Herlin, Geliat ”Pomandu” Terakhir
Di Kelurahan Lipu, misalnya, jumlah ”pomanduno” tidak lebih dari 10 orang. Sejumlah anak dari ”pomanduno” terakhir ini bahkan tidak lagi mengenal cara pembuatan gerabah. Akibatnya, tidak terjadi regenerasi ”pomanduno”.
Sejak masih merangkak, Herlin (27) karib dengan pembuatan gerabah yang berlangsung massal di kampungnya. Namun, semakin dewasa, dentum gerabah nyaris tidak terdengar hingga hanya tersisa segelintir ”pomanduno”. Ia berjuang untuk mengembalikan gerabah sebagai identitas wilayah, sekaligus melawan stigma yang melekat.
Sebuah bangunan tanpa daun pintu berdiri di tepi jalan di Kelurahan Lipu, Betoambari, Baubau, Sulawesi Tenggara. Plang bertuliskan ”Galeri Pomandu” terpasang di bagian depan. Pomandu dalam bahasa Lipu—salah satu subetnis di Buton, berarti kegiatan membuat gerabah, sementara para pembuatnya disebut pomanduno.
Bangunan ini adalah galeri tempat Herlin menyimpan beberapa kerajinan gerabah dari para perajin. Dinding dari papan disulap menjadi etalase gerabah hasil kerajinan para pomanduno.
”Tempatnya sederhana saja. Dibangun sedikit-sedikit dari tabungan sendiri hasil kerja apa saja, jadi kondisinya bisa lihat sendiri,” kata Herlin menunjuk sekeliling ruangan, akhir Mei lalu.
Di dinding dari papan itu itu berjejer bosu, balanga, nu’ua, hingga bulusa. Bosu adalah kendi yang memiliki mulut, nu’ua adalah belanga tempat pembuatan makanan tradisional, balanga adalah belanga, dan bulusa adalah tempat menyimpan beras. Sebagian besar gerabah itu penuh debu dan jarang disentuh.
Puluhan gerabah ini dibeli langsung dari para pomanduno. Gerabah ini lalu diletakkan di galeri agar orang yang datang bisa melihat langsung hasil karya dari tanah liat yang telah berlangsung berabad-abad di wilayah ini.
”Jadi, tiap ada yang datang, orang bisa lihat seperti apa gerabah dari daerah sini. Setahu saya, di daratan Buton, perajin gerabah tinggal ada di wilayah ini,” ucapnya. ”Tapi, kondisinya memang sulit. Apalagi semenjak pandemi Covid-19 hampir tidak ada wisatawan yang datang.”
Selain gerabah, pada beberapa sisi galeri berderet rapi sejumlah foto. Foto-foto ini terbingkai rapi yang menunjukkan para pomanduno dari berbagai sudut pandang. Ada yang sedang menyelesaikan pembuatan gerabah, mewarnai, atau yang sedang bersama cucu membuat gerabah. Para pembuat gerabah memang sebagian besar adalah mereka yang berusia senja dan semuanya perempuan.
”Foto ini dari anak-anak muda di sini, waktu kami bikin lomba foto 2018 dan 2019 lalu. Hadiahnya seadanya, buku atau pulsa. Semuanya dari kantong sendiri soalnya,” ujar Herlin.
Kegiatan lomba foto ini ia inisiasi sendiri. Dalam penyelenggaraannya, ia mengajak sejumlah pemuda setempat untuk terlibat aktif. Tujuannya, agar anak-anak dan para pemuda kembali mengenal kerajinan dan membangkitkan kembali gerabah dari wilayah Lipu dan Katobengke.
Beberapa foto lain menunjukkan wisatawan lokal dan asing yang datang ke pomanduno. Herlin turut mendampingi para wisatawan ini, khususnya sebelum masa Covid-19 menerjang. Ia menunjukkan lokasi para pomanduno dan menerjemahkan pembicaraan dari bahasa Lipu ke Indonesia.
Baca juga: Marselus Selu, Penjaga Irama Musik Tradisi Ngada
Bisa mendatangkan wisatawan, baik lokal maupun asing, adalah impian besar Herlin. Sebab, ia percaya, dengan pariwisata bisa mengangkat kerajinan gerabah sekaligus ekonomi masyarakat di lingkungannya.
Langkah menuju ke sana awalnya menemui hambatan karena warga setempat sempat trauma dengan orang luar. Dalam beberapa kunjungan, wisatawan memecahkan gerabah dan tak bertanggung jawab.
”Setelah saya berikan penjelasan, mereka mengerti. Saya juga kasih tahu ke wisatawan untuk tetap bertanggung jawab dan memberi seikhlasnya. Memang belum ada standar karena kami masih belajar. Yang penting ada kunjungan, dan orang di sini lihat manfaat gerabah yang masih bertahan dulu,” kata lulusan Universitas Dayanu Ikhsanuddin ini.
Tantangan berat
Herlin kecil tidak asing dengan aktivitas pomanduno. Neneknya, tetangga, dan para perempuan lain di wiayah ini rutin membuat gerabah. Warga beramai-ramai membuat gerabah, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk dijual.
