Efisiensi Pemilu Melalui Desain Surat Suara
Penyederhanaan surat suara pemilu berpotensi mengurangi beban biaya pemilu. Desain surat suara juga harus menjamin mampu menjaga mandat pemilih.
Mengubah desain surat suara diyakini akan berdampak pada penghematan biaya logistik pemilihan umum. Selain efisiensi, mendesain kembali surat suara juga harus memperhatikan ketentuan undang-undang, kemudahan bagi pemilih dan penyelenggara pemilu, dan terutama tidak merugikan peserta pemilu.
Potensi penghematan biaya logistik ini disampaikan Ketua Komisi Pemilihan Umum Ilham Saputra saat acara simulasi pemungutan dan penghitungan suara Pemilu 2024 di kantor Komisi Pemilihan Umum, Jakarta, Selasa (22/3/2022).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Selain efisiensi, mendesain kembali surat suara juga harus memperhatikan ketentuan undang-undang, kemudahan bagi pemilih dan penyelenggara pemilu, dan terutama tidak merugikan peserta pemilu.
Menurut Ilham, upaya penyederhanaan surat suara bisa berpotensi menghemat biaya logistik sampai 60 persen. Asumsinya, jika sebelumnya jumlah surat suara di Pemilu 2019 ada lima surat suara, di dalam kajian desain surat suara bisa berkurang menjadi dua atau tiga surat suara saja.
KPU sendiri sudah pernah melakukan simulasi biaya jika jumlah surat suara berkurang dari hasil kajian ini. Terkait kebutuhan kertas, misalnya, dengan 5 surat suara di Pemilu 2019 kebutuhannya mencapai 31.460 ton.
Jika dibandingkan hasil simulasi dengan 2 surat suara di Pemilu 2024, maka kebutuhan kertas tercatat di angka 12.215 ton. Artinya, ada potensi penghematan mencapai 61,17 persen dibandingkan kondisi 2019.
Hal yang sama juga terjadi di biaya cetak surat suara. Di Pemilu 2019 lalu, dengan 5 surat suara, kebutuhan anggaran biaya cetak surat suara mencapai Rp 559,6 miliar.
Dengan berkurangnya jumlah surat suara, nantinya juga bisa berdampak pada berkurangnya kebutuhan kotak suara.
Jumlah ini berpotensi menurun jika jumlah surat suara, misalnya hanya 2 lembar di Pemilu 2024. Karena dengan proyeksi jumlah cetak yang relatif sama, dengan hanya 2 lembar surat suara, biayanya Rp 370,4 miliar atau menghemat sekitar 33,81 persen.
Tentu, berkurangnya jumlah surat suara nantinya juga bisa berdampak pada berkurangnya kebutuhan kotak suara. Jika di Pemilu 2019, karena menyesuaikan dengan jumlah 5 lembar surat suara, kebutuhan kotak suara mencapai 5 kotak di tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Di Pemilu 2024, jika hanya menggunakan 2 lembar surat suara, otomatis jumlah kotak suaranya juga berkurang.
Bagaimana menjelaskannnya? Mari kita bandingkan saja dengan jumlah kebutuhan kotak suara di 2019. Dengan satu TPS masing-masing 300 pemilih, maka ada sekitar 809.500 TPS yang dibentuk di Pemilu 2019. Dengan lima surat suara, kebutuhan kotak suara mencapai 4.047.500 unit. Dari kebutuhan jumlah kotak suara tersebut, biaya produksi pembuatan kotak suara mencapai Rp 254,9 miliar.
Kebutuhan kotak suara bisa lebih hemat jika jumlah surat suara berkurang dari Pemilu 2019. Jika diasumsikan jumlah surat suara di Pemilu 2024 hanya 2 lembar, kebutuhan kotak suara berkurang menjadi 1.619.000 unit. Dengan kebutuhan tersebut, biaya produksinya juga lebih hemat dibandingkan 2019, yakni Rp 152,9 miliar atau hemat 60 persen dibandingkan Pemilu 2019.
