Sebagai manusia ciptaan Tuhan, Teman Tuli setara dengan teman dengar. Namun, stigma terhadap Teman Tuli sebagai kelompok minoritas masih ditemukan. Mereka diperolok oleh teman dengar dan tidak diberikan kesempatan maju
Oleh
ZULKARNAINI
·5 menit baca
Kehidupan Teman Tuli atau penyandang tunarungu di Provinsi Aceh tidak baik-baik saja. Mereka belum mendapatkan hak seperti pendidikan yang layak, pekerjaan, dan hak untuk berkembang. Tidak mau menyerah pada keadaan, Mubaraq mengajak Teman Tuli untuk berjuang.
Ratusan anggota Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) Provinsi Aceh, pada Minggu (25/9/2022) melakukan pawai di sepanjang jalan protokol Kota Banda Aceh. Merayakan Hari Bahasa Isyarat Internasional (HBII) 2022 mereka mengkampanyekan bahasa isyarat menyatukan perbedaan.
Mubaraq (34) terlihat semangat mengomandoi peserta pawai. Kedua tangannya bergerak cepat memberikan aba-aba kepada peserta. Mereka semua adalah Teman Tuli, tetapi dengan bahasa isyarat mereka lancar berkomunikasi.
Mubaraq adalah salah seorang Teman Tuli, dia dipercaya sebagai Ketua Gerkatin Aceh. Sebagai pemimpin di komunitas Teman Tuli, Mubaraq tidak henti mengkampanyekan kesetaraan dan memperjuangkan hak Teman Tuli.
“Kita setara. Jangan ada lagi diskriminasi,” ujar Mubaraq dalam puncak perayaan HBII di Balai Kota Banda Aceh. Hadir juga pejabat Pemerintah Kota Banda Aceh dan perwakilan Dinas Sosial Provinsi Aceh.
Mubaraq lahir di Peureulak Barat, Kabupaten Aceh Timur 13 Oktober 1988. Dia satu-satunya di keluarga yang mengalami tunarungu.
Tahun 1990-an, Peureulak Barat termasuk daerah yang tertinggal. Jangankan sekolah luar biasa, fasilitas pendidikan sekolah umum juga masih terbatas. Mubaraq terpaksa bersekolah di sekolah umum.
Menjadi disabilitas di sekolah umum tidak mudah. Dia kesulitan memahami pelajaran. Mubaraq tidak pernah belajar bahasa isyarat. Dia berusaha keras belajar menulis dan berhitung. Dia kerap diperolok oleh teman dengar.
Kala itu Aceh Timur sedang didera konflik bersenjata. Orangtuanya yang berprofesi sebagai pengusaha kelapa sawit membawa keluarga pindah ke Jakarta. Keputusan itu justru membuka jalan baik bagi Mubaraq. Di Jakarta dia dapat mengenyam pendidikan di sekolah luar biasa yang berkualitas.
“Sejak masuk SMP Luar Biasa di Jakarta saya baru tahu ada bahasa isyarat untuk tunarungu,” kata Mubaraq.
Mubaraq menamatkan sekolah menengah atas di SMALB Santi Rama, Jakarta Selatan. Mubaraq merasa beruntung mendapatkan pendidikan yang layak selama berada di Jakarta. Namun orangtua berat memberi izin untuk dirinya kuliah. “Kata ayah urus kebun sawit saja, tetapi saya mau membantu Teman Tuli,” kata Mubaraq.
Tahun 2010, Mubaraq kembali ke Aceh. Dia mencari komunitas Teman Tuli. Mubaraq merasa miris menemukan fakta banyak Teman Tuli yang tidak mendapatkan pendidikan formal, bahkan ada yang tidak bisa bahasa isyarat. Kondisi mereka kian tersudut di Aceh kala itu tidak ada penerjemah atau juru bahasa isyarat.
Ketiadaan juru bahasa isyarat membuat Teman Tuli sulit mengakses pelayanan publik. Bahkan saat berhadapan dengan hukum, Teman Tuli kesulitan untuk membela diri.
Mubaraq kemudian bergabung dengan Gerkatin Aceh dan pada akhirnya dia dipercaya sebagai Ketua Gerkatin Aceh dari 2018 hingga 2023. Bersama anggota Gerkatin Aceh, dia melakukan kampanye hak Teman Tuli.
Seperti yang dilakukan pada Minggu, 25 September 2022. Mereka melakukan pawai di tengah Kota Banda Aceh. Mereka membawa spanduk berisi kampanye Hari Bahasa Isyarat Internasional. Mereka mengenakan kaus bertuliskan simbol-simbol huruf yang digunakan dalam bahasa isyarat.
Demi mensukseskan kegiatan itu, Mubaraq rela meninggalkan istri dan anak di Aceh Timur. Selama di Banda Aceh dia bersama anggota Gerkatin Aceh pontang-panting mencari dukungan, terutama ke pihak pemerintah. Mereka kesulitan pembiayaan, tetapi perayaan HBII harus sukses. Perayaan itu memiliki makna eksistensi Teman Tuli di Aceh.
Setara
Tahun 2015, Mubaraq menikah dengan Mastura. Mubaraq bersyukur istrinya seorang teman dengar memandang dirinya setara. Mubaraq mengajari istri dan anak-anaknya bahasa isyarat.
Untuk membiayai hidup keluarga, dia membuka usaha penjualan barang pecah belah. Dia harus bolak balik Aceh Timur - Banda Aceh untuk mengurus Gerkatin dan mengurus keluarga.
Mubaraq menuturkan sebagai manusia ciptaan Tuhan, Teman Tuli setara dengan teman dengar. Namun, stigma terhadap Teman Tuli sebagai kelompok minoritas masih ditemukan. Mereka diperolok oleh sebagian teman dengar dan tidak diberikan kesempatan untuk berkembang.
Para Teman Tuli tidak semua mendapatkan hak pendidikan yang layak. Faktor penghambat datang baik dari keluarga dan lingkungan sekitar mereka sendiri.
Penghambat dari dalam seperti keluarga memandang tidak perlu memberikan akses pendidikan yang tinggi bagi anggota keluarga yang mengalami tuna rungu. Ada keraguan terhadap kemampuan tuna rungu untuk mandiri. Kondisi ekonomi keluarga yang lemah juga membuat pendidikan bagi tuna rungu dinomorduakan.
Sementara faktor penghambat dari luar terutama adalah tidak tersedianya fasilitas pendidikan yang representatif bagi Teman Tuli. Fasilitas pendidikan yang baik bagi Teman Tuli masih terpusat di perkotaan.
“Hanya sedikit Teman Tuli mendapatkan pendidikan yang bagus. Sebagian Teman Tuli tidak bisa berbahasa isyarat,” ujar Mubaraq.
Saat wawancara dengan Kompas, Mubaraq didampingi Feby, juru bahasa isyarat. Saat ini di Aceh hanya terdapat dua orang juru bahasa isyarat. Mereka tinggal di Kota Banda Aceh, sementara Teman Tuli tersebar di 23 kabupaten/kota di provinsi itu.
Mubaraq berharap semakin banyak teman dengar yang mau belajar bahasa isyarat dan mau menjadi juru bahasa isyarat. “Saya berharap bahasa isyarat membuat kita saling memahami satu sama lain,” kata Mubaraq.
Mubaraq
Lahir : Aceh Timur, 13 Oktober 1988
Pendidikan terakhir: SMALB Santi Rama Jakarta Selatan