Hasil survei kerap kali melahirkan pro-kontra dari publik. Penilaian atas hasil survei tidak bisa lepas dari faktor isu partisan. Obyektivitas hasil survei tetap menjadi kunci.
Oleh
Eren marsyukrilla
·5 menit baca
Kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan yang tertangkap dalam hasil survei dipengaruhi beragam aspek yang saling terkait dan sangat dinamis. Mulai dari perkembangan isu, fanatisme politik, hingga standar kepuasan dalam benak masyarakat. Kedinamisan itu menjadikan penggambaran hasil survei yang dianggap tidak sesuai dengan realitas terus menjadi perdebatan panjang.
Hasil survei kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan Joko Widodo–Ma’ruf Amin oleh Litbang Kompas pada Januari 2022 menunjukkan ada kenaikan apresiasi. Pada periode survei kali ini, tingkat kepuasan secara umum terhadap kinerja pemerintah meningkat hingga angka 73,9 persen.
Kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan dipengaruhi beragam aspek yang saling terkait dan sangat dinamis.
Kepuasan publik itu naik secara merata di empat bidang utama kinerja pemerintahan. Bidang politik dan keamanan, serta kesejahteraan sosial menunjukkan peningkatan apresiasi yang paling tinggi, yaitu mencapai 7-10 persen. Sementara kepuasan terhadap kinerja di bidang penegakan hukum dan perekonomian juga mengalami kenaikan lima hingga 6 persen dari survei sebelumnya.
Capaian kepuasan publik itu secara tren mencapai titik tertingginya, bahkan jika dilihat sejak masa Joko Widodo menjabat presiden di periode pertama. Ketika itu, tingkat kepuasan masyarakat pada kerja pemerintah mendapat apresiasi tak kurang dari 72 persen.
Lalu, mengapa tingginya apresiasi terhadap kinerja pemerintahan tersebut justru acap kali menjadi polemik ketika sejumlah pihak menilai tak sejalan dengan realitas. Dalam hal ini, tentu terdapat banyak faktor yang kompleks sehingga memengaruhi temuan dan penangkapan opini di masyarakat.
Umumnya dalam survei opini, persepsi publik terlebih dalam menilai pemerintahnya cenderung lebih didasarkan pada persepsi dan pengalaman mereka terhadap pemerintahan. Hal itu menguatkan bahwa masyarakat masih cukup praktis karena tak mau terjebak pada substansial yang jauh lebih mendalam untuk menilai pemerintah.
Itu pula yang menjadikan opini penilaian masyarakat cenderung hanya kritis pada aspek kinerja pemerintah yang menyangkut kehidupan keseharian. Misalnya pada aspek stabilitas harga sembako, ketersediaan lapangan pekerjaan, layanan kesehatan, sampai bantuan sosial, dapat tergambar dengan apik dalam benak publik sehingga membuat penilaian jauh lebih obyektif.
Sementara untuk aspek pemerintahan yang cukup berjarak pada kehidupan keseharian masyarakat, persepsi publik seringkali hanya didasarkan pada pengetahuan dan isu berkembang, bahkan justru lebih terpengaruh kuat oleh latar preferensi politik mereka. Dengan demikian, sisi subjektivitas penilaian publik justru kian menguat, termasuk hanya dengan ukuran kesukaan dan ketidaksukaan.
Terkait itu pula, selain pengalaman secara langsung yang berkaitan dengan keseharian, faktor yang cukup mendasar membentuk persepsi publik dalam menilai pemerintahan berkaitan dengan standar kepuasan itu sendiri.
Standar kepuasan publik dalam melihat kinerja pemerintah yang berwujud program-program untuk masyarakat menjadi tolok ukur yang semestinya obyektif. Namun untuk beberapa hal, standar kepuasan publik tersebut bisa jadi justru masih rendah yang berpengaruh pula pada tolok ukur kepuasan yang juga tak begitu tinggi.
Sebagai contoh, kepuasan publik dalam mendapatkan layanan kesehatan dengan penggunaan jaminan yang disediakan pemerintah, meskipun kerap dihadapkan pada urusan administrasi yang berbelit dan tak efisien, hal itu dapat tertutupi dengan akses layanan kesehatan secara gratis dan mudah dijangkau hingga pada kelas fasilitas paling terendah. Segala kekurangan kinerja pemerintah akan tertutupi oleh hal positif sehingga dalam persepsi penilaian masyarakat pun juga akan baik.
