Marsidi Kadengkang, Pengabdian Sangadi untuk Lingkungan Hidup
Marsidi Kadengkang (65) tak pernah segan memberikan pikiran, tenaga, maupun materi kala ditugasi membangun sebuah desa di pelosok Bolaang Mongondow. Salah satu bentuk pengabdiannya adalah sebuah kincir air.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·6 menit baca
Marsidi Kadengkang (65) tak pernah segan memberikan segala yang dia miliki, baik pikiran, tenaga, maupun materi, kala ditugasi membangun sebuah desa bernama Mengkang di pelosok Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, pada 2006. Salah satu bukti besar pengabdiannya adalah sebuah kincir air yang menjadikan desa itu mandiri energi.
”Sangadi (kepala desa) itu perwakilan rakyat, harus jujur dan bertanggung jawab. Sangadi bisa sukses itu kalau masyarakat mau memercayakan program-program yang sifatnya swadaya,” kata Marsidi menirukan petuah kedua orangtuanya, 13 Juli 2022, ketika ditemui di rumahnya di Desa Kopandakan I, Kota Kotamobagu.
Nasihat itu ia terima ketika dilantik menjadi sangadi di Desa Kopandakan pada 1993. Saat itu, ia masih berusia 35 tahun. Kotamobagu belum eksis karena masih menjadi bagian dari Kabupaten Bolaang Monondow yang luasnya mencapai 7.186,58 kilometer persegi.
Prinsip itu masih relevan 13 tahun kemudian, ketika ia mendapat perintah dari Bupati Bolaang Mongondow 2001-2011, Marlina Moha Siahaan, untuk mendirikan desa baru di area perkebunan bernama Mengkang, sekitar 23 kilometer di sisi barat daya Kopandakan. Pembentukan desa itu diperlukan demi mendukung pemekaran kabupaten.
Saat itu, Mengkang hanyalah wilayah perkebunan yang dibuka orang-orang Kopandakan pada 1950-an. Letaknya berbatasan dengan hutan yang pada 1980-an ditetapkan menjadi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Seiring waktu, semakin banyak warga yang mendirikan bukan hanya pondok, tetapi rumah di area perkebunan rakyat itu.
”Saat itu sudah ada 20-an rumah warga asal Kopandakan yang menetap di Mengkang, tetapi belum ada listrik karena PLN belum masuk. Jadi saya beli dinamo 3.000 watt dan peralatan lainnya termasuk kincir air besi dengan biaya sendiri. Bersama warga lain, saya coba bangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH),” ujar Marsidi.
Marsidi yang adalah lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK) jurusan elektro memilih suatu titik di tepi saluran irigasi sebagai lokasi rumah pembangkit berisi instalasi generator. Air di saluran tersebut mengalir cukup deras dari hulu sungai di dalam hutan TNBNW sehingga mampu memutar kincir yang menggantung di atasnya.
Kebijakan Marsidi ternyata mengirim gelombang perubahan di Mengkang yang pada 2006 masih berstatus desa persiapan. Berkat PLTMH itu, ratusan warga yang selama lima dekade selalu hidup berteman gulita tiap malam, akhirnya bisa menikmati terang lampu. Desa itu pun mengucapkan selamat tinggal pada remang lampu botol.
”Sasaran utama saya saat itu adalah anak-anak sekolah supaya mereka bisa belajar di malam hari. Sejak 1980-an memang sudah ada SD di Mengkang. Mengaji pun sudah bisa karena sudah ada lampu. Saya juga belikan tape untuk SD supaya mereka bisa senam pagi,” kenang Marsidi.
Putaran kincir ternyata juga memutar roda pembangunan desa. Tak butuh waktu lama, balai desa, masjid, dan berbagai fasilitas umum didirikan di Desa Mengkang. Warga pun berbas berkegiatan pada malam hari.
Semakin banyak pula warga dari Kopandakan yang hijrah ke Mengkang. Otomatis, konsumsi listrik di desa meningkat sehingga dibutuhkan daya yang lebih besar. Maka, pada 2009 Marsidi kembali merogoh kocek sendiri untuk membeli dinamo berkapasitas 5.000 watt.
Namun, peningkatan daya itu tak cukup karena semakin banyak pula masyarakat yang membeli televisi, lengkap dengan parabola dan dekodernya demi menikmati siaran yang jernih. Maka, sekali lagi, Marsidi menggelontorkan dana pribadi untuk meningkatkan daya pembangkit ke 10.000 watt.
Terakhir, pada 2011, Marsidi membeli lagi dinamo baru untuk meningkatkan kapasitas listrik desa menjadi 20.000 watt. ”Kebutuhan masyarakat memang makin besar, jadi listrik desa harus normal. Karena pakai (tenaga) air, masyarakat tidak perlu bayar, gratis karena sumber energinya dari aliran air di desa,” ujarnya.
