Perang Rusia-Ukraina melahirkan krisis kemanusiaan, khususnya yang melanda warga Ukraina. Jaminan keselamatan warga sipil wajib diterapkan di tengah konflik kedua negara.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·6 menit baca
Meski gencatan senjata telah disepakati, konflik berdarah antara Rusia dan Ukraina masih jauh dari kata usai. Di tengah kepungan tentara Rusia, masyarakat Ukraina yang hidup di bungker dan pengungsian terancam terputus dari akses bahan makanan, listrik, dan air. Tak ayal, ancaman krisis kemanusiaan ini seharusnya menjadi titik berat dalam ronde ketiga perundingan antara Rusia dan Ukraina yang kini tengah diselenggarakan.
Saat ini, ratusan ribu pasukan militer Rusia masih menduduki puluhan kota yang tersebar nyaris di seluruh penjuru Ukraina. Walaupun gencatan senjata tengah berlangsung, personel militer ini tetap menjalankan tugasnya untuk memblokade akses keluar dan masuk Ukraina. Tak hanya itu, bangunan dan infrastruktur strategis di kota-kota yang mereka diduduki pun telah luluh lantak.
Kondisi ini membuat warga Ukraina terkepung. Sebagian besar dari masyarakat Ukraina yang tinggal di wilayah yang tengah diduduki pun masih hidup di tengah teror. Takut akan serangan Rusia yang bisa datang sewaktu-waktu, mereka pun tinggal di bungker atau pengungsian. Bukan tanpa alasan, nyaris 500 saudara sebangsa mereka tewas akibat serangan artileri Rusia yang menyasar kompleks perumahan sipil.
Tekanan yang dirasakan oleh masyarakat Ukraina semakin kritis ketika pasokan listrik dan air mulai menipis. Serangan yang dilancarkan Rusia selama sepuluh hari kemarin telah merusak infrastruktur vital yang menunjang kehidupan warga, termasuk pembangkit listrik.
Beberapa yang telah dihancurkan oleh Rusia ialah PLTU di Lugansk, PLTA di Kiev dan Nova Kakhovka. Meski masih beroperasi, pembangkit listrik tenaga nuklir di Zaporizhzhia saat ini telah diduduki oleh tentara Rusia.
Jika sampai pembangkit listrik dihentikan, hampir dapat dipastikan bahwa penduduk Ukraina akan terpaksa hidup tanpa akses listrik.
Jika sampai pembangkit listrik dihentikan, hampir dapat dipastikan bahwa penduduk Ukraina akan terpaksa hidup tanpa akses listrik. Hal ini karena struktur energi listrik Ukraina yang didominasi oleh tenaga nuklir (58 persen).
Sementara, kontribusi dari sumber lain, seperti batubara, gas dan energi terbarukan lain, relatif lebih kecil di kisaran 28 persen, 8 persen, dan 10 persen. Dengan suhu rata-rata di kisaran 0 derajat celsius, terputusnya listrik bisa berujung fatal hingga kematian massal akibat hipotermia.
Persoalan akses listrik ini nyatanya baru satu dari segudang ancaman krisis kemanusiaan yang harus dihadapi oleh warga Ukraina. Bahkan, di beberapa titik, masyarakat kesusahan untuk mendapat bahan pangan dan air untuk kebutuhan sehari-hari.
Salah satu kota yang paling parah terdampak ialah Mariupol yang terletak di sebelah selatan Ukraina. Akibat dari serangan bertubi-tubi Rusia pada Senin (7/3/2022), sekitar 200.000 orang yang hendak mengungsi pun kembali terjebak dan nasibnya kini terlunta tanpa makanan dan air selama berhari-hari.
Krisis kemanusiaan yang melanda Ukraina ini pun memicu reaksi dunia internasional. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) telah membawa agenda bantuan kemanusiaan ke atas meja semenjak Senin (7/3/2022). Agenda ini pun kini telah ditindaklanjuti oleh berbagai badan organisasi PBB lain, seperti Unicef, sehari setelahnya.
Sayangnya, di tengah menguatnya urgensi, bantuan kemanusiaan justru terjebak dalam pusaran politik kepentingan Rusia. Merespons ancaman krisis kemanusiaan dan desakan dari PBB, Rusia pun ”berbaik hati” untuk menyediakan jalur yang aman bagi bantuan kemanusiaan dan evakuasi warga yang ingin mengungsi.
Namun, Kremlin hanya mau membuka jalur aman ini ke arah timur, secara spesifik ke daerah-daerah yang berdekatan dengan Belarus dan Rusia. Beberapa kota yang Rusia beri izin untuk menjadi jalur bantuan kemanusiaan meliputi Kiev, Kharkiv, Mariupol, dan Sumy.
