Dilema Menaikkan Harga LPG Bersubsidi
Perang Rusia dan Ukraina membawa dampak pada dinamika pasar dunia. Harga minyak dunia pun terimbas. Bagaimana dengan harga elpiji besubsidi di Indonesia, akankah terimbas?
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F02%2F27%2F2e1dd526-860e-4cb9-8333-8c7ca5383c98_jpg.jpg)
Pekerja menata elpiji bersubsidi ukuran 3 kilogram di sebuah agen elpiji di kawasan Pasar Rebo, Jakarta, Sabtu (27/2/2021). Menurut data PT Pertamina (Persero), konsumsi elpiji bersubsidi pada 2020 mencapai 7,14 juta ton dan diperkirakan naik menjadi 7,5 juta ton pada 2021.
Invasi militer Rusia ke Ukraina berdampak terhadap kenaikan harga minyak bumi di pasaran global. Hampir semua negara, terutama yang memiliki ketergantungan impor BBM yang tinggi seperti halnya Indonesia, akan merasakan dampak kenaikan tersebut.
Salah satunya terjadi penyesuaian harga pembelian produk turunan minyak bumi yang semakin mahal di tingkat retail. Selain itu, juga terjadi tekanan yang sangat berat bagi keuangan negara karena pemerintah berupaya melindungi masyarakat golongan menengah ke bawah dari tekanan harga yang kian mahal dalam bentuk subsidi.
Invasi militer Rusia ke Ukraina berdampak pada kenaikan harga minyak bumi di pasaran global.
Sayangnya, benteng perlindungan itu terbentur pada keterbatasan alokasi anggaran, sehingga pemerintah akan mengendurkan nilai subsidinya karena beban keuangan yang ditanggung semakin berat.
LPG 3 kilogram menjadi salah satu energi yang kemungkinan besar akan ditetapkan menjadi lebih mahal dalam waktu dekat. Upaya menaikkan harga jual LPG bersubsidi yang sejak tahun 2007 dibanderol Rp 4.250 per kilogram akan mendorong pemerintah pada posisi dilematis.

Ada sejumlah hal yang mendasari posisi sulit pemerintah itu. Pertama, konsumen LPG bersubsidi 3 kilogram sangatlah besar. Jumlahnya mendominasi dalam pangsa pasar LPG di Indonesia.
Pada tahun 2014-2020, jumlah konsumsi LPG bersubsidi 3 kilogram ini rata-rata mencapai 87 persen per tahun atau sekitar 6,2 juta metrik ton (MT) dari seluruh konsumsi LPG yang mencapai kisaran 7 juta MT setahun.
Kenaikan harga LPG subsidi 3 kilogram kemungkinan besar menimbulkan polemik dan juga penolakan.
Artinya, konsumen LPG nonsubsidi relatif sangat kecil, yakni hanya sekitar 13 persen atau sebanyak 0,8 juta MT setahun. Dengan jumlah pangsa pasar yang besar ini maka kenaikan harga LPG subsidi 3 kilogram kemungkinan besar menimbulkan polemik dan juga penolakan.
Terutama dari kelompok masyarakat miskin, UMKM, dan juga usaha perikanan nelayan skala kecil yang menjadi sasaran produk subsidi ini.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F12%2F09%2F8d2884b8-b73b-47a8-924e-5f8d7ec12850_jpg.jpg)
Pedagang menata tabung elpiji subsidi 3 kilogram kosong di pangkalan elpiji di kawasan Karet Tengsin, Jakarta Pusat, Senin (9/12/2019).
Selain itu, kenaikan harga LPG subsidi itu tentu saja akan memberikan andil inflasi terutama bagi komoditas yang dihasilkan oleh unit rumah tangga atau UMKM. Jadi, menaikkan harga jual LPG subsidi akan menurunkan daya saing produk UMKM karena membuat harga jual semakin mahal.
Posisi sulit berikutnya adalah terkait dengan beban anggaran subsidi yang kian besar. Apabila, harga jual LPG subsidi tidak dinaikkan maka beban subsidi akan membengkak. Hal ini dikarenakan produksi LPG di dalam negeri terus menurun.
Menaikkan harga jual LPG subsidi akan menurunkan daya saing produk UMKM karena membuat harga jual semakin mahal.
Pada kurun 2014-2020, produksi LPG domestik terus menyusut rata-rata sebesar 70.000 MT per tahun. Di sisi lainnya, konsumsi LPG terus meningkat sekitar 320.000 MT setahun. Akibatnya, permintaan impor LPG dari luar negeri terus bertambah sekitar 460.000 T per tahun.
Secara akumulasi, permintaan impor LPG terus merangkak naik mulai dari kisaran 60 persen dari total seluruh konsumsi pada tahun 2015 hingga mencapai kisaran 79 persen pada tahun 2020. Kondisi demikian memerlukan daya dukung anggaran keuangan yang kuat.

