Urgensi Mitigasi Risiko Sosial Politik di IKN
Transparansi proses pembangunan ibu kota negara menjadi sebuah keniscayaan untuk meredam potensi risiko sosial politik. Dukungan publik tetap menjadi kunci.
Pemerintah tidak memiliki waktu banyak untuk mengerjakan aturan turunan dari UU Ibu Kota Negara yang diteken Januari lalu. Meski proyek ini didukung oleh sebagian besar masyarakat, publik masih ragu dengan UU Ibu Kota Negara yang digarap kilat.
Untuk memitigasi risiko sosial politik yang mungkin muncul ke depan, pemerintah perlu menjamin transparansi kepada publik selama proses perumusan aturan ibu kota negara (IKN) sampai pembangunan proyeknya nanti.
Publik sudah selesai dengan soal pentingnya perpindahan ibu kota dari DKI Jakarta ke IKN Nusantara. Hal ini tecermin dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas yang diselenggarakan pada akhir Januari silam.
Hasil survei tersebut menunjukkan sekitar 57 persen dari masyarakat setuju jika pemerintah mengejar pembangunan fase pertama IKN untuk bisa rampung pada 2024.
Sebagian besar dari publik yang setuju berpendapat pembangunan IKN harus diselesaikan segera karena penting untuk pemerataan pembangunan yang selama ini masih terlalu tersentralistik di Pulau Jawa (33,1 persen).
Sementara sekitar seperempat lainnya berpendapat pembangunan tersebut harus cepat rampung karena daya dukung DKI Jakarta sudah kritis.
Meskipun begitu, tidak sedikit juga dari publik yang masih gamang. Sebetulnya, yang mereka tolak bukanlah proyek IKN itu sendiri, melainkan pembangunannya yang terkesan dipaksakan di tengah Indonesia yang masih berjibaku menangani pandemi Covid-19.
Tak ayal, lebih dari 28 persen dari masyarakat beranggapan pemerintah seharusnya lebih fokus kepada percepatan pengendalian pandemi dan pemulihan ekonomi akibat Covid-19 ketimbang mengerjakan infrastruktur IKN.
Sementara hanya sedikit saja (5,8 persen) dari masyarakat yang resisten terhadap IKN karena memiliki sentimen khusus dengan DKI Jakarta yang memiliki rekam historis yang panjang sebagai ibu kota Indonesia.
Baca juga : UU IKN dan Keyakinan Publik
Penuh risiko
Meski resepsi masyarakat terhadap IKN relatif tinggi, lain halnya dengan UU IKN. Sebagai landasan hukum dari proyek IKN, UU IKN diselesaikan hanya dalam waktu 43 hari. Mempertimbangkan pentingnya UU IKN sebagai fondasi dari proyek perpindahan ibu kota negara, pengerjaan yang dilakukan bak ”Bandung Bondowoso” ini diragukan akan memiliki banyak lubang yang penuh dengan risiko.
Hal ini pun dirasakan oleh masyarakat. Menanggapi UU IKN yang digarap dengan kilat, hampir 40 persen dari publik khawatir jika nantinya UU tersebut akan berisiko dalam hal sosial dan politik.
Terlebih lagi, IKN nantinya memiliki model pemerintahan yang sangat berbeda dengan daerah lain. Bahkan bisa dibilang sebagai sebuah model yang sama sekali baru dengan dibuatnya badan otorita sebagai pemerintah yang berwenang bahkan semenjak Kota Nusantara belum berdiri.
Keraguan ini juga sempat disampaikan oleh Guru Besar Ilmu Pemerintahan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan dalam sebuah acara bertajuk ”Otorita IKN: Pemerintahan Daerah Khusus?”, Selasa (15/2/2022).
