Kegelisahan Penggandrung Teologi
Sunlie Thomas Alexander menyusuri jalur perjuangan yang jauh dari hiruk pikuk lewat sastra. Argumentasi turut disuarakan dengan media sosial yang kerap begitu alot. Diskusi memanas hingga ia pernah diancam akan dibunuh.
Sunlie Thomas Alexander (45) mencurahkan kerisauan lewat cerpen dan puisinya. Ia kerap mengelaborasi karya-karya kritis yang bersinggungan dengan otoritas religi dan kultural. Sastrawan itu juga berkali-kali mempertahankan pendirian yang diyakininya benar hingga menghadapi ancaman untuk dihabisi.
Sunlie tampak santai dengan oblong biru saat menyampaikan penuturannya lewat telekonferensi. Ia baru tidur nyaris subuh dan dibangunkan istrinya menjelang tengah hari. ”Habis ini mau menuntaskan editan. Barusan, percetakan juga telepon mengabarkan buku yang sudah jadi,” katanya di Yogyakarta, Kamis (30/6/2022).
Di tengah kesibukannya pula mengirimkan informasi-informasi seputar Tanah Air kepada temannya yang mengelola media massa di Hong Kong, ia menulis cerpen. Karya Sunlie, ”Keluarga Kudus”, terpilih sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2021. Dewan Juri Cerpen Pilihan Kompas 2021 tanpa sanggahan menyumbangkan suaranya untuk karya yang dimuat pada 7 Maret 2021 tersebut.
Penulis yang tak asing dalam dunia sastra Indonesia itu menyoroti dan menyublimkan gunjingan dalam cerpennya. Teknik bertutur Sunlie mengingatkan kreasi Jorge Amado, penulis asal Brasil yang intens memanfaatkan rumor. Sunlie juga belajar banyak dari sastrawan Raudal Tanjung Banua untuk meramu gosip dan menjadikannya menarik. Salah satu cerpen Raudal menjadi cerpen terbaik Kompas 2018.
Pencapaian Sunlie bukannya mulus-mulus saja. Ia sempat mengepos ”Keluarga Kudus” di media sosial (medsos), tetapi yang didapat justru kritik keras. ”Plotnya dinilai lemah. Lebih mirip karya jurnalistik. Data dihimpun dan diramu jadi cerpen. Malah, dianggap bukan cerita murni dari pengalaman sendiri,” ucapnya.
Sunlie bergeming. Ia terinspirasi tuturan sang istri mengenai persoalan riil kampung halamannya di Nusa Tenggara Timur. ”Saya tak terima kalau cerpen realis harus pengalaman penulis meski sah-sah saja pendapat yang bersangkutan. Kalau cerpen sejarah bagaimana? Kita, kan, tak mengalaminya,” ucapnya.
Sunlie menyamarkan nama kampung dalam cerpennya dengan fiksi, tetapi derma dan sumbangan yang dipanggungkan tetap faktual. ”Kita sebenarnya tak seberani penulis-penulis di negara lain yang bisa mengangkat persoalan antarmasyarakat beragama,” ujarnya.
Ia malah berminat mengolah persoalan-persoalan itu menjadi karya kreatif untuk menyodorkan pemahaman baru sehingga berguna di kemudian hari. ”Paling tidak, bisa meredam masalah yang muncul. Dogma dan doktrin justru memicu ekslusivitas agama,” katanya.
Teologi inklusif pun sulit dikembangkan, apalagi dengan permainan politik identitas seperti yang terjadi pada pemilu, termasuk pilkada sebelumnya. ”Bisa dilihat, isu agama sangat kencang. Di medsos, sejak pagi hingga malam dibahas tak henti-henti,” ujarnya.
Sunlie menaruh harapan ”Keluarga Kudus” membangkitkan perenungan. Pemuka agama harus memikirkan kebijakan yang membebani jemaatnya. ”Umat juga sepatutnya berani bereaksi. Saya tak bicara ranah agama tertentu, tetapi semuanya. Jangan otoriter sehingga tak bisa dikritik sama sekali,” ujarnya.
Dalam konteks penjiwaan, Sunlie sudah selesai dengan pergulatan membingkai keresahan di tanah kelahirannya, Kepulauan Bangka Belitung. ”Termasuk kultur Tionghoa-nya. Itu lokalitas saya. Begitu menghadapi bahan mentah dari daerah lain, saya harus menggarapnya supaya tetap menarik untuk dibaca,” katanya.
Berliku-liku
Animo Sunlie menggeluti religiositas menempuh jalan yang berliku-liku. Sebelumnya, ia pernah mengambil Program Studi Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, tetapi tidak tamat. Jiwa Sunlie tak menetap dalam pilihannya itu, bahkan sempat tertekan.
Ia mengalihkan minatnya ke Jurusan Akidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. ”Filsafat teologi itu kegelisahan saya sejak lama. Malah, saya sudah baca buku filsafat dan teologi mulai SMP,” katanya.
Ia membaca buku-buku yang mengulas semua agama. Maka, Sunlie memilih jurusan itu untuk menekuni filsafat teologi secara akademik. Saat belajar di ISI, kebanyakan bacaan Sunlie justru buku filsafat. Ia pun menunjukkan ketertarikan luar biasa terhadap teologi dengan mengkaji The Satanic Verses karya Salman Rushdie dalam skripsinya.