Aktivitas pembuatan gerabah telah mendarah daging sejak dulu. Riset Rustam Awat dan Devi Agustin dari Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Dayanu Ikhsanuddin, Baubau, menyebutkan, sejarah pembuatan gerabah di Lipu dan Katobengke memiliki dua versi. Pertama, cikal bakal lahirnya pomanduno berawal dari datangnya Sultan Murhum beserta rombongannya dari daratan Muna pada abad ke-16. Salah satu anggota rombongan menetap di Katobengke untuk membuat gerabah.
Versi lain menyebutkan bahwa pomanduno masyarakat Lipu-Katobengke tidak berguru kepada orang Muna (Kampung Laboora). Namun, mereka mengetahui sendiri cara membuat gerabah. Hal ini didasarkan pada hasil gerabah yang berbeda dalam hal ketebalan dan pola hiasnya. Dari segi bentuk, gerabah Lipu-Katobengke lebih tipis dan memiliki pola hias. Sementara gerabah buatan masyarakat Laboora tebal dan tanpa pola hias.
Selama berabad-abad, gerabah dari wilayah Lipu-Katobengke ini menjadi pemasok utama di daratan Buton. Hingga kini, proses pembuatannya dilakukan secara sederhana atau metode tatap landas.
Baca juga: Lukas Rumetna, Konservasi Alam untuk Papua
Sayangnya, pomanduno semakin kurang dari tahun ke tahun. Pada 2019, jumlah pembuat gerabah di dua kelurahan sebanyak 26 orang. Saat ini, jumlah pembuat gerabah hanya tersisa belasan orang hingga saat ini.
Di Kelurahan Lipu, misalnya, jumlah pomanduno tidak lebih dari 10 orang. Sejumlah anak dari pomanduno terakhir ini bahkan tidak lagi mengenal cara pembuatan gerabah. Akibatnya, tidak terjadi regenerasi pomanduno.
Padahal, gerabah hingga saat ini masih dipakai untuk ritual dan berbagai kebutuhan hidup sehari-hari.
Selain bahan baku yang semakin sulit, menurut Herlin, pomanduno dianggap pekerjaan yang tidak menghasilkan karena masyarakat bergeser menggunakan perkakas rumah tangga yang lebih modern. Belum lagi pekerjaannya yang membutuhkan keahlian khusus dan harus kotor karena bersentuhan dengan tanah.
Hal ini serupa stigma ”pekerja rendahan” yang melekat kepada mereka yang masih mempertahankan tradisi ini. Para generasi muda yang telah mengenyam pendidikan lebih memilih pekerjaan lain yang lebih menghasilkan atau pekerjaan kantoran.
Kondisi ini yang terus mengganggu Herlin setiap waktu. Sejak masa kuliah, ia bertekad untuk menghidupkan kembali geliat pembuatan gerabah di kampungnya. Ia mulai belajar tradisi gerabah ini dan mulai melangkah perlahan.
Kesulitan pertama ia hadapi saat membutuhkan biaya untuk membuat galeri. Ia menyisihkan penghasilan dari semua pekerjaan yang bisa ia kerjakan. Mulai dari memancing ikan hingga berdagang batu merah. Dari situ, ia membangun sendiri galeri berukuran 3 x 4 meter tersebut.
Kesulitan lainnya adalah mengajak anak muda untuk terlibat dalam kegiatan. Setelah melakukan pendekatan beberapa bulan, ia bisa menggaet anak muda untuk ikut dalam berbagai kegiatan. Hanya saja, karena kurang dukungan, ia belum bisa membuat kegiatan-kegiatan yang ideal.
Belum lagi banyak sindiran dari orang sekitar tentang apa yang ia perjuangkan. Ia dianggap kolot dan berusaha mempertahankan tradisi pekerjaan ”rendahan”.
”Padahal, pembuatan gerabah itu tradisi yang telah ada berabad-abad di sini. Kita tidak bisa lepas dari situ. Apalagi gerabah dipakai dari lahir sampai mati. Kalau sudah tidak ada (pembuatnya), mau pakai apa, dapat gerabah dari mana?” keluhnya.
Hal ini yang terus seakan menghantui pikirannya. Di satu sisi, kondisi ini menjadi penyemangat dirinya untuk menggiatkan kembali kerajinan gerabah. Ia membayangkan saat gerabah kembali hidup dan orang-orang tertarik untuk melanjutkan tradisi pomandu di banyak tempat.
Salah satu cara yang ia idam-idamkan adalah keterlibatan generasi muda dan menggeliatnya pariwisata. Wisatawan yang datang tidak hanya datang untuk melihat pembuatan gerabah. Namun, juga turut serta membuat gerabah hingga berinteraksi dengan masyarakat. Situasi ini diyakini bisa memberi dampak besar, baik secara pengalaman, ekonomi, maupun perhatian luas masyarakat.
”Harus diakui, kondisinya masih sulit untuk bangkit sampai sekarang. Perhatian pemerintah juga masih minim. Kami lakukan yang bisa saja dulu dan berusaha untuk terus mempertahankan gerabah yang menjadi identitas wilayah ini,” ujarnya.
Herlin
Lahir: Baubau, 9 September 1994
Orangtua: La Hilu dan Wa Mila
Pendidikan: Jurusan Administrasi Negara di Universitas Dayanu Ikhsanuddin 2014-2021