Menurut Djohan, landasan pemerintah untuk membentuk Otorita IKN ialah Pasal 18 B Ayat (1) UUD 1945 yang sebetulnya lebih bermakna sebagai penyematan rekognisi status kekhususan dari sebuah daerah yang sudah terbentuk seperti pada kasus Yogyakarta, Jakarta, dan Aceh. Maka, sedari awal, penggunaan pasal tersebut sebagai landasan sebetulnya sudah kurang tepat.
Risiko politik dan pemerintahan di IKN nantinya juga makin besar mengingat ketiadaan posisi DPRD sebagai penyeimbang pemerintah eksekutif. Idealnya, pemerintahan daerah setidaknya diselenggarakan oleh pemda yang diawasi oleh legislatif daerah.
Umumnya, kedua lembaga, baik eksekutif maupun legislatif, merupakan hasil dari proses demokrasi di daerah tersebut. Hal ini nantinya dihilangkan di ibu kota baru.
Tak ayal, argumentasi pembangunan IKN dengan salah satu tujuannya berupa desentralisasi pembangunan bisa jadi gugur dengan besarnya peran pemerintah pusat disertai dengan minimnya ruang bagi pemerintah atau badan otorita untuk mengatur daerah IKN.
Padahal, desentralisasi pembangunanlah yang menjadi pendorong utama mengapa publik tetap mendukung UU IKN meski pengerjaannya terkesan terburu-buru (24,6 persen).
Apa daya, nasi sudah menjadi bubur. UU IKN yang sudah diteken nyaris tidak mungkin direvisi lagi ke depan. Maka, untuk memitigasi risiko politik yang mungkin timbul akibat UU IKN yang banyak bolong, pemerintah perlu mempertimbangkan masukan dari masyarakat dan juga para ahli politik pemerintahan.
Sejauh ini, pemerintah telah merencanakan beberapa peraturan turunan yang akan melengkapi UU IKN agar bisa diimplementasikan dengan baik di lapangan.
Dari aturan-aturan turunan tersebut, terdapat lima aturan prioritas yang harus selesai paling lama dua bulan setelah UU IKN diundangkan pada pertengahan Januari lalu. Maka, kelima aturan turunan ini harus sudah rampung pada bulan Maret depan.
Sejauh ini, pemerintah telah merencanakan beberapa peraturan turunan yang akan melengkapi UU IKN agar bisa diimplementasikan dengan baik di lapangan.
Kelima aturan tersebut ialah peraturan pemerintah tentang kewenangan khusus Otorita IKN dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah khusus, PP tentang pendanaan untuk persiapan IKN, PP tentang pembangunan IKN, PP tentang pemindahan IKN, dan PP tentang penyelenggaraan pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.
Selain lima PP ini, setidaknya masih ada empat peraturan presiden, satu keputusan presiden, serta satu peraturan kepala Otorita IKN yang nantinya akan melengkapi UU IKN.
Baca juga : Bentuk Badan Otorita IKN Nusantara Dinilai Rancu
Risiko tanah dan lingkungan
Selain risiko politik pemerintahan, risiko lainnya yang harus dimitigasi oleh pemerintah ialah soal lahan yang nantinya akan diperuntukkan bagi kepentingan pembangunan IKN. Dalam hal ini, terdapat beberapa masalah besar yang masih belum sepenuhnya terselesaikan dengan UU IKN. Masalah pertama ialah soal pengadaan tanah.
Meski pemerintah telah menunjukkan keseriusannya dalam mengejar pembangunan tahap pertama IKN untuk selesai pada 2024, nyatanya persoalan tanah ini masih belum tuntas. Hingga pada awal Februari lalu, masih ditemukan persoalan tumpang tindih lahan di beberapa lokasi.
Salah satunya ialah di Desa Karya Jaya, Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara. Belum adanya pihak pemerintah pusat yang melakukan sosialisasi dan memberikan kejelasan ini membuat masyarakat setempat sangat khawatir jika sewaktu-waktu tanah mereka akan diambil oleh pemerintah (Kompas, 2/2/2022).
Persoalan lain yang berpotensi menghambat proyek IKN nantinya ialah soal