Sunlie mengekspresikan kecemasan hingga mengungkapkan kengerian beberapa kali soal fanatisme pemimpin agama hingga pendukungnya. ”Kalau reaksi muncul meski dari kalangan sendiri, pembelanya begitu garang membentengi diri. Bukan kritik, tetapi dipersepsikan serangan,” ucapnya.
Kecintaan terhadap sastra tumbuh saat Sunlie kecil rutin menikmati dongeng ayah dan kakeknya seusai makan malam. Ia malah nyaris tak pernah mengakrabi cerita anak. ”Saya menyimak sastra klasik China, sejarah berikut perang, Sam Kok, dewa-dewa, sampai perjalanan kera sakti mencari kitab suci ke barat,” ucapnya.
Ia dekat dengan orisinalitas lantaran wawasan jembar orangtuanya yang melahap bacaan dengan bahasa Mandarin. Kakek Sunlie bahkan bermigrasi dari China. ”Beranjak besar, saya baca Lupus, Balada Si Roy, sampai Wiro Sableng. Majalah Hai, Anita Cemerlang, dan Aneka Yess! juga,” katanya.
Sunlie sungguh menikmati suburnya kios baca untuk menyewa buku yang semakin menumbuhkan kegandrungan membaca dan menulis cerpen. ”Lebih-lebih, saya dari keluarga pluralis. Kakek saya aktivis militan gereja yang naik sepeda untuk mengajar dengan Alkitab dan buku pelajaran Katolik bahasa Mandarin,” katanya.
Sunlie besar di Pulau Bangka yang sangat majemuk dengan akulturasi dan asimilasinya. Masyarakat Tionghoa mengunjungi masyarakat yang memeluk Islam di sela Lebaran, demikian pula sebaliknya saat tahun baru Imlek. Banyak warga Tionghoa juga mengais rezeki hanya dengan menjaga kebun, memburuh, hingga mencari ikan yang meleburkan dikotomi mayoritas dan minoritas.
”Saya ingin menyuarakan mereka yang tak berpunya dengan karya-karya. Warga Tionghoa disalahkan karena dituding menumpang hidup dan menguras kekayaan Indonesia,” ujarnya. Hingga tahun 2000-an awal, masih banyak warga Tionghoa di Kepulauan Bangka Belitung yang tinggal di gubuk. Hunian itu hanya berdindingkan kulit kayu dan spanduk, tetapi banyak kalangan selalu melihat mereka yang elite dengan rumah-rumah bertingkatnya.
”Saya berbaur dengan teman-teman Muslim yang menggelitik keingintahuan soal agama. Jadilah saya tertarik dengan teologi,” katanya. Semasa SMA, pemikiran Sunlie kian ditempa gurunya dengan menyediakan ruang mendalami filsafat teologi di kamar yang disesaki buku-buku tafsir agama.
Hendak dibunuh
”Saya mualaf sejak tahun 2004. Islam itu rahmatan lil alamin (memberi rahmat bagi semesta alam). Agama yang damai,” ucapnya. Ia mengikuti pengajian dengan ustaz yang bertemankan kelompok jalanan, mulai pekerja kasar sampai preman. Sunlie pun sempat terpikir untuk memperjuangkan aspirasi lewat politik. Pemilu legislatif dipandang peluang, tetapi ia mengurungkan niatnya.
”Bisa saja menawarkan keetnisan dipadu agama, tetapi saya sebenarnya cepat marah. Tukang ngamuk-ngamuk di Facebook. Jadi, bahaya juga,” katanya sambil tersenyum. Pesimisme juga berangsur menguasai Sunlie saat mengamati politikus yang tak jarang saling sikut.
Ia menyusuri jalur perjuangan yang jauh dari hiruk pikuk lewat sastra. Argumentasi lalu turut disuarakan dengan medsos yang sering begitu alot. ”Diskusi lewat Facebook memanas sampai akun saya diblokir. Jadi, saya bikin dua akun Facebook. Malah, saya pernah diancam mau dibunuh golongan garis keras,” katanya.
Sunlie pun sempat mengecap onak dan duri kehidupan menjadi penjual kacamata keliling, wartawan, hingga buruh bangunan. Ia mengangkut bata, menarik ember berisi semen basah ke lantai atas, dan meniti bilah papan di ketinggian dengan upah sekitar Rp 40.000 per hari. ”Ayah saya punya toko pakaian, tetapi saya enggak sanggup mengurusnya. Akhirnya, diajak teman jadi kuli bangunan,” ujarnya.
Sunlie berseloroh dengan mengutarakan filosofis pencariannya selama lima bulan pada tahun 1999 itu yang dekat dengan Tuhan. ”Naik sampai tingkat delapan. Kalau jatuh, enggak ada asuransi. Kerja itu sebenarnya sehat. Badan fit. Sekarang, duduk lama langsung sakit pinggang,” katanya seraya terbahak.
Sunlie Thomas Alexander
Lahir : Belinyu, Pulau Bangka, 7 Juni 1977
Istri : Yonetha Rao (30)
Anak : Gamora Zeva Thong (10 bulan)
Pendidikan :
SD Santa Agnes Belinyu, Kepulauan Bangka Belitung
SMP Santo Yosef Belinyu, Kepulauan Bangka Belitung
SMA Yayasan Pendidikan Darma Bakti (YPDB) Belinyu, Kepulauan Bangka Belitung
Jurusan Akidah dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta
Penghargaan antara lain :
14 Cerpen Terbaik Anugerah Sastra Horison 2004
Penghargaan Sastra Badan Bahasa Kemendikbud untuk kategori kritik sastra/esai, tahun 2020