Suara Senyap Teman Tuli
Pandemi membawa beban ganda bagi para penyandang tunarungu. Mulai dari kehilangan pekerjaan hingga makin sulitnya berkomunikasi karena mulut-mulut yang kini tersembunyi di balik masker.
Rontoknya ekonomi global beriringan dengan laju pengangguran. Pada saat yang sama, Heny justru membuka usaha kedai kopi baru di Jambi, pertengahan 2020. Kala itu, pandemi tengah menyeruak di Indonesia.
Heny mendatangkan sejumlah lulusan muda sekolah menengah. Dua di antaranya tunarungu.
Tak disangka usaha itu berkembang. Enam bulan kemudian, ia menambah jumlah karyawan hingga menjadi 25 orang. Tujuh di antara karyawannya menyandang tunarungu dan tunawicara.
Sebagian pelanggannya sempat heran. Mengapa sebagian pelayan di kedai itu tak banyak bicara? Baru belakangan mereka ketahui bahwa barista dan pelayan kedai itu tunarungu.
Kehadiran tunarungu bekerja di kedai kopi, istimewanya, justru mendatangkan simpati para pelanggan. Apalagi, mereka dapati barista dan pelayan melayani dengan cekatan.
”Mereka dengan cepat beraptasi. Ada yang terampil di dapur, hingga melayani pesanan, dan menjadi barista. Ada juga yang berbakat mendekorasi kafe,” kata Heny.
Baca Juga: Bangun Solidaritas Kolektif bagi Disabilitas
Beberapa tamu datang rutin. Tak hanya ngopi, mereka sekaligus belajar bahasa isyarat. Seiring itu, semakin bertumbuh kepedulian bagi teman tuli, sebutan akrab untuk penyandang tunarungu. Terlebih menjelang peringatan Hari Bahasa Isyarat Internasional yang jatuh pada 23 September mendatang, gairah anak-anak muda belajar bahasa isyarat kian menjamur.
Heny menceritakan, dirinya merasa miris mengetahui latar belakang kehidupan teman-teman tuli. Kerap tersisihkan dalam pergaulan hingga sulit mendapatkan akses dunia kerja. Hal itulah yang menjadi pertimbangan bagi dirinya untuk menaruh peduli.
Gairah anak-anak muda belajar bahasa isyarat kian menjamur.
Sebelum memutuskan mempekerjakan karyawan tuli dan bisu, Heny sempat dihadapkan pada satu pertanyaan, bagaimana jika mereka menambah beban usaha itu? Bagaimana jika peralatan canggih pengolah kopi di kedai dibuat rusak karena karyawan yang tak mumpuni. Namun, kekhawatiran itu cepat ditepis. ”Ketimbang khawatir, lebih baik saya mulai dengan melatih mereka,” kenangnya.
Tak disangka, karyawan teman tuli beradaptasi lebih cepat. Meski tak dapat bicara dan mendengar, sebaliknya mereka terampil dan cekatan. ”Benar-benar di luar dugaan saya. Mereka belajar dengan cepat,” ujarnya.
Upaya Kopi Ketje Jambi yang menyerap tenaga kerja tuli dan bisu menjadi segelintir kisah solidaritas dan kemanusiaan. Dalam webinar bertajuk ”Suara Teman Tuli dan Persoalannya”, akhir Agustus lalu, Ketua Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia Provinsi Jambi Angga Nikola mengisahkan beratnya kehidupan teman tuli. Mereka kerap tersisihkan dari berbagai akses dan pelayanan negara.
Baca Juga: Solidaritas di Balik Gerakan Pembalut Kain
Hal itu diperparah lagi dengan situasi pandemi Covid-19. Pandemi telah membawa beban berlipat bagi teman tuli yang terhadang dalam berkomunikasi. Gerak bibir yang melengkapi bahasa isyarat di antara mereka kini harus tersembunyi di balik lembar masker pelindung.
Menurut Angga, protokol kesehatan bermasker di satu sisi melindungi warga dari ancaman tertular virus korona baru. Namun, teman tuli jadi kesulitan berkomunikasi karena mereka tidak diberikan solusi.
Biasanya mereka berkomunikasi dengan mengandalkan gerak mulut dan bahasa isyarat. ”Jika lawan bicaranya menutup mulut dengan masker, bagaimana teman tuli dapat memahami hal yang sedang dibicarakan? Teman tuli, kan, tidak bisa mendengar,” ujarnya.