Baca juga : Memperkuat Pemilu melalui Teknologi
Tentu perbandingan kebutuhan kotak suara di atas masih mengasumsikan jumlah pemilih di tiap TPS mencapai 300 orang seperti yang dipraktikkan di Pemilu 2019.
Jika hanya dua surat suara, diasumsikan rata-rata waktu yang dibutuhkan pemilih menggunakan hak pilihnya di TPS bisa lebih cepat dibandingkan dengan lima surat suara saat Pemilu 2019. Dengan kondisi ini, jumlah pemilih di tiap TPS bisa saja ditambah sampai 400 orang.
Jika pemilih di tiap TPS ditambah, otomatis hal itu akan mengurangi kebutuhan jumlah TPS. Hasil simulasi KPU menyebutkan, jika kondisinya demikian, jumlah kotak suara pun lebih banyak berkurang kebutuhannya sampai hanya 953.852 unit dengan biaya produksi mencapai Rp 194,8 miliar. Nilai ini lebih hemat 76,4 persen dibandingkan biaya kotak suara di Pemilu 2019.
Baca juga : Rekam Jejak Surat Suara Pemilu
Jumlah berkurang
Praktis, dengan simulasi anggaran di atas, penyederhanaan surat suara memang memiliki potensi terhadap pengurangan biaya logistik, terutama pengadaan surat suara. Kondisi ini pada akhirnya juga berdampak pada biaya pengadaan logistik berkas-berkas di TPS yang merujuk pada jumlah surat suara di pemilu.
Pada akhirnya upaya penyederhanaan dan kajian surat suara ini memang merekomendasikan ada pengurangan jumlah surat suara. Selain pertimbangan efisiensi, juga mempertimbangkan kemudahan bagi pemilih dan petugas ad hoc, seperti Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), di lapangan.
Bagi pemilih, dengan pengalaman Pemilu 2019, ada potensi kesulitan dalam menghadapi 5 lembar surat suara. Secara teknis juga menyulitkan pemilih untuk membuka, belum lagi menentukan pilihannya. Durasi waktu yang dibutuhkan tiap pemilih juga relatif lebih lama, yakni rata-rata bisa lebih dari 5 menit.
Jajak pendapat Kompas pada Juni 2021 merekam pengakuan responden yang menyatakan kesulitan soal banyaknya surat suara di Pemilu 2019. Kesulitan itu lebih pada bagaimana membedakan, mana surat suara untuk DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Mayoritas responden (90,8 persen) mengakui kesulitan ini.
Dengan lima kertas suara, waktu yang dibutuhkan terlalu lama di bilik suara. Tidak hanya bagi pemilih, kesulitan juga dirasakan panitia ad hoc di TPS. Disebutkan, faktor kelelahan dan sakit bawaan membuat sebanyak 894 petugas KPPS meninggal dan 5.157 petugas KPPS sakit.
Hasil jajak pendapat Kompas ini juga senada dengan hasil survei Pusat Penelitian Politik LIPI 2019 bertajuk ”Survei Pasca Pemilu 2019: Pemilu Serentak dan Konsolidasi Demokrasi”. Merujuk survei ini, menggunakan 5 jenis surat suara memang memberikan kesulitan bagi para pemilih.
Dengan lima kertas suara, waktu yang dibutuhkan terlalu lama di bilik suara.
LIPI mencatat, sebanyak 74 persen responden menyatakan pemilu serentak dengan mencoblos lima surat suara (presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) menyulitkan mereka. Sementara itu, sebanyak 96 persen responden setuju bahwa sebagian besar perhatian publik tertuju pada proses pemilu presiden dibandingkan dengan pemilu legislatif.
Baca juga : Dua Jalan Mendesain Surat Suara Pemilu
Simulasi
Masih berkutatnya pemilih yang lebih perhatian kepada pemilihan presiden ini juga tampak dari hasil simulasi pemungutan dan penghitungan suara pada penyederhanaan surat suara dan formulir pemilu serentak tahun 2024 di KPU Republik Indonesia, Selasa (22/3/2022) lalu.
Mayoritas responden (91,9 persen) yang menjadi peserta simulasi mengaku mencoblos terlebih dahulu lembar surat suara untuk pemilihan presiden.
