Janice dan Benita, Keuletan Ganda Si Desainer Kembar
Desainer kembar asal Surabaya, Jawa Timur, berkiprah mendunia membawa kekayaan budaya Tanah Air. Pergulatan serta keuletan mereka dalam berkarya patut diacungi jempol.
Berbincang dengan Janice Setyawan dan Benita Setyawan, dua desainer kembar asal Surabaya, kita seperti mengobrol dengan perwakilan generasi muda yang sedang mekar dan menunjukkan jati dirinya. Keduanya antusias, amat percaya diri, terbuka, dan tahu benar apa yang mereka inginkan, serta bagaimana mencapainya.
Ditemui lima hari seusai menjalani masa karantina di Jakarta, Janice dan Benita (24), Rabu (16/6/2021), sangat antusias saat diminta bercerita tentang kerja dan karya terbaru mereka, yakni film mode (fashion film) yang Juni lalu mereka gelar di Milan, Italia.
Dalam film mode berdurasi tak lebih dari 2 menit ini, Janice dan Benita menampilkan setidaknya lima gaun bridal couture rancangan terbaru mereka. Film itu dikemas layaknya sebuah cerita bertema ”Realm of Silence”.
Janice dan Benita mengaku terlibat sangat aktif dalam pembuatan film di Istana Palazzo Emilio Turati, istana eksotis dan bersejarah yang sarat dengan nuansa era Barok pada abad ke-17. Pilihan lokasi itu, menurut Janice, bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh, apalagi serampangan.
”Untuk menentukan lokasi shooting, kami terlebih dahulu riset ke semua tempat yang ada di Milan. Kami cari tempat yang benar-benar cocok dan outstanding. Istana itu sangat bersejarah dan banyak terdapat lukisan bersejarah. Cocok dengan story telling di film kami yang juga bertema Barok,” ujar Janice.
Selain lokasi pengambilan gambar, Janice dan Benita juga menyeleksi ketat para peraga busana mereka. Keduanya mencari peragawati yang benar-benar memiliki wajah berkarakter kuat sehingga pas dan mampu merepresentasikan gaun-gaun yang dikenakan.
Pada salah satu desain gaun, yang terinspirasi pakaian wanita Rusia abad ke-10 di kota Rusia Kuno, Veliky Novgorod, si kembar mencari peragawati berwajah khas negeri itu. Sementara untuk desain-desain lain bernuansa khas masa Barok, keduanya memilih para peragawati berwajah polos, innocent, sekaligus memesona.
Baca juga : Gaya Barok di Gaun Pengantin Mewah Maquinn di Italia
Totalitas dan kesungguhan juga diperlihatkan lewat tingkat kerumitan pembuatan salah satu gaun utama yang membutuhkan waktu 1.800 jam atau 2,5 bulan. Ada beragam teknik nan rumit macam embroidery (sulam) dan beading yang diterapkan di gaun satu itu. Mereka juga menyematkan ribuan laser cut hydrangea applique secara manual satu per satu.
Sebagai generasi Z, mereka memang sangat tech savvy alias melek teknologi. Keduanya sama sekali tak ragu menerapkan atau memanfaatkan teknologi dalam berkarya.
Tahun lalu, mereka juga terbilang sukses di Milan Fashion Week. Saat itu mereka memfusikan kekuatan dan kekayaan batik Indonesia dengan khazanah desain mode Eropa dengan tajuk ”Pilgrimage”. Corak batik Pekalongan dan Cirebon sukses berpadu dengan teknik embroidery dan beading dalam karya mereka. Karya mereka menuai pujian.
Yin-yang
Sepanjang percakapan, sekilas Janice mengambil posisi sebagai ”juru bicara” yang dominan. Gaya bicaranya ceplas-ceplos dan medhok khas suroboyoan. Sementara Benita lebih sering sebatas menimpali dan menambahkan apa yang telah dijelaskan oleh Janice yang usianya lebih tua lima menit dari Benita.
Karakter Benita tampak lebih kalem. Namun, begitu topik pembicaraan bergeser soal kegemarannya memasak, terutama menu kepiting mentega alias butter crab, Benita bisa tampak lebih antusias, sementara sang kakak yang ganti diam mendengarkan.