Di luar itu, harus diakui pula sejauh ini isu fanatisme yang berakar pada pilihan politik memang masih menjadi faktor yang kuat membentuk persepsi publik dalam melihat kinerja pemerintahan. Jika melihat hasil survei, kian menguatnya loyalis pemilih Jokowi–Ma’ruf (87 persen) dalam mengalirkan apresiasi terhadap kinerja pemerintah menunjukkan betapa isu partisan masih kuat membayangi penilaian publik. Hal yang tak jauh berbeda pun terbaca pada sikap para pemilih partai politik.
Fanatisme yang berakar pada pilihan politik memang masih menjadi faktor yang kuat membentuk persepsi publik dalam melihat kinerja pemerintahan.
Dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh organisasi PARA Syndicate bertajuk ”Kepuasan Publik Kepada Pemerintah: Angka Survei Vs Realitas”, Jumat (23/2022), mengungkap beberapa hal terkait faktor-faktor yang membentuk opini masyarakat dalam konteks survei penilaian kinerja ini. Terus membayanginya faktor partisan politik publik itu juga membuktikan bahwa sisa polarisasi pascapemilu lalu juga belum mereda sepenuhnya.
Fanatisme yang menguat itu tentu membuat penilaian publik yang akan tertangkap lebih berdasar pada pertimbangan subyektif. Dalam forum diskusi tersebut, peneliti Exposit Strategic, Arif Susanto, mengungkap bahwa saat masyarakat juga memiliki kecenderungan melihat pemerintah sebatas yang dicitrakan oleh kepala pemerintahan. Dengan demikian, image dan reputation dari kuatnya sosok presiden tetap dijadikan standar dalam mengukur tingkat kepuasan kinerja pemerintahan.
Tak salah memang jika para loyalis presiden terpilih akan terus berada pada bawah sadar subyektifnya yang melihat sosok Joko Widodo dan kepala pemerintahan sebagai dua entitas yang berbeda. Bias ini membuat segala kekurangan yang dilakukan pemerintahan ataupun jajaran kementerian kabinet hingga lembaga negara lain tak memiliki kaitan sama sekali dengan Joko Widodo yang notabene seorang pemimpin tertinggi yang mengatur dan bertanggung jawab atas berjalannya semua kinerja tersebut.
Kondisi pemihakan publik secara politis tersebut tentulah menjadi tantangan tersendiri dalam menangkap kemurnian penilaian masyarakat atas kinerja pemerintahan. Terlebih, di tengah kondisi stabilitas pemerintahan dan isu yang berkembang begitu dinamis, membuat polemik kian tak berkesudahan ketika rilis hasil survei dinilai berkebalikan dengan kondisi faktual.
Perkembangan isu-isu politik, ekonomi, hukum, serta berbagai bidang pemerintahan lainnya yang berubah cepat sangat mungkin terjadi dan mungkin tak bisa diperkirakan. Hal itu menjadikan perhatian isu bahkan suasana emosional publik terhadap pemerintah pun berubah-ubah selama rentang pelaksanaan survei sampai dengan hasil survei dipublikasi.
Itulah sebabnya, pertentangan atas hasil survei dan keadaan faktual tidak dapat lagi hanya dapat terjelaskan oleh prinsip ilmiah yang sudah pasti menjadi pijakan penelitian dapat dilakukan. Namun, pembacaan pada pembentukan dan pergeseran opini publik yang dipengaruhi beragam faktor seperti yang dijelaskan sebelumnya haruslah lebih jeli.
Jika dilihat berdasarkan distribusi dan karakter sampel survei, misalnya, adanya peningkatan apresiasi terhadap kinerja pemerintahan, selayaknya yang ditangkap oleh Survei Kompas, menunjukkan hasil yang sejalan bila ditilik pada setiap penilaian berdasarkan latar belakang sosial ekonomi dan tingkat pendidikan responden.
Proporsi lebih besar responden yang menyatakan puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi–Ma’aruf untuk periode Januari 2022 merata berada pada setiap latar ekonomi kelas ekonomi.
Proporsi lebih besar responden yang menyatakan puas terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-Ma’ruf untuk periode Januari 2022 merata berada pada setiap latar ekonomi kelas ekonomi. Begitu pula dengan mayoritas publik yang mengapresiasi pemerintah berada pada tiap latar belakang tingkat pendidikan, baik pendidikan dasar, menengah, maupun tinggi.
Sementara, polarisasi dan fanatisme akut yang tersisa hingga sekarang tak lagi cukup tergambarkan utuh pada kondisi latar sosial ekonomi dan pendidikan masyarakat. Bayang-bayang partisan, standar kepuasan yang terbentuk, sampai dengan dinamisnya pergolakan isu pada akhirnya secara merata mampu membiaskan persepsi masyarakat untuk lebih objektif dalam menilai pemerintahan. (LITBANG KOMPAS)