Muhammad Heri Fadli, Berbagi Empati lewat Film
Muhammad Heri Fadli memotret peristiwa yang dialami oleh orang-orang di sekitarnya dan mengalihkan menjadi film. Lewat film-film itu, dia ingin menggalang empati dan simpati.
Berkat film pendek berjudul Jamal, Muhammad Heri Fadli (26) berkeliling dunia mengikuti berbagai Festival Film Internasional. Heri juga mengampanyekan pentingnya perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia asal Lombok yang bertaruh nyawa di luar negeri.
Tepuk tangan penonton yang memenuhi salah satu studio CGV Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa (5/7/2022) pecah, begitu credit title film Jamal, muncul di layar. Film tentang kematian seorang pekerja migran asal Lombok itu berhasil memukau mereka. Beberapa bahkan menangis.
Hari itu, film Jamal pertama kali tayang di Lombok. Sebelumnya, selama dua tahun, film itu berkeliling dunia mengikuti Festival Film Internasional, mulai dari Asia, Eropa, hingga Amerika. Setelah dari Lombok, Jamal telah mendapatkan jadwal pemutaran di seluruh negara Asia Tenggara.
Heri tidak menyangka jika respons terhadap film Jamal seluar biasa itu. ”Kalau ditanya puas, memang tidak akan pernah puas. Tetapi kalau apakah sesuai ekspektasi? Saya kira ini melampaui ekspektasi karena tidak menyangka bisa diterima di banyak tempat,” kata Heri.
Film Jamal mulai diproduksi pada November 2019. Ide ceritanya berangkat dari kegelisahan melihat banyaknya pekerja migran Indonesia (PMI) asal Lombok yang tewas di luar negeri. Tidak hanya yang legal, tetapi lebih banyak lagi yang ilegal.
”Dua bulan riset dan penulisan naskah. Lalu empat bulan untuk survei lokasi. Sisanya shooting dan editing,” kata Heri yang bekerja dengan produser Putu Yudhistira ini.
Proses produksi film Jamal memakan waktu delapan bulan. Cerita, bahasa kru, pemain, dan lokasi, seluruhnya dari dan di Lombok. Film yang lokasi pengambilan gambarnya di Sekaroh, Jerowaru, Lombok Timur, itu memberi pengalaman menonton film yang berbeda. Terutama secara visual. Dari sejumlah diskusi sebelum memulai produksi, Heri memutuskan menggunakan pendekatan visual long ekstrem shoot untuk film berdurasi 14 menit 30 detik itu. Pendekatan itu menciptakan visual seperti menonton wayang, kegemaran Heri sejak kecil. Seluruh adegan memperlihatkan siluet bergerak, diambil dalam sekali take selama 38 menit. Hal itu diperkuat narasi, akting yang total, dan musik.
Keliling
Jamal lalu keliling ke sejumlah daerah seperti Aceh, Lampung, Balikpapan, Tegal, Kupang, dan Papua dalam rangkaian Jogja-NETPAC Asian Film Festival pada 2020. Dalam festival itu, Jamal masuk dalam 10 besar ulasan film pendek di JAFF 2020.
Jamal kemudian masuk ke sejumlah festival, seperti Festival Lleide Visual Art di Cataluna Spanyol, Ischia Global Fest Italia, Busan International Kids and Youth Film Festival di Korea, dan Youki The International Youth Media Festival di Austria. Di Youki, Jamal mendapatkan penghargaan utama atau Main Award.
Jamal berlanjut ke Sundance Film Festival: Asia, Slamdance Film Festival di Utah, Amerika Serikat, dan menjadi film pembuka di Tampere Film Festival di Finlandia.
Setelah itu, pada 13-18 Juli 2022 diputar di Mini Film Festival Malaysia dan Festival film internasional di Bali pada September 2022.
”Di Tampere, Jamal mendapat apresiasi dari Direktur Eksekutif festival tersebut. Bahkan ia termasuk yang menangis saat pemutaran film berlangsung. Katanya, visual film Jamal break the rules atau menghancurkan semua batasan yang ia pelajari di sekolah film,” kata Heri.
Menurut Heri, Jamal diterima karena sangat jarang ada film dengan satu visual (extreme long shot) seperti itu. Juga dengan satu kali pengambilan dan satu sudut pandang. ”Dalam film Jamal, yang bergerak hanya pemain dan suara,” kata Heri.
Menurut Heri, ia mengangkat tema pekerja migran Indonesia karena sangat dekat dengan kehidupannya. ”Sutradara Martin Scorsese pernah mengatakan, semakin personal atau semakin dekat cerita itu, maka kita akan semakin kreatif untuk menceritakannya,” kata Heri.