”Saya memang suka banget masak. Kalau lagi bosen di rumah, saya belanja-belanja lalu masak buat orang serumah. Waktu shooting di Milan, saya juga masak buat teman-teman orang sana dan mereka suka. Soalnya setelah cari-cari di sana enggak ada restoran Indonesia, padahal kangen masakan Tanah Air. Saya hanya doyan masakan Indonesia, terutama dari Bali dan Solo,” ujar Benita.
Di antara kedua penggemar film animasi Jepang (anime) itu sebenarnya tak ada yang terlalu dominan. Bahkan, sebelum bicara pun Janice kerap beradu pandang dengan sang adik seolah meminta konfirmasi atau semacam dukungan atas apa yang akan atau sudah dia sampaikan. Begitupun sebaliknya, vice a versa.
Dalam keseharian dan saat berkarya, mereka mengaku selalu bersama dan saling mengisi kekurangan yang lain dengan kelebihan masing-masing. Ibarat sebuah siklus abadi, keduanya menjadi semacam yin dan yang, yang saling menyempurnakan. Yin dan yang dalam berkarya.
Baca juga : Srihadi Soedarsono Mengkreasi Ulang Ganesha
”Sebisa mungkin kami berbagi tugas untuk melengkapi. Apa yang saya enggak bisa dilengkapi Janice begitu pula sebaliknya. Misalnya kalau saya lebih ke urusan desain dan produksi, Janice mengurusi pemilihan tema dan public relation. Kalaupun saat mendesain ada perbedaan, kami secepat mungkin cari solusi, terutama kalau ada deadline,” ujar Benita.
Dalam merancang, Janice dan Benita memang punya latar belakang kekuatan dan kelebihan masing-masing, terutama secara teknis. Hal itu bisa dijelaskan dari latar belakang dasar pendidikan mode keduanya yang awalnya berbeda.
Janice memilih untuk memulai perjalanan karier sebagai perancang mode dengan mengambil kursus merancang dan membuat jas pria pesanan khusus (bespoke suit) di Savile Row, London, Inggris. Kawasan ini terkenal sebagai area tempat para penjahit elite bespoke suit yang juga menjadi inspirasi film laga Kingsman.
Jaket custom produksi area ini sangat terkenal lantaran dikerjakan secara manual dengan tangan, mulai pengukuran hingga hasil akhir. Prosesnya bisa memakan waktu sedikitnya 50 jam kerja dan melalui beberapa kali fitting. Harganya pun fantastis, puluhan hingga ratusan juta rupiah. Tidak heran jas jaket itu dikenakan hanya oleh kalangan tertentu. Banyak penjahit ternama di Savile Row bahkan beroperasi sejak awal abad XIX.
Sementara itu, Benita lebih memilih untuk mendalami teknik sulam dan bordir di London Embroidery School, juga di Inggris. Pengaplikasian teknik ini menjadi ciri khas rancangan-rancangan keduanya di bawah bendera Maquinn Haute Couture Fashion. Dari London keduanya melanjutkan studi ke Instituto di Moda Burgo Milano, Italia.
Saat itu mereka berdua sebenarnya masih tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Hang Tuah, Surabaya. Sang ayah pun sebetulnya tidak setuju mereka ”banting setir” ke dunia mode. Kedua orangtua ingin si kembar berkarier di dunia kedokteran sesuai keinginan mendiang nenek dari ayah.
”Dulu nenek pesan, ’tolong jadikan si kembar ini dokter’. Padahal, kami sejak SMP sudah tertarik ke mode dan sudah mendirikan bisnis pakaian batik siap pakai dengan merek Maquinn. Waktu itu enggak mendesain sendiri karena hanya produksi fast fashion,” kisah Janice yang juga dibenarkan Benita.
Sebetulnya studi Janice dan Benita di fakultas kedokteran gigi sudah hampir kelar. Saat tengah menjalani tahap pendidikan profesi dokter gigi, biasa disebut koas, si kembar minta izin cuti dan berangkat ke Inggris lalu Italia untuk belajar desain mode.
Setelah membuktikan mampu dan bersungguh-sungguh di bidang yang sesuai passion mereka, sang ayah luluh. Ia akhirnya membebaskan keduanya memilih jalur hidup sendiri. Kini Janice dan Benita sangat berharap untuk bisa menggelar karya-karya mereka di Tanah Air. Sayangnya, pandemi Covid-19 masih menghalangi mereka. Sepertinya tinggal persoalan menunggu waktu yang tepat.