Kenaikan harga elpiji nonsubsidi memperlebar selisih dengan harga elpiji bersubsidi. Situasi ini berpotensi menimbulkan praktik pengoplosan gas oleh pihak tak bertanggung jawab untuk mengambil untung secara ilegal.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Harga elpiji nonsubsidi naik. Ukuran 12 kilogram yang biasanya seharga Rp 150.000 per tabung di pengecer kini melonjak menjadi Rp 185.000 per tabung. Alasan PT Pertamina (Persero) menaikkan harga tersebut lantaran harga kulakannya juga naik. Pemerintah dan Pertamina harus mencermati dampak kenaikan harga elpiji nonsubsidi ini.
Elpiji memang barang impor. Dari konsumsi elpiji di Indonesia yang mencapai 6 juta sampai 7 juta ton setahun, sekitar 70 persen diimpor. Indonesia masih perlu mengimpor elpiji meski banyak memiliki sumber daya gas. Sayangnya, sifat gas yang ada di Indonesia disebut ”gas kering” yang tidak cocok untuk diolah menjadi elpiji.
Kembali ke soal kenaikan harga. Pada 2020 atau pada masa pandemi Covid-19, harga gas alam dunia di kisaran 2 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU). Saat ini, harga gas alam melonjak menjadi 4 dollar AS per MMBTU dan sebelumnya sempat menyentuh level 6 dollar AS per MMBTU. Banyak negara yang mulai pulih dari pandemi menyebabkan permintaan energi naik.
Sama halnya dengan yang terjadi pada minyak mentah. Selama pandemi, harga minyak jatuh dan bahkan sempat minus untuk minyak jenis WTI. Sementara jenis Brent ada di kisaran 25 dollar AS per barel. Kini, harganya perlahan mulai rebound dan ada di level 75 dollar AS per barel. Bahkan, beberapa waktu lalu harga minyak sempat menyentuh 80 dollar AS per barel. Sekali lagi, tingginya permintaan energi sebagai respons ekonomi yang pulih menyebabkan harganya naik. Ini adalah hukum pasar.
Kendati dua jenis energi di atas penting dan vital, harga jual di Indonesia tidak berubah alias tetap. Sebagai contoh, harga pertamax, yang merupakan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi, dijual Rp 9.000 per liter. Itu terjadi tatkala harga minyak mentah sedang jatuh pada 2020. Begitu juga harga elpiji nonsubsidi ukuran 12 kilogram, tetap Rp 150.000 per tabung.
Saat ini, harga gas alam melonjak menjadi 4 dollar AS per MMBTU dan sebelumnya sempat menyentuh level 6 dollar AS per MMBTU. Banyak negara yang mulai pulih dari pandemi menyebabkan permintaan energi naik.
Saat itu, Pertamina beralasan turunnya permintaan membuat perusahaan tak menurunkan harga jual BBM. Selain itu, arus kas Pertamina sedang berdarah-darah di awal pandemi berlangsung. Namun, seiring pemulihan ekonomi dan pandemi terkendali, sepanjang 2020 Pertamina masih membukukan laba 1,05 miliar dollar AS kendati di semester I-2020 merugi 768 juta dollar AS. Lalu, di semester I-2021, Pertamina kembali membukukan laba 183 juta dollar AS.
Apa dampak saat harga energi nonsubsidi naik? Di Indonesia, harga elpiji dan BBM terdiri dari dua macam, yaitu harga subsidi dan nonsubsidi. Ini akibat dari kebijakan negara yang meletakkan subsidi pada harga (komoditas), alih-alih kepada masyarakat (konsumen) yang memang berhak disubsidi. Salah satu contohnya adalah elpiji.
Elpiji tabung 3 kilogram, misalnya. Elpiji ini khusus untuk masyarakat miskin karena disubsidi negara. Di badan tabung elpiji pun tercantum tulisan ”Hanya untuk Masyarakat Miskin”. Sementara elpiji ukuran 12 kilogram dijual dengan harga nonsubsidi. Selisihnya lebar. Harga elpiji 3 kilogram ditetapkan pemerintah Rp 4.750 per kilogram dengan harga ritel bisa mencapai Rp 20.000 per tabung. Pada elpiji 12 kilogam nonsubsidi, dengan harga Rp 150.000 per tabung, per kilogramnya sebesar Rp 12.500. Dengan perhitungan di tingkat pengecer, ada selisih Rp 6.000 per kilogram dari elpiji bersubsidi dengan nonsubsidi.
Maka, dengan kenaikan harga elpiji nonsubsidi, patut diwaspadai maraknya praktik pengoplosan elpiji bersubsidi dengan yang nonsubsidi. Pada masa harga normal saja, praktik tersebut kerap ditemukan di pemberitaan. Selisih harga yang lebar antara elpiji bersubsidi dan yang nonsubsidi menggoda pihak tak bertanggung jawab untuk mengoplos gas dan menjualnya dengan harga nonsubsidi.
Sama halnya dengan harga jual solar bersubsidi yang ditetapkan pemerintah Rp 5.150 per liter. Harga solar nonsubsidi, yang mengikuti harga pasar, berkisar Rp 10.000 per liter. Solar nonsubsidi diperuntukkan bagi sektor industri. Namun, lebarnya selisih harga untuk barang yang sama tetap menimbulkan celah penyelewengan. Beberapa kali aparat kepolisian menemukan ”penyelundupan” solar bersubsidi untuk dipakai industri.
Selisih harga yang lebar antara elpiji bersubsidi dan yang nonsubsidi menggoda pihak tak bertanggung jawab untuk mengoplos gas dan menjualnya dengan harga nonsubsidi.
Oleh karena itu, rencana pengendalian distribusi elpiji 3 kilogram, yang sedari dulu masih sebatas rencana, harus segera direalisasikan. Tanpa pengendalian dan penertiban, pihak yang kaya pun bisa dengan mudah membeli elpiji bersubsidi ini. Pemerintah berencana menerbitkan kartu kendali yang dimiliki masyarakat yang berhak disubsidi. Hanya pemegang kartu yang bisa membeli elpiji 3 kilogram dengan harga subsidi. Namun, lagi-lagi pemerintah berkilah masalah pemaduan data penerima subsidi yang tak kunjung usai.
Kenaikan harga elpiji bersubsidi bisa diterima akal sehat lantaran harga pasarnya naik. Namun, pemerintah mesti mewaspadai jangan sampai berdampak pada maraknya penyelewengan elpiji bersubsidi. Praktik penyelewengan seharusnya dijadikan pelajaran.