Made ”Bayak” Muliana, Seni Menantang Era ”Plastilikum”
Made ”Bayak” Muliana merasa harus berbuat sesuatu untuk turut andil menyelamatkan lingkungan.
Oleh
IGNATIUS NAWA TUNGGAL
·5 menit baca
Di zaman ”kekuasaan” rezim plastik, seniman asal Bali, Made ”Bayak” Muliana (42), menyebutnya sebagai era Plastilikum. Ini gebrakan dan rumusan telak dari kegelisahannya menyaksikan alam yang harus menanggung beban berat karena timbunan sampah plastik. Bayak mengikrarkan era suram dunia ini lewat karya-karya yang menohok kesadaran penyimaknya.
Bayak memperkenalkan Plastilikum sebagai karya tugas mata kuliah Eksperimen Kreatif di Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar pada semester IV dan V tahun 2001-2002. Ketika itu, ia mengumpulkan lelehan sampah plastik yang terbakar dari tempat pembuangan sampah. Lelehan yang sudah keras dan membatu itu lantas ia pertemukan dengan batu padas dari pinggir sungai. Jadilah sebuah karya instalasi yang ia sebut sebagai ”Era Plastilikum”.
Selepas kuliah tahun 2006, Bayak terus melanjutkan eksperimen dan penggalian ide membuat karya seni berbasis material sampah plastik. Pamerannya banyak digelar di Bali, kota-kota besar di Indonesia, dan di luar negeri. Ketika berpameran di Napoli, Italia, pada 2016, Bayak menyempatkan diri mengunjungi sebuah museum plastik.
Ia kemudian menjadi lebih memahami persoalan. Plastik, katanya, sejak awal diciptakan untuk menggantikan material hasil eksploitasi hutan. Benda baru itu tercipta dari pengolahan residu minyak bumi.
”Sedari semula diharapkan plastik andil dalam alam untuk mengurangi pembabatan hutan. Akan tetapi, sekarang plastik justru menambah beban kerusakan alam,” ujar Bayak, Selasa (14/6/2022), dari Bali.
Dulu, di masa kecilnya di Desa Tampaksiring, Gianyar, ia berada di lingkungan yang bebas sampah plastik. Sekarang, plastik semakin berserak di tanah atau hanyut terbawa arus sungai. Banyak pula yang tersangkut di tebing-tebing sungai atau terus terbawa air sungai menuju laut.
Sebagai seniman, Bayak resah. Ia merasa harus berbuat sesuatu untuk turut andil menyelamatkan lingkungan. Saat belajar di kampus, benar-benar ia gunakan untuk melakukan eksplorasi terhadap segala kemungkinan menjadikan isu sampah sebagai bagian penting dari proses kreatifnya.
Gerakan global
Mengurangi sampah plastik sudah menjadi gerakan global. Meski demikian, aktivitas Bayak bukan demi mengikuti tren global. Ia sepenuhnya sadar bahwa di lingkungan tempat tinggalnya di Bali sudah mulai berubah. Sampah plastik ada di mana-mana. Ia berniat mengambil bagian demi menjaga keseimbangan alam.
”Pada akhirnya, saya juga menjadi aktivis peduli lingkungan. Saya banyak memberikan workshop di Bali dengan tujuan membangun kesadaran untuk mengurangi sampah plastik,” kata Bayak yang menyebut gerakan peduli lingkungan sebagai proyek Plasticology.
Tidak hanya di Bali, Bayak juga kerap diundang ke luar negeri untuk berbagi pengalaman tentang gerakannya tersebut. Pada Mei 2019, Bayak memberikan lokakarya yang diberi tajuk ”Rainbow Dragon Plasticology” di Orchard Grove School, Blackburn, Melbourne, Australia.
Pada kesempatan yang hampir bersamaan, ia menyampaikan ceramah ”Aktivitas Seni Bali dan Proses Pembuatan Seni Kritis” di Universitas Melbourne, Australia. Pada April 2019, ia diundang untuk menyampaikan sesi lokakarya ”Balinese Art” di Lamar Dodd School of Art UGA, Athens GA, Amerika Serikat.
Ketika berpameran di Napoli, Italia, pada 2016, Bayak juga menyampaikan ceramah tentang Plasticology dan Bali Tolak Reklamasi di Universitas L’Orientale Naples.
Bayak tidak pernah menyangka bakal melawat ke negara-negara lain karena karya seninya yang berbasis sampah plastik. Sebelumnya, ia semata-mata memperjuangkan kenangan manis di masa kecilnya di Desa Tampaksiring yang asri dan terbebas dari sampah plastik.
Pada masa kecil itu ia kerap mandi di kali di desanya. Lingkungan sungai itu masih bersih. Kemudian, mulai muncul orang mandi dan keramas menggunakan sampo di dalam kemasan plastik. Sejak itulah sampah plastik masuk ke kali di desanya. Lambat laun sampah plastik ada di mana-mana.
Baru-baru ini Bayak turut serta memamerkan karya seninya di Art Moments Jakarta Online-Offline (AMJO) #3 di Jakarta. Bayak merasa senang karena apresiasi publik semakin membesar terhadap karya-karya seni yang bertujuan kampanye peduli lingkungan.
Seusai mengikuti AMJO #3, Bayak mempersiapkan karya-karyanya untuk dipamerkan di perhelatan Artjog yang akan berlangsung pada 7 Juli hingga 4 September 2022 di Yogyakarta. Ia ingin menghadirkan seni instalasi figur-figur monster yang dibuat dari sampah plastik.
Saat Jogja Biennale 2019, Bayak menghadirkan beberapa bentuk rupa setinggi 7 meter dengan tumpukan 600 balok sampah plastik yang dipres. Setiap balok sampah plastik berbobot 35 kilogram.
Pada saat mempersiapkan karya itu, Bayak bekerja sama dengan suatu komunitas peduli lingkungan di Yogyakarta. Komunitas itu memilah sampah plastik dan mengumpulkan plastik-plastik itu untuk digunakannya membuat karya piramida.
”Setelah dipamerkan, balok-balok plastik itu dikirim ke Surabaya untuk didaur ulang,” ujar Bayak.
Tidak semua sampah plastik mendukung didaur ulang. Menurut Bayak, sampah plastik bekas kemasan makanan yang mengandung bahan aluminium termasuk paling sering dihindari untuk didaur. Karena itu, Bayak sering memilih jenis sampah plastik itu untuk karya seninya.
”Sampah plastik yang tidak mungkin didaur ulang bisa dijadikan bahan bakar dengan asap polusinya disaring sehingga tidak menghasilkan udara, ujar Bayak yang melihat praktik pembakaran sampah plastik seperti itu digunakan untuk pembangkit listrik di negara-negara lain.
Bayak giat menggelorakan proyek Plasticology di mana pun berada. Ia menyimpan dan membagikan pengetahuan tentang mereduksi atau mengurangi sampah plastik. Entah sampai kapan era Plastilikum yang ditancapkan Bayak ini akan berakhir.
Made ”Bayak” Muliana
Lahir: Gianyar, Bali, 27 Juni 1980
Pendidikan: S-1 Seni Rupa Murni,
Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Bali, 1999-2006.
Penghargaan:
- 20 Harga Sovereign Art Terbaik 2013 di Espace Louis Vuitton Singapore