Keputusan Moskwa ini mengundang amarah dari komunitas internasional. Tak lama setelah Rusia mengumumkan proposalnya, Presiden Perancis Emmanuel Macron yang menjadi salah satu pihak pendorong dibukanya akses bantuan kemanusiaan murka.
Krisis kemanusiaan yang melanda Ukraina ini pun memicu reaksi dunia internasional.
Dalam sebuah wawancara di media Perancis, Macron mengatakan bahwa langkah Putin merupakan cerminan kebijakan luar negeri Rusia yang dipenuhi dengan sinisisme moral dan politik.
Bukan tanpa alasan, langkah Kremlin ini memang cenderung memanfaatkan kerentanan warga Ukraina. Dengan proposal ini, mau tidak mau warga Ukraina harus menerima uluran tangan dari musuh yang telah menghancurkan kota dan hidup mereka. Bahkan, mereka hanya diizinkan untuk pergi mengungsi ke Rusia atau Belarus, yang juga merupakan negara di bawah pengaruh Putin.
Tidak hanya itu, koridor yang diajukan oleh Rusia juga seakan tutup mata dengan bantuan kemanusiaan yang semenjak beberapa hari ke belakang tengah diupayakan oleh sejumlah pihak. Pasalnya, sebagian besar bantuan kemanusiaan yang datang ke Ukraina mengalir dari sisi barat. Salah satunya ialah bantuan berisi makanan, peralatan medis hingga mainan anak-anak seberat 62 ton dari Unicef yang masih belum berhasil tersalurkan hingga saat ini.
Di tengah situasi yang kian genting, harapan masyarakat Ukraina berlabuh pada upaya perundingan antara delegasi Rusia dan Ukraina yang kini telah diselenggarakan. Namun, tampaknya asa publik Ukraina ini masih jauh panggang dari api. Pasalnya, hingga hari kedua perundingan, belum ada kabar baik yang keluar dari ruang perundingan.
Kalaupun perundingan kali inin tak membuahkan hasil, masyarakat Ukraina sebetulnya mungkin sudah tidak kaget. Karena, meski kedua pihak secara terbuka telah menyatakan ingin mengakhiri konflik, belum ada kesepakatan yang jelas di antara keduanya. Hingga perundingan babak kedua yang dilakukan pada awal Maret lalu, keduanya baru sepakat untuk melakukan gencatan senjata.
Masalahnya, gencatan senjata ini ternyata hanya seumur jagung. Baru beberapa jam disepakati, terjadi insiden di Mariupol di mana pasukan Rusia dan Ukraina saling bertukar peluru. Praktis, kedua pihak pun saling tuding sebagai yang pertama kali melanggar perjanjian. Akibatnya, ketegangan tinggi pun menjadi ”modal” yang dibawa oleh Rusia dan Ukraina di meja perundingan ketiga.
Pecahnya perjanjian gencatan senjata ini menjadi preseden yang buruk dalam upaya penyelesaian konflik Rusia-Ukraina. Insiden tersebut menunjukkan bahwa tidak ada jaminan, terutama bagi Rusia, untuk tidak melanggar segala perjanjian yang telah disepakati di meja runding.
Pecahnya perjanjian gencatan senjata ini menjadi preseden yang buruk dalam upaya penyelesaian konflik Rusia-Ukraina.
Apalagi, tuntutan dari Rusia kepada Ukraina cukup berat. Berdasarkan laporan dari ABC News, Rusia menuntut Ukraina untuk melakukan demilitarisasi apabila ingin ada pakta perdamaian di antara keduanya.
Skeptisisme ini akan semakin menguat ketika menengok sejarah konfik di antara keduanya. Pada September 2014, pasca-aneksasi Crimea oleh Rusia, Ukraina dan Rusia pernah bersepakat untuk berdamai.
Dibrokeri oleh beberapa negara Eropa Barat, termasuk Jerman dan Perancis, keduanya telah menandatangani Protokol Minsk yang bertujuan untuk menghentikan konflik di Donbas. Namun, tak sampai setahun, kesepakatan ini dilanggar oleh Putin dengan mendekengi kelompok separatis di wilayah tersebut.
Pada akhirnya, masyarakat sipil lah yang selalu terimpit oleh manuver politik luar negeri Rusia dan Ukraina. Baik pada 2014 maupun 2015, publik Ukraina sama-sama mendapat getah dari ambisi Putin membangkitkan Uni Soviet dan Presiden Ukraina untuk bergabung ke Blok Barat. Bedanya, kini Putin lebih berani untuk ”menggigit” sehingga semakin banyak dan dalam penderitaan yang mendera masyarakata Ukraina. (LITBANG KOMPAS)