Menurut Heri, kehidupan tentang pekerja migran Indonesia yang ke Malaysia dan tewas sangat dekat dengannya. ”Saya tumbuh, dekat dengan anak-anak pekerja migran di kampung saya di Ganti, Praya Timur, Lombok Tengah. Saya mengantar, menjemput, bahkan pagi-pagi mendengar tangis mereka setiap pagi,” kata Heri.
Heri memang tidak berharap terlalu besar bahwa lewat Jamal, ia bisa mengubah keadaan. Namun dengan film itu, ia berharap nasib dan kematian pekerja migran di luar negeri dilihat banyak orang. ”Isu itu bisa dibicarakan lagi. Terbuka ruang-ruang diskusi, merangsang orang untuk berpikir ulang tentang fenomena itu,” kata Heri.
Mencintai proses
Heri menuturkan, pencapaiannya saat ini adalah hasil dari mencintai proses. Pria yang tengah menyelesaikan kuliah pascasarjana Universiti Teknologi MARA (UiTM) Shah Alam Malaysia ini, terjun ke dunia film sejak di bangku kuliah di Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam, Yogyakarta, dengan bergabung dengan Komunitas Pilem Orang Komunikasi atau Kompor.kom di UII.
Heri mengawali debut sutradara di film berjudul Us. Film itu berkisah tentang sekelompok mahasiswa yang mendaki Gunung Merbabu. Inspirasinya dari film 5 CM yang kala itu sangat populer.
Heri merangkap sebagai sutradara, co-writer, dan produser sekaligus. Sayangnya, karena masih sangat pemula, proses shooting hampir menelan korban jiwa. Dua pemainnya kena hipotermia di Gunung Merbabu. Shooting dihentikan sebulan dan mereka tidak bisa mengambil adegan penting, yakni pembuka dan penutup.
”Saat diputar, senior menghujat. Mereka bilang, film saya tidak layak ditonton. Bahkan, sebaiknya dihapus saja. Saya pingin nangis saat itu dan sempat terpikir untuk fokus kuliah saja,” kata Heri.
Namun, Heri berpikir ulang. Jika berhenti di tengah jalan, berarti apa yang dikatakan seniornya benar kalau ia memang tidak cocok di dunia film.
Tahun 2016, Heri kembali memproduksi film pendek keduanya berjudul Dream. Lalu untuk tugas akhir di 2017, ia pulang ke Lombok dan membuat film dokumenter berjudul Dajal yang merupakan akronim dari Dangdut Jalanan, berkisah tentang musik tradisional Lombok, yakni gendang beleq dan kecimol.
Setelah wisuda, ia membuat film pendek ketiga berjudul Sepiring Bersama. Film tersebut menjadi awal Heri mulai mengangkat tema tentang pekerja migran.
Dalam Sepiring Bersama, heri menggambarkan kepiluan seorang pria yang harus merawat keponakan perempuannya. Anak itu ditinggal oleh orangtuanya sebagai pekerja migran ke luar negeri. Salah satu hal yang masih lumrah ditemukan di Lombok hingga saat ini. ”Cerita ini diangkat dari kisah yang terjadi persis di belakang rumah saya,” kata Heri.
Film Sepiring Bersama masuk ke JAFF 2018, festival film yang sudah lama Heri impikan. Heri lalu memproduksi film pendek Buah Khuldi pada 2019 dan masuk sejumlah festival film internasional.
”Saya berharap, semua pencapaian ini, termasuk Jamal, bisa mendorong sineas muda bahwa kita bisa bersaing di internasional. Biar teman-teman tidak hanya puas di sini saja, tetapi berkarya agar orang-orang di luar sana tahu keadaan kita di sini, juga potensi kita. Bisa jadi terbuka peluang untuk bekerja di Hollywood atau membawa Hollywood ke sini,” kata Heri.
Saat ini, Heri sudah membuat belasan film pendek, termasuk dokumenter. Setelah Jamal, ia akan membuat satu film pendek dan satu film panjang. Keduanya masih mengambil lokasi di Nusa Tenggara Barat. Heri telah berbagi empati terhadap pekerja migran lewat film, setidaknya tergambar dalam Jamal dan Sepiring Bersama.
Profil Singkat
Nama Lengkap: Muhammad Heri Fadli
Kelahiran: Ganti, Praya Timur, Lombok Tengah, 7 September 1995
Pendidikan Terakhir: S-1 Komunikas Ilmu UII Yogyakarta
Orangtua: Hj Nur’aini (ibu) dan H Rusnan Hadi (bapak)