Setiap saat pemerintah memerlukan valuta asing untuk mengimpor LPG tersebut dari luar negeri. Akibatnya, setiap perubahan kondisi perekonomian global dapat berpengaruh pada stabilitas keuangan di Indonesia sehingga dapat berdampak pada harga jual komoditas impor tersebut di dalam negeri.
Tren konsumsi dan juga kuantitas impor LPG yang terus meningkat menyebabkan anggaran subsidi yang dipersiapkan juga semakin banyak. Pada laporan Nota Keuangan APBN 2022, disebutkan nilai subsidi LPG 3 kilogram pada tahun 2022 dianggarkan sebanyak Rp 66,3 triliun.
Tren konsumsi dan juga kuantitas impor LPG yang terus meningkat menyebabkan anggaran subsidi yang dipersiapkan juga semakin banyak.
Anggaran ini merupakan yang terbesar diantara subsidi energi lainnya. Mengalahkan subsidi BBM tertentu yang hanya berkisar Rp 11 triliun ataupun subsidi untuk energi listrik yang mencapai Rp 56 triliun.
Dengan anggaran subsidi saat ini yang besar sekalipun ternyata deraan kenaikan harga minyak dunia yang tinggi di atas 100 dollar AS/barel tetap membuat pemerintah kewalahan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F05%2F24%2Fa9b02bb5-3066-436e-a100-75b5e4ae2ed8_jpg.jpg)
Penjual eceran mengantarkan tabung elpiji 3 kilogram kepada pelanggan di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (24/5/2021).
Penentuan estimasi harga minyak dunia yang lebih rendah dari kenyataannya akan membuat posisi pemerintah berisiko tinggi ketika terjadi gejolak global.
Baca juga : Subsidi Elpiji agar Dibenahi
Deviasi harga migas
Harga energi di tingkatan global yang berada di atas perkiraan skenario dasar makro ekonomi Indonesia menimbulkan deviasi harga yang berpotensi memberatkan APBN. Pada rentang tahun 2017-2021, harga Indonesian Crude Price (ICP) yang ditetapkan dalam penyusunan APBN rata-rata mengalami under estimate dengan realisasi harga minyak dunia.
Setiap tahun, rata-rata terjadi deviasi perkiraan harga minyak sekitar 28 persen. Pada tahun 2021 terjadi penyimpangan harga realiasi hingga kisaran 52 persen di atas proyeksi yang diperkirakan. Untuk tahun 2022 ini, kemungkinan deviasinya akan sangat besar hingga akhir tahun nanti apabila tidak ada pembenahan dalam APBNP 2022.

Anggaran makro ekonomi yang dipersiapkan dalam menyusun APBN 2022 yang mengestimasi harga ICP sebesar 63 dollar AS/barel menjadi sangat timpang dengan harga minyak dunia saat ini yang rata-rata sudah lebih dari 100 dollar/barel.
Apalagi, invasi militer Rusia ke Ukraina sebagai sumber utama penyebab naiknya harga minyak dunia belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir.
Akibatnya, akan menimbulkan beban berat yang berkepanjangan bagi negara importir minyak seperti Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah pun berupaya segera melakukan menyesuain harga energi terutama yang sifatnya nonsubsidi. BBM jenis tertentu dan juga LPG nonsubsidi sudah naik sesuai keekonomian pasar pada awal April ini.
Namun, tidak cukup hanya di situ, pemerintah sepertinya juga sedang bersiap atau mengkaji kenaikan harga jenis BBM bersubsidi lainnya seperti LPG 3 kilogram, solar, dan juga pertalite.

Petugas memproses isi ulang tabung gas 3 kg di stasiun pengisian SPBE PT Sadikun Gas, Kebun Jeruk, Jakarta, Kamis (16/1/2020).
Khusus untuk LPG 3 kilogram, selain terkait pengurangan nilai subsidi, sebenarnya ada hal lain yang tak kalah penting untuk segera dibenahi dalam proses tata niaganya.
Hingga saat ini, LPG 3 kilogram relatif belum tepat sasaran. Siapapun dapat membeli produk subsidi ini tanpa ada prosedur pengecekan identitas sehingga status sosial ekonomi pembeli LPG subsidi menjadi sulit teridentifikasi.
Selain itu, jumlah penggunaan tabung 3 kilogram atau tabung melon sulit untuk dapat dibatasi sehingga rawan diselewengkan. Bisa ditimbun atau dioplos dengan dimasukkan ke tabung ukuran lebih besar guna mendapatkan margin besar sebagai produk LPG nonsubsidi.
Harga di tingkat konsumen akhirpun cenderung ditentukan oleh pengecer sehingga pengendalian harga relatif sulit dilakukan.
Fenomena demikian bila tidak diurai secara lebih baik lagi maka anggaran subsidi yang selalu disediakan pemerintah menjadi relatif tidak terarah dan tidak terkendali. Bukan tidak mungkin justru yang menikmati subsidi dari pemerintah itu adalah orang-orang golongan menengah ke atas yang sebetulnya tidak perlu dibantu.