Jika lawan bicaranya menutup mulut dengan masker, bagaimana teman tuli dapat memahami hal yang sedang dibicarakan?
Baru belakangan masker transparan diproduksi. Sejumlah aktivis teman tuli memasarkannya secara daring. Jumlah masih sangat terbatas. Harganya pun cenderung lebih mahal karena proses produksinya lebih sulit.
Selain itu, hanya segelintir orang mau memakai masker transparan. Masker terasa lebih pengap di mulut karena menggunakan bahan plastik di bagian depan.
Baca Juga: Solidaritas Penyandang Disabilitas Makin Kuat di Masa Pandemi
Gerakan mulut yang kini bersembunyi di balik masker, lanjut Angga, tak hanya menciptakan gunung dilema bagi para teman tuli. Hal itu sekaligus menguak beragam diskriminasi yang mereka alami selama ini.
Teman tuli masih kesulitan mengakses berbagai sektor layanan. Di Provinsi Jambi, pendidikan jalur formal hanya tersedia di sekolah luar biasa. Hanya ada lima sekolah luar biasa untuk melayani penyandang disabilitas yang tersebar di 11 kabupaten/kota.
Ketua Jurusan Tunarungu Sekolah Luar Biasa (SLB) Prof Dr Sri Soedewi, Jambi, Andam Litasari menceritakan, keberadaan penyandang disabilitas menuntut perhatian khusus dari gurunya. Yang jadi masalah adalah ketika pembelajaran berlangsung pada masa pandemi, belajar mengajar virtual sulit diterima dan dianggap tidak maksimal jika dibandingkan dengan saat berlangsung tatap muka.
Andam pun melihat anak-anak yang telah berhasil lulus pendidikan menengah akan menghadapi masalah berikutnya: sulit mengakses lapangan kerja. Ia kerap mendapatkan keluhan dari sesama teman tuli yang kerap ditolak sewaktu melamar kerja.
Alasannya, karena mereka tuli dan bisu. Hal itu dianggap bakal menjadi beban bagi si pemilik usaha. ”Padahal, biasanya dalam dunia kerja, teman tuli terbilang cepat beradaptasi,” ujarnya.
Baca Juga: Atlet Paralimpiade Jambi Mencoba Bertahan di Tengah Keterbatasan
Tak hanya pada dunia kerja, kendala juga dialami atlet teman tuli. Wakil Ketua Komite Paralimpiade Nasional (NPC) Provinsi Jambi Jambi Khaidir menceritakan, antara pelatih dan atlet bisu serta tuli harus saling menyesuaikan diri dalam berkomunikasi.
”NPC pelum punya pelatih yang bisa berbahasa isyarat sehingga atlet dan pelatih berjuang sendiri untuk saling beradaptasi. Mencari cara membangun komunikasi di antara mereka,” ujarnya.
Senada dengan itu, Sekretaris NPC Kota Jambi Ika Noor Hidayati menambahkan, pelatih yang disediakan untuk atlet disabilitas kebanyakan tak memahami kondisi para disabilitas. ”Akhirnya, dibuat saja bahasa isyarat ala-ala kita. Yang penting atlet bisa paham apa yang dimaksud oleh pelatih dan pengurus,” katanya.
Dalam kehidupan sosial, Direktur Beranda Perempuan Zubaidah mendapati banyak teman tuli mengalami tekanan psikis dan ekonomi. Kondisi pandemi juga berdampak pada makin tingginya kasus kekerasan seksual. Ia khawatir hal itu memperparah kesehatan mental teman tuli. Apalagi, mereka yang menjadi korban kekerasan cenderung kesulitan untuk mengadu karena tak banyak orang dapat mengerti bahasa isyarat.
Baca Juga: Latih Tanding Atlet Tunanetra Merawat Prestasi
Kepala Pusat Kajian Disabilitas Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Thaha Saifuddin Jambi Syahran Jailani mengatakan, menjadi tantangan bagi dunia kampus berkontribusi memberi dukungan bagi disabilitas. Saat ini telah dibentuk pusat kajian disabilitas di kampus. Tugasnya menelaah persoalan sekaligus potensi yang ada di Jambi.
Kampus juga terus didorong untuk dapat memberikan akses pendidikan bagi teman tuli. Pembangunan gedung kampus diupayakan semakin ramah bagi kalangan disabilitas.
Jika semua pihak turut serta membangun solidaritas, beban teman tuli takkan lagi berat. Suara mereka harus tetap didengar meski dalam senyap.