Kunkun Herawanto Bangga Memuliakan Kapulaga
Khasiat kapulaga sempat terpinggirkan di Pangandaran, Jabar. Kini, keberadaannya dicari banyak peminat mancanegara.
Belasan tahun Kunkun Herawanto (48) memuliakan kapulaga (Amomum cardamomum). Ketua Asosiasi Petani Kapulaga Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, ini menghimpun ribuan petani untuk menyemai tanaman rempah itu. Ia pun turut mengantar komoditas itu ke luar negeri.
Aroma serupa bumbu masakan dari kapulaga menguar saat memasuki gudang badan usaha milik petani, PT Kapolaga Berkah Pangandaran, di Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Senin (8/8/2022). Ribuan butir kapulaga di tampah terjemur dalam gudang ukuran 24 meter x 10 meter.
Di bagian belakang gudang terdapat mesin untuk memilah dan membersihkan biji kapulaga dari debu serta sampah. Dengan begitu, kapulaga laik diekspor. ”Kualitas kapulaga ini tanggung jawab kami. Soal harga, kami hanya menghubungkan petani dengan pembeli,” kata Kunkun.
Berbagai fasilitas yang dinikmati petani itu tidak lepas dari campur tangan Kunkun. Bersama sejumlah rekannya, ia mendirikan Asosiasi Petani Kapulaga Pangandaran pada 2008.
”Dulu sempat malu juga karena kami satu-satunya organisasi petani kapulaga di Indonesia,” ujarnya.
Melalui asosiasi, Kunkun berusaha memecahkan persoalan petani kapulaga, dari pola tanam hingga akses pemasaran. Selama puluhan tahun, warga belum melihat potensi ekonomi kapulaga. Rempah itu sebatas digunakan sebagai bahan masakan dan pengobatan tradisional oleh warga.
Paling banter, kapulaga dipakai saat anak-anak demam. Caranya, daun kapulaga dipotong, diikat, lalu dimasukkan ke botol berisi air. Air yang keluar dari daun itu dilumuri ke badan bayi. Warga juga kerap menyeduh daun kapulaga dengan air panas. Uapnya untuk mengurangi sakit meriang.
Padahal, kegunaan kapulaga tidak hanya itu. Masyarakat di Jawa Tengah, misalnya, menjadikan kapulaga bahan pembuatan jamu. Di Padang, Sumatera Barat, rendang ”wajib” mengandung kapulaga. ”Berapa kebutuhannya? Hitung aja ada berapa rumah makan padang, ha-ha-ha,” ujarnya.
Kunkun lalu bergerilya mengajak warga membudidayakan kapulaga. Tidak hanya membagi bibit kapulaga, ia juga memfasilitasi petani membentuk kelompok hingga mengakses program pemerintah, seperti bibit dan alat pengering. Ia paham betul, potensi kapulaga begitu besar.
Di Pangandaran, kapulaga tersebar di 93 desa dan 10 kecamatan. Sentranya terdapat di Kecamatan Cigugur, Langkaplancar, dan Padaherang. Tanaman berimpang ini tidak hanya di hutan, tetapi juga di belakang rumah warga. Kapulaga dapat tumbuh jika punya tempat bernaung.
Kapulaga hanya butuh 30 persen cahaya matahari sehingga perlu pohon lainnya. Usia kapulaga tergantung tanaman naungannya. Jika pohon itu ditebang, matilah kapulaga. Rempah ini cocok untuk penghijauan. ”Kapol ini tidak picik berbicara ekonomi saja, tetapi juga ekologi,” ujarnya.
Menyadari aneka manfaat rempah itu, satu per satu petani bergabung dengan Kunkun. Hingga kini, terdapat 6.872 rumah tangga petani kapulaga dengan lahan sekitar 7.000 hektar. Mereka, katanya, telah terdaftar dalam sistem informasi manajamen penyuluhan pertanian (Simluhtan).
Kapulaga juga turut mengangkat ekonomi warga karena termasuk komoditas ekspor. Bahkan, saat pandemi Covid-19 melanda awal 2020, harga kapulaga kering menyentuh Rp 360.000 per kilogram. Padahal, sebelum itu, harganya sekitar Rp 140.000 per kg. Petani pun meraup untung.
Dengan asumsi harga kapulaga Rp 340.000 per kg dan produksi 1.650 ton tahun lalu, maka nilai transaksinya mencapai Rp 560 miliar. Angka ini sekitar sepertiga dari pendapatan pemerintah daerah Pangandaran tahun 2020, yakni Rp 1,5 triliun. Petani ikut menggerakkan ekonomi.
”Ada bekas karyawan perusahaan perkebunan ikut tanam kapol. Dia bangun rumah yang sebelumnya tidak layak huni. Padahal, waktu itu Covid-19 sedang menggila. Dia juga beli sepeda motor. Tadinya kerja di tempat orang, sekarang dia mengolah 1 hektar kapulaga,” ujar bapak empat anak ini.
Petani juga, katanya, tidak sulit mengakses pinjaman perbankan saat menanam kapulaga yang disebut kapol dalam bahasa Sunda. ”Kalau ditanya penghasilannya apa, warga menjawab kapol. Kemungkinan besar, dia dapat pinjaman. Karena, pasar penjualan kapol enggak susah. Memang harganya fluktuatif, tetapi jatuhnya enggak semua,” ungkapnya.
Perawatannya pun tak sukar. Delapan bulan setelah masuk tanah, kapulaga sudah produktif. Setelah itu, petani bisa memanen buahnya dari rimpang setiap bulan. Jika musimnya, warga panen dari pagi sampai malam. Ibu-ibu punya penghasilan tambahan dari memipil kapulaga.
Rasa bangga
Kunkun mulai jatuh hati pada tanaman rempah pada 2004. Saat itu, aktivis ini baru pulang dari demonstrasi di Jakarta. Ketika mampir di Bojong, Langkaplancar, ia melihat kapulaga kering berwarna putih. Padahal, biasanya, kapulaga yang telah dijemur tampak kecoklatan.
”Saya mau minta tanamannya, malu. Akhirnya, saya kasih uang Rp 10.000 yang tersisa di dompet. Eh, ternyata dikasih,” ujar Kunkun yang kerap berunjuk rasa pada masa reformasi 1998. Ia lalu serius belajar dan mengembangkan bibit kapulaga itu.
Tidak hanya di Pangandaran, anak petani ini juga ”menularkan virus” budidaya kapulaga ke daerah Jabar, seperti Kuningan, Purwakarta, Garut, dan Sukabumi. Ia turut membagikan 12.000 bibit kepada transmigran di Tanggamus, Lampung; dan Muara Enim, Sumatera Selatan.
Bahkan, sejumlah pihak dari Pulau Kalimantan tertarik dengan kemungkinan penanaman kapulaga di lahan bekas tambang.
”Saya punya cita-cita, kapol ini jadi alat pemersatu bangsa karena bisa tumbuh di semua daerah. Saya dibilangi gila karena punya pikiran itu,” katanya tertawa.
Baginya, semakin banyak sentra kapulaga, semakin besar peluang Indonesia menguasai pasar global. ”Saya enggak takut saingan dengan petani kapulaga di Tanah Air. Saya cuma ingin petani berkontribusi untuk bangsa dan bisa menyaingi negara lain, seperti Vietnam dan India,” ujarnya.
Sejarah telah membuktikan bahwa kapulaga bak harta karun. Pembangunan jalur kereta api Banjar-Kalipucang-Parigi oleh Belanda pada 1913, menurut dia, bukan untuk membawa orang, melainkan salah satu cara mengangkut hasil bumi Pangandaran, seperti kapulaga.
Baca juga: Hadiat Kelsaba Menambal Karang Pangandaran
Kini, lulusan sekolah menengah pertama ini ingin petani berdaya. Lewat asosiasi dan badan usaha petani, Kunkun turut mengantar tanaman itu ke luar negeri. Meski secara kuantitas dan keberlanjutan pasokan terbatas, pihaknya terus berupaya mengembangkan kapulaga.
”Kami pernah ditantang mengirim 7.000 ton kapol per tahun oleh investor China. Tapi, kami belum sanggup. Tahun 2019, kami kedatangan tamu dari China. Mereka cari kapol untuk obat. Ini yang harus dikembangkan. Jangan sampai orang luar (negeri) tahu, kita tidak tahu,” ujarnya.
Baginya, jalan memuliakan kapulaga Pangandaran masih panjang. Meski muncul dorongan dari banyak kalangan untuk jadi elite politik setempat, Kunkun ingin tetap sebagai petani.
”Kata kuncinya bukan kekuasaan, melainkan pengabdian,” katanya.
Kunkun Herawanto
Lahir: Ciamis, 4 April 1974
Pendidikan:
- SDN 2 Karang Kamiri, Langkaplancar
- SMPN Karang Kamiri, Langkaplancar
Istri: Vira Vania
Anak: 4
Profesi: Ketua Asosiasi Petani Kapulaga Pangandaran