Lembar surat suara pemilihan presiden, jika merujuk dua model desain surat suara yang saat ini dikaji oleh KPU, model pertama (dua lembar surat suara), pemilihan presiden digabung dengan pemilihan anggota DPR dalam satu lembar yang sama di surat suara. Sementara di model kedua (tiga lembar surat suara), pemilihan presiden digabung bersama pemilihan anggota DPR dan DPD.
Jika mengacu perilaku pemilih, seperti halnya yang juga tampak dari hasil simulasi di atas, selain upaya penyederhanaan dan efisiensi, dengan desain dua maupun tiga surat suara, diharapkan perhatian pemilih tidak hanya tertuju pada pemilihan presiden. Meskipun harus diakui, lembar surat suara pemilihan presiden memang secara teknis lebih mudah dipahami dibandingkan lembar surat suara pemilihan DPR dan DPRD.
Merujuk pengalaman Pemilu 2019, misalnya, jumlah suara tidak sah mencapai 17,5 juta disumbang dari surat suara untuk pemilihan anggota DPR. Angka ini setara dengan 11,12 persen dari jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya di pemilu.
Surat suara pemilihan presiden secara teknis lebih mudah dipahami dibandingkan lembar surat suara pemilihan DPR dan DPRD.
Jumlah suara tidak sah ini melampaui rata-rata dunia soal surat suara tidak sah di pemilu yang hanya berada di angka 3-4 persen. Sebaliknya, di pemilihan presiden 2019, suara tidak sah hanya mencapai 3,7 juta suara atau setara dengan 2,38 persen suara pemilih yang datang ke bilik suara.
Data yang sama dijumpai di Pemilu 2014 dan 2009, yakni suara tidak sah di pemilihan presiden cenderung lebih rendah dibandingkan suara tidak sah pada pemilihan legislatif.
Sama halnya dengan di Pemilu 2019, di Pemilu 2009, misalnya, suara tidak sah di pemilihan anggota legislatif mencapai 17,7 juta suara, tetapi proporsinya lebih besar, yakni mencapai 14,43 persen dari pemilih pengguna hak pilih di tempat pemungutan suara.
Angka ini jauh lebih besar dibandingkan suara tidak sah di pemilihan presiden 2009 yang mencapai 6,4 juta suara atau hanya 5,06 persen.
Penyederhanaan surat suara diharapkan bisa mengurangi potensi kesulitan bagi pemilih.
Penyederhanaan surat suara diharapkan bisa mengurangi potensi kesulitan bagi pemilih. Sebagai instrumen utama dalam pemilu, surat suara memang harus didesain sebaik mungkin guna menghasilkan pemilu yang bebas, adil, dan demokratis.
Desain surat suara paling tidak berdampak pada dua aspek penting di pemilu, yakni pertama kemampuan pemilih untuk mengenali kandidat atau partai politik yang menjadi peserta pemilu dan agar pemilih dapat memberikan suaranya dengan cara yang benar atau “sah”.
Kedua, desain surat suara akan berdampak pada akurasi dalam proses penghitungan suara. Surat suara yang tidak didesain dengan baik, seperti kotak/gambar kandidat/partai politik yang kecil dan berdekatan dengan partai/kandidat lain, membuka ruang untuk pemilih memberikan suaranya lebih dari satu kotak yang berujung pada surat suara tidak sah.
Desain surat suara tidak ubahnya menjadi ”alat kampanye terakhir” bagi peserta pemilihan umum untuk memengaruhi pemilih di bilik suara.
Dalam konteks inilah desain surat suara tidak ubahnya menjadi ”alat kampanye terakhir” bagi peserta pemilihan umum untuk memengaruhi pemilih di bilik suara. Di satu sisi, surat suara juga kesempatan terakhir bagi pemilih mengenali para kandidat yang akan dipilihnya.
Pada akhirnya, selain memberikan dapat pada penyederhanaan dan efisiensi anggaran, desain surat suara juga berkontribusi pada bagaimana menyelamatkan suara dan mandat dari pemilih itu sendiri. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Mendukung Surat Suara Jadi Lebih Sederhana