Siti Maemonah Melestarikan Batik Gentongan
Selama puluhan tahun, Siti Maemonah melestarikan batik lawasan gentongan dari Madura.
Siti Maemonah (53) pernah dikenal sebagai pedagang batik lawasan gentongan, Bangkalan, Jawa Timur. Setelah puluhan tahun, dia berhenti berdagang dan memilih menjadi artisan sekaligus pelestari batik gentongan dari Madura.
Maemonah sudah lebih dari 25 tahun menggeluti batik. Kemampuan membatik diperolehnya secara otodidak. Sejak kecil, ia melihat Mariya (almarhum ibunya) membuat batik gentongan di rumahnya, Tanjung Bumi, Bangkalan, Madura. Namun, ia berhenti menjual batik lawasan gentongan sekitar tujuh tahun terakhir.
”Saat saya melihat batik lawasan ibu saya, kok bagus ya. Sayang kalau dijual walau harganya mahal,” ujar Mae, panggilan akrab Maemonah, Senin (11/7/2022). Hal lain yang memperkuat keinginan tak lagi menjual kain batik usia 30 tahun ke atas adalah sebagian tanaman yang dipakai untuk mewarnai batik sudah punah.
”Tak ada lagi tanaman penghasil warna merah khas gentongan. Saya sudah cari ke mana-mana di Madura dan Nusa Tenggara Timur, ndak nemu. Sejak itu saya sangat pilih-pilih kalau ada yang mau beli batik lawasan saya. Biar dia mau harganya sangat mahal, tapi saya endak mau,” lanjut Mae, generasi keempat keluarga artisan batik gentongan.
Dalam keluarga Mae, awalnya nenek buyutnya, Sarija atau Tan Mi Kwa, yang membuat batik. Sarija merupakan warga asli China yang datang ke Tanjung Bumi. Kepiawaian Sarija diturunkan kepada anaknya, Saipa (nenek Mae). Lalu, Saipa menurunkan kemampuan membatik kepada Mariya.
Hingga sekarang Mae dan adiknya, Adita Wezaina Ningsih, tetap mempertahankan proses pembuatan batik gentongan. Proses pewarnaan kain batik harus dicelup dan disikat berulang kali hingga membutuhkan waktu setahun. Cara itu sudah terbukti menghasilkan warna batik yang makin pekat apabila usianya makin tua. Harga kain batik mencapai Rp 20 juta hingga Rp 25 juta per lembar.
Jalan hidup Mae hingga menjadi pelestari batik melalui proses panjang. Setelah lulus SMA, Mae diterima kuliah di Universitas Islam Negeri (dulu Institut Agama Islam Negeri) Sunan Ampel Surabaya. Namun, ibunya tak ingin ia kuliah jauh dari Tanjung Bumi. Mae lalu kuliah di Jurusan Ekonomi Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (STKIP) PGRI Bangkalan dan tamat dalam waktu 3,5 tahun.
Setelah lulus, dia pulang ke Tanjung Bumi, kawasan tepi laut sejauh 60 kilometer dari Bangkalan, untuk melamar menjadi guru. Keinginannya tercapai, ia sempat mengajar di SMP Tanjung Bumi sambil belajar membuat dan menjual batik, tetapi tak berlangsung lama. Keuntungan yang menggiurkan dari bisnis batik lawasan usia 30 tahun ke atas membuat ia mundur dari profesinya.
Liku-liku kehidupannya dimulai. Dimulai dengan menjual batik gentongan di pameran dengan keuntungan Rp 500.000 per lembar batik. Setelah bertemu banyak orang, Mae menyadari banyak orang berduit mencari batik lawasan. Mulailah ia mempelajari batik lawasan. Bukan hanya di Madura, dia ke Pekalongan, Yogyakarta, Solo. Saat itu, tahun 1990-an, harga batik lawasan mencapai jutaan rupiah, berlipat-lipat dibandingkan dengan harga kain batik baru.
