanjutkan studi di School of Journalism and Media Studies Darlington, Inggris (1990-1991).
Peradaban dongeng
Menurut Bre, kisah Kidung Anjampiani bermula dari seekor laba-laba di rumahnya di kawasan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Laba-laba yang disebut badindong itu, mengingatkan Bre pada kampung halamannya di Salatiga. “Dia memberi suasana nostalgia. Jadilah inspirasi untuk tokoh utama novel Kidung Anjampiani itu,” tutur Bre.
Bagaimana mungkin seekor laba-laba member zaman Majapahit?
Majapahit, kata Bre, telah menjadi obsesinya selama ini. Selain selalu tergoda untuk menampilkan kebesarannya, pada penandaan Majapahit menjadi kosa kata yang kaya. Dia mengungkapkan mengenai masyarakat, bangsa, agama, teknologi, dan sistem pemerintahan, yang kemudian dinukilkan dalam novel. Bre sendiri, sangat akrab dengan dongeng Majapahit sejak kecil, antara lain konsumsi lewat pertunjukan ketoprak.
Dalam banyak hal, ujar penulis kelahiran 27 November ini, peradaban manusia dibentuk oleh dongeng, baik di Eropa melalui mitologi Yunani, maupun di Asia melalui Mahabharata dari India. Kitab-kitab seperti I La Galigo di Sulawesi atau lontar-lontar turunan dari Ramayana dan Mahabharata, telah ikut campur membentuk sebagian karakter dan bahkan ritus pada masyarakat Sulawesi Selatan, Jawa, dan Bali.
“Menurut saya, sebelum sains berkembang, manusia mengembangkan awareness terlebih dahulu. Saya yakin itu yang dimiliki semua pujangga besar dari Barat dan Timur, seperti Goethe, Shakespeare, Ronggowarsito dan Pedanda Sidemen,” ujar Bre.
Berawal dari laba-laba, menurut Bre, ia ingin membabar pandangan-pandangan spiritual, terutama yang ia dapatkan dari guru silatnya, Gunawan Rahardja dari Persatuan Gerak Bangau Putih. Guru, begitu Bre memanggil Gunawan Rahardja, adalah “guru” mengenai ajaran Zen. Secara teoritik, keilmuan di Bangau Putih seperti mind, body, spirit, telah ditulisnya dalam gaya esai pada buku Aku Bersilat Aku Ada dan Memo tentang Politik Tubuh . Pandangan-pandangan itu, diterapkan Bre dalam kehidupan sehari-hari, “Tak ada harapan lebih dalam seperti menulis novel, khusus dalam nulis Kidung Anjampiani .”
Tokoh Anjampiani tak lain adalah Kuda Anjampiani, putra satu-satunya dari Ranggalawe, yang menjadi adipati di Tuban. Anjampiani lebih memilih laku hidup sebagai seorang pujangga selain dari terlibat dalam karut-marut dunia politik. Ia menganalogikan dirinya seperti laba-laba, yang urusannya bukan mencari makan, tetapi mengabadikan kenangan. Mencari laba-laba, kata Bre, tidak saja membangun rumah sebagai perlindungan, tetapi rumah sekaligus jaring-jaring untuk merawat kenangan. Bukankah dunia Majapahit yang kita hadapi sekarang ini sepenuhnya adalah kenangan dunia? Dunia nostalgia, yang kalau terus dikupas akan melahirkan lapis demi lapis peradaban manusia dengan segala pahit dan getir di dalamnya.
Oleh sebab itu, ujar Bre, proses membaca (dan menulis) merupakan upaya mengembangkan daya imajinasi dan kognisi. Jadi, produk seperti esai, puisi, novel, dan lainnya, sejatinya kurang begitu penting dibanding proses terus-menerus untuk mengolah kognisi. “Pendeknya untuk mengolah kesadaran,” katanya.
Mengapa diksi sebagian besar pejabat dan politik kita, jika dibandingkan dengan pejabat dan politik di Barat, begitu buruk, kata Bre, selagi budaya membaca belum berkembang penuh, tiba-tiba kita meloncat ke era digital. Digitalisme membawa perkembangan kognisi yang berbeda dari sistem analog. “Belum tuntas kita pada budaya baca, apalagi menulis, tiba-tiba masuk ke era digital yang lebih visual,” tutur Bre.
Dalam banyak tulisan di kolom Udar Rasa, yang dimuat di Kompas Minggu, Bre berkali-kali membahas masalah kognisi, sebuah sistem yang menghargai proses pengetahuan dan kesadaran lewat pengalaman. Padahal, katanya, perjuangan seorang penulis di masa sekarang ini adalah perjuangan untuk memelihara teks, untuk melawan perubahan yang dibawa oleh budaya visual. “Kalau dulu visual culture batas televisi dan bioskop, kini dia mengepung kita melalui digitalisme,” ujar Bre.
Meski belakangan Bre membuat blog untuk mengungkapkan ekspresi menulisnya, ia sama sekali tidak berpikir untuk membuat kanal Youtube, misalnya. “Saya masih percaya pada kekuatan teks atau tulisan untuk memberi sumbangan terhadap kebudayaan manusia. Meskipun ini menjadikan saya tak lebih dari Don Quixote memanah kincir angin,” katanya.
Terhadap karya Bre, ekonom dan politikus Hendrawan Supratikno mengatakan, novel-novel Bre adalah ekspresi nostalgia dan ideologis. Dengan memainkan nostalgia Majapahit, Bre ingin menyampaikan pesan-pesan ideologi karena memicunya terhadap kehidupan bangsa dan pengalaman traumatis yang pernah mendera bangsa ini.
“Tragedi sejarah dan pengalaman traumatik sangat memengaruhi karya-karya saya,” kata Bre, yang pernah mengelola Kompas edisi Minggu selama hampir 10 tahun.
Pada akhirnya, ceritanya, pengalaman-pengalaman itu membuat ia bisa menemukan sudut pandang yang khas tentang kehidupan, yang mungkin tidak dimiliki banyak orang. Milan Kundera, seorang penulis dan intelektual idolanya, lahir dan tumbuh di Cekoslovakia, terusir dari negerinya ketika invasi Rusia. Akhirnya, ia tinggal di Paris, Perancis, dan di situlah ia menemukan maxim yang terkenal, “Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa,” tegas Bre.
Hidup dan pikiran Milan Kundera kini hidup dalam diri Bre. Ia berkelindan dengan pengalaman hidupnya yang memendam trauma, terutama ketika kehilangan bapak di masa kecil saat tragedi 1965 meletus, cita-citanya menjadi penulis, serta pengembaraannya di dunia jurnalistik. kemudian bertemu untuk menjadi seorang penulis yang memiliki dan ideologi yang tak tergoyahkan.
Bre Redana
Lahir: Salatiga, 27 November 1957
Pendidikan:
Sastra Inggris, Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Sekolah Jurnalisme dan Studi Media, Darlington, Inggris
Profesi: Jurnalis dan penulis fiksi
Prestasi:
Penghargaan Sastra Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi 2022.