Rasa penasaran Marselus beranjak dari ingin memainkan foy doa menjadi mengetahui cara membuatnya. Berbekal informasi dari orang-orang di kampungnya, ia berjalan kaki sejauh 20 km menuju hutan bambu di puncak bukit.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·5 menit baca
Suara seruling yang ditiup Marselus Selu (64) memecah keheningan Kampung Adat Wogo, Rabu (22/6/2022). Jari-jarinya bergerak lincah menutup dan membuka lubang seruling untuk menghasilkan nada-nada indah. Sudah hampir setengah abad ia setia menjaga irama alat musik tradisi Ngada.
Mengenakan boku (kain penutup kepala) warna merah dan sarung hitam bermotif kuda, Marselus berjalan menyusuri Kampung Wogo di Desa Ratogesa, Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Puluhan sa’o, rumah adat berbahan bambu dengan atap alang-alang, menambah keeksotisan kampung itu.
Ia memegang seruling ganda yang dinamai foy doa. Setiap tabung bambu mempunyai tiga lubang nada. Alat ini dimainkan secara bersamaan dengan meniupnya melalui kayu berongga yang menyatukan kedua ujung suling. ”Saya kurang tahu sejak kapan alat ini digunakan. Saya sendiri sudah memainkannya sejak usia 15 tahun,” ujarnya.
Saya kurang tahu sejak kapan alat ini digunakan. Saya sendiri sudah memainkannya sejak usia 15 tahun.
Sore itu, Marselus menunjukkan lokasi di mana Presiden Joko Widodo menginjakkan kaki di kampung itu pada awal Juni 2022. Padahal, Kampung Adat Wogo tidak termasuk dalam tempat yang direncanakan akan disinggahi Presiden dalam kunjungan kerja ke Pulau Flores.
Akan tetapi, antusiasme masyarakat yang berkumpul di pinggir jalan menarik perhatian Presiden untuk berhenti. Warga juga bernyanyi dan memainkan alat musik tradisional, seperti foy doa, foy pai, dan bombardom.
Marselus mengatakan, saat itu, ada warga yang membawa spanduk bertuliskan ”Pak Jokowi, Mohon Singgah Walau Cuma 10 Detik”. ”Ternyata Presiden bertahan di sini hampir setengah jam,” katanya.
Ketua Kelompok Musik Satu Tekad itu senang dan bangga karena musik tradisional Ngada bisa didengar oleh orang nomor satu di republik ini. Hal itu sekaligus menjadi motivasi untuk melestarikannya.
Kecintaan Marselus pada foy doa tak tumbuh dalam semalam. Ceritanya bermula saat ia remaja dan melihat warga kampungnya meniup ”suling kembar” tersebut. Ia takjub dengan nada-nada yang dihasilkan foy doa.
Karena penasaran, ia ingin mencoba alat tersebut. Namun, ia justru dimarahi oleh orang dewasa di kampungnya saat mengambil foy doa yang diletakkan di teras rumah. ”Dia takut kalau saya merusak serulingnya. Dia bilang kalau membuatnya sangat susah. Saya pun hanya boleh dengar dari jauh,” katanya.
Bukannya kapok, hal itu justru kian memupuk rasa ingin tahunya. Saat itu, sekitar awal 1970, ia berniat membeli foy doa milik tetangganya yang dijual seharga Rp 5.
Karena tak punya uang, Marselus menawarkan diri bekerja untuk tetangganya itu. Tugasnya memikul 30 potong bambu sejauh 1,5 kilometer. Sekali jalan, ia membawa dua potong bambu di bahunya. Dengan begitu, ia harus berjalan 22,5 km demi mendapatkan foy doa.
Sekitar lima bulan berlatih, Marselus mulai memahami cara kerja alat musik itu. Meski belum mahir membuat nada-nada indah, ia mulai paham gerakan bibir untuk meniup lubang pemanis serta cara membuka dan menutup lubang nada dengan jari.
Tak puas sampai di situ, ia ingin tahu lebih jauh bagian dalam foy doa. ”Tidak ada cara lain, saya ambil pisau, lalu membelahnya,” katanya.
Rasa penasaran Marselus beranjak dari ingin memainkan foy doa menjadi mengetahui cara membuatnya. Berbekal informasi dari orang-orang di kampungnya, ia berjalan kaki sejauh 20 km menuju hutan bambu di puncak bukit.
Bambu ditebang saat musim kemarau. Tujuannya agar kadar airnya rendah. Dipotong ketika bulan gelap untuk menghindari kutu yang menggerogoti bambu. ”Kalau kadar air rendah dan buluhnya tipis, suaranya akan nyaring saat ditiup,” ucapnya.
Pendekatan moke
Marselus gigih mengasah kemampuannya. Tak hanya di rumah, ia juga sering memainkan foy doa saat membantu orangtua bekerja di kebun. Ketika itu, tidak banyak remaja yang mengikuti jejaknya.
Teman-temannya lebih senang bermain bola dan kelereng. Ajakannya untuk belajar memainkan alat musik tradisional lebih sering ditolak.
Ia tak putus asa dan tetap tekun berlatih. Kemahirannya meniup foy doa pun mulai dilirik. Beberapa kali ia diundang dalam pesta seperti pernikahan dan pergelaran musik.
Ia tak putus asa dan tetap tekun berlatih. Kemahirannya meniup foy doa pun mulai dilirik. Beberapa kali ia diundang dalam pesta seperti pernikahan dan pergelaran musik.
Pada 1993, Marselus diundang tampil dalam pertunjukan musik tradisi di Ubud, Bali. Ia antusias menyambutnya, tetapi sekaligus bingung. Sebab, ia belum punya kelompok musik untuk diajak tampil.
Ia memanggil beberapa pemuda di kampungnya untuk berlatih. Ajakan ini kembali ditolak. Tak habis akal, moke ditawarkan sebagai “bayaran”. Moke merupakan minuman beralkohol dari nira yang telah disuling. ”Saya keluarkan moke, mereka langsung datang. Minumnya pakai tempurung kelapa. Awalnya, kami hanya omong-omong,” katanya.
Pada jamuan moke hari-hari berikutnya, Marselus mulai mengeluarkan alat-alat musik tradisi Ngada, seperti foy doa, foy fai, bombardom, dan ga’ali (seperti kolintang berbahan bambu). Anak-anak muda yang semula menolak, perlahan tertarik.
”Kami berlatih sekitar tiga minggu. Karena mereka mulai menyukai alat-alatnya, latihannya jadi menyenangkan. Penampilan kami di Bali pun cukup baik meskipun latihan kurang dari sebulan,” jelasnya.
Di usia senjanya, Marselus dibekap risau karena semakin sedikit generasi muda yang memainkan foy doa. Ia tak ingin alat musik tradisi itu punah tergerus zaman dan semakin ditinggalkan.
Untuk menjawab tantangan itu, sejak lebih dari 10 tahun lalu, ia mengajarkan musik tradisi di sekolah-sekolah di Golewa. Meski bukan pelajaran wajib, ia tetap antusias menggelutinya. Ia juga melatih anak-anak di Kampung Adat Wogo. Namun, setelah mulai mahir, banyak di antara mereka merantau untuk bekerja.
”Saya tak bisa melarang. Itu hak mereka. Saya cuma berpesan untuk tidak melupakan ilmu bermain alat musik tradisional yang sudah dipelajari,” ujarnya.
Menurut dia, musik tradisi tak selalu berbenturan dengan musik asing. Untuk membuktikan ucapan itu, ia meniup foy doa dan memainkan nada lagu populer ”Are You Sleeping (Brother John)” dengan lancar.