Oleh sebab itu, untuk memutus ketidaktepatanan penyaluran LPG tersebut ada sejumlah cara yang dapat dilakukan. Pertama, melakukan pemutakhiran data dan teknologi sehingga masyarakat yang berhak membeli LPG 3 kilogram itu dapat terlihat dan terpantau melalui sistem aplikasi.
Siapa saja yang berhak membeli, jumlah kuotanya, hingga penindakan secara administrasi apabila terjadi pelanggaran baik dari sisi konsumen ataupun pedagang (pengecer). Dengan kemajuan teknologi informasi, sangat mungkin untuk mengatur sistem tata niaga LPG subsidi menjadi lebih transparan dan sistematis.
Kedua, dapat pula pemerintah kembali melakukan pendataan ulang kepada semua pihak yang berhak mendapatkan subsidi LPG 3 kilogram itu. Setelah terdata secara tepat maka pemerintah menyalurkan subsidi tersebut secara langsung kepada pihak yang berhak.
Jadi, pihak penerima mendapatkan subsidi berupa sejumlah nominal uang untuk keperluan membeli LPG 3 kilogram. Selanjutnya, setelah uang subsidi tersalurkan, harga LPG di sama-ratakan tanpa memandang ukuran tabung.

Warga Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur Kamis (21/6/2018) membeli elpiji dalam operasi pasar. Saat itu operasi pasar digelar karena ada laporan kelangkaan elpiji, setelah ditelusuri ternyata toko pengecer langganan warga masih tutup
Semua masyarakat Indonesia dapat membeli LPG dengan harga yang sama di pasaran. Langkah ini dapat mencegah terjadinya ketidaktepatan dalam konsumsi LPG di pasaran.
Baca juga : Konsep Penerima Elpiji Bersubsidi Belum Jelas
Skenario LPG Indonesia
Berdasarkan laporan Nota Keuangan APBN 2022, Kementerian Keuangan, pemerintah sedang berencana mengupayakan kebijakan transformasi kebijakan subsidi energi secara bertahap.
Pemerintah menargetkan masyarakat yang berhak membeli LPG tabung 3 kilogram dan penerima subsidi listrik berbasis pada Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Harapannya, dengan langkah transformasi ini maka alokasi subsidi energi menjadi lebih tepat sasaran.

Di sisi lainnya, Kementerian ESDM juga berencana mendorong tranformasi penggunaan sumber energi dari gas LPG ke listrik. Pemerintah merencanakan akan mulai membagikan kompor listrik bagi sekitar 2 juta rumah tangga di Indonesia setiap tahun. Pembagian kompor induksi listrik ini akan dimulai pada tahun 2022.
Seiring dengan meningkatkan penggunaan kompor induksi listrik tersebut, pemerintah juga mulai mengurangi impor LPG secara bertahap mulai tahun 2027. Pemerintah optimis sebelum tahun 2030 impor LPG dari luar negeri sudah dapat dihentikan.
Kementerian ESDM juga berencana mendorong tranformasi penggunaan sumber energi dari gas LPG ke listrik.
Untuk memenuhi permintaan LPG di pasar domestik, pemerintah Indonesia yakin mampu memproduksinya melalui kilang-kilang ”baru” hasil refinery development master plan (RDMP).
Proyek RDMP ini merupakan upaya revitalisasi 5 kilang pengolahan minyak PT Pertamina yang berada di Cilacap, Jawa Tengah; Balongan, Jawa Barat; Dumai, Riau; Balikpapan, Kalimantan Timur; dan Plaju, Sumatera Selatan.
Dengan RDMP ini maka harapannya dapat meningkatkan kapasitas produksi kilang minyak di Indonesia. Termasuk salah satunya produksi LPG.

Proses pengisian ulang elpiji 3 kilogram bersubsidi di Stasiun Pengisian Bulk Elpiji (SPBE) PT Sadikun Gas, Kembangan, Jakarta, Kamis (2/7/2020).
Dalam skenario Grand Strategi Energi Nasional (GSEN), penurunan dan penghentian impor LPG itu mampu menghasilkan penghematan bagi keuangan negara sekitar 4 miliar dolar AS pada kurun 2021-2040.
Jadi, diperkirakan di masa depan akan terjadi transformasi yang besar dari LPG ke kompor listrik. Selain itu, LPG yang digunakan nanti 100 persen merupakan produksi domestik dari kilang di dalam negeri. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Waspadai Kenaikan Harga Elpiji