Usulan tentang iuran justru muncul dari kalangan warga. Mereka meminta ada iuran Rp 10.000 per bulan, tetapi akhirnya Marsidi tetapkan Rp 5.000 saja. Itu pun harus didahului sosialisasi selama satu bulan.
“Saya sudah pengalaman jadi sangadi di Kopandakan, sudah tahu model warga bagaimana. Jadi kami harus memahami warga, tidak bisa tiba-tiba langsung ditagih karena bisa saja mereka tidak menyediakan uang,” katanya.
Semua yang dilakukannya untuk masyarakat di Mengkang Marsidi sebut sebagai tugas yang sudah selayaknya dan sepantasnya dilakukan seorang pemimpin, sekalipun harus berkorban secara pribadi. Ia merasa kerja kerasnya terbayar kala masyarakat bisa menikmati jerih payahnya.
”Makanya, setelah jadi sangadi saya enggak bisa beli apa-apa. Tetapi kepuasan saya itu datang saat masyarakat bisa hidup nyaman dengan listrik. Tidak perlu lagi mereka ke Mopusi atau Tanoyan (desa tetangga) cuma buat nonton bola kaki,” ujar Marsidi sambil terkekeh.
Di luar kelistrikan, Marsidi juga menjadi pelopor perlindungan hutan di desanya. Semasa menjabat secara resmi dari 2007-2018, ayah dua anak itu menjalin hubungan baik dengan Balai TNBNW. Pada 2012, misalnya, ia memimpin warga untuk menanam hampir 200 bibit pohon durian dan rambutan di perbatasan perkebunan desa dan taman nasional.
Pada 2018, ia juga mengerahkan warga untuk terlibat dalam pemulihan ekosistem kolaboratif (PEK) bersama Balai TNBNW. Berbagai pohon asli hutan TNBNW, seperti nantu, cempaka, kemiri, pala, serta durian dan rambutan ditanam di sana. Dengan dana Rp 97,16 juta, lahan terbuka seluas 30 hektar berhasil dipulihkan kembali.
“Waktu itu lereng di sekitar desa sudah tandus. Kalau hujan deras, kemudian longsor, kampung ini bisa tertimbun. Jadi kami tanami dengan kemiri di bagian lereng, lebih dari 10.000 batang. Kemudian hasilnya bisa diambil masyarakat untuk dijual, bisa juga dibeli Balai TNBNW untuk pakan burung maleo di penangkaran,” ujar Marsidi.
Kerja Marsidi dalam wujud PLTMH serta komitmennya untuk memulihkan hutan taman nasional di sekitar desa mendorong Balai TNBNW untuk menjadikannya kader konservasi pada 2012. Ia menjadi satu-satunya kader asal Sulut, satu dari 92 kader di secara nasional yang dibina Kementerian Kehutanan, sebelum menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sebagai kader konservasi, ia mendapat kehormatan untuk menghadiri upacara kemerdekaan Indoensia yang ke-67 di Istana Merdeka. “Kebetulan besoknya (18 Agustus) Idul Fitri. Kami diundang ke open house oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu,” katanya sembari mengenang pengalamannya.
Pada 2019, Marsidi juga mendapat anugerah Kalpataru kategori perintis lingkungan sekalipun saat itu ia sudah hampir satu tahun tidak lagi menjabat sebagai sangadi Desa Mengkang. Masih banyak penghargaan yang ia terima dari berbagai pihak, tetapi ia tidak suka terlalu sesumbar.
“Saya selama ini kerja bikin pembangkit mikrohidro, saya tidak pernah cerita ke siapa-siapa. Syukur kalau akhirnya ada pihak lain yang melihat kerja saya. Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana pembangkit ini bisa terus dipertahankan sebagai aset desa,” kata dia.
Namun, Marsidi mengakui setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Sejak ia berhenti menjadi sangadi, listrik PLN sudah mulai mengaliri desa. Ia sudah memaralelkan sambungan listrik dari pembangkit mikrohidro dengan instalasi PLN ke rumah-rumah warga. Namun, Desa Mengkang kini telah meninggalkan pembangkit mikrohidro.
Marsidi pun mengaku kecewa. Apalagi, setelah mendapatkan penghargaan Kalpataru, dua warga Desa Mengkang diringkus karena mengancam polisi dengan senjata tajam. Keduanya terlibat aktivitas pertambangan emas tanpa izin.
Namun, ia sudah bukan lagi sangadi sehingga hanya bisa berharap yang terbaik. Ia pun membubuhkan satu lagi hal dalam nasihat orangtuanya. “Sangadi itu perwakilan rakyat, harus jujur dan bertanggung jawab, juga menjaga nama baik desa,” ujar Marsidi, yang sudah nyaris tak pernah mengunjungi Mengkang selama dua tahun terakhir.
Nama: Marsidi Kadengkang
Lahir: Desa Kopandakan, Bolaang Mongondow, 3 September 1957