”Saya ingat, batik lawas di rumah ibu saya dipakai buat lap. Perempuan Madura hanya memakainya buat alas nyunggi (membawa barang di atas kepala). Saya pulang ke rumah, ambil batik-batik yang sudah jadi barang buangan itu untuk saya jual,” kata Mae. Dari semula mendapat keuntungan Rp 1 juta per kain, dengan makin pahamnya bisnis batik lawasan ia bisa menjual kain hingga Rp 20 juta sampai Rp 30 juta.
”Untungnya bukan untuk saya sendiri, saya bagi ke yang punya batik. Senang mereka, barang yang sudah jadi sumpel (ganjal), jadi duit, he-he-he,” ujar ibu tiga anak itu sambil tertawa.
Meluaskan pasar
Dari tiap ikut pameran, ia makin banyak mengenal sesama penjual batik dan pembeli. Pembeli itulah yang membukakan jalan bagi Mae untuk memasarkan batik lawasan gentongan. Waktu itu, ia sering diminta menjual batik di acara pesta yang diadakan pejabat atau pebisnis di Bogor dan Jakarta. Usai pesta, barulah mereka melihat batik jualan Mae.
”Dulu saya kerjanya sampai tengah malam, seperti kupu-kupu malam. Mereka yang datang ke pesta, kan, bawa duit banyak, ya sudah saya tungguin sampai ngantuk-ngantuk, tapi pulang bawa banyak uang,” kata Mae mengisahkan kondisi pada awal tahun 2000-an.
Baca juga : Herlin, Geliat ”Pomandu” Terakhir
Begitu tahu orang tak hanya mencari batik lawasan dari Madura, Jawa, tetapi juga songket, Mae datang ke Yogyakarta, Solo, Lasem. Dia belajar batik dan songket lawasan, baik secara langsung ke perajin maupun membaca buku. Namanya pun terkenal di antara para kolektor kain lawasan dan pencinta batik. Ia menjadi langganan keluarga Presiden Soeharto. Lalu semasa Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden, Mae melayani kebutuhan batik gentongan untuk SBY dan keluarga. Tak hanya itu, pemilik toko batik terkenal asal Solo pun menjadi pelanggan batik lawasan yang ia jual.
Pengetahuannya yang dalam tentang batik gentongan membuatnya kenal dengan Profesor Seiji Okawa yang tengah meneliti tenun ikat. Okawa mengundang Mae memamerkan batik lawasan gentongan ke Jepang. Selama dua tahun, Mae bolak-balik ke Jepang untuk memenuhi pesanan Okawa yang membuat kimono dari batik gentongan.
Tak hanya ke Jepang, Mae pun membawa batik lawasan ke China dan Eropa. Tak kurang dari 500 kain batik lawasan koleksi ibunya ia jual, sampai muncul rasa sayangnya kepada kain lawasan yang tersisa. ”Saya akhirnya memutuskan sangat hati-hati jika ada orang ingin membeli kain peninggalan mama. Harus rundingan dulu dengan adik saya,” tutur Mae yang membuat toko sekaligus museum batik gentongan di rumahnya di Bangkalan. Ia memajang kain batik gentongan usia di atas 50 tahun agar penyuka batik bisa melihatnya secara langsung.
Ia juga mendidik warga Tanjung Bumi membuat batik sesuai pakem. Semula banyak artisan batik yang bekerja dengannya keberatan sebab pembuatan batik hingga setahun. Akibatnya, mereka yang umumnya istri nelayan kesulitan untuk makan dan menyekolahkan anak. Mae membantu memberikan biaya hidup dan sekolah anak mereka. Mereka mengembalikan pinjaman dari hasil penjualan batik.
Berkat upaya Mae, kehidupan artisan batik gentongan membaik. Warga Tanjung Bumi makin sejahtera, anak-anak mereka bisa melanjutkan sekolah sampai tingkat sarjana.
Siti Maemonah Lahir: Tanjung Bumi, Bangkalan, Madura, tahun 1969
Pendidikan: Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pengetahuan PGRI Bangkalan, Madura
Suami: Budi
Anak: 3 orang
Penghargaan: Penerima penghargaan Upakarti tahun 2014 kategori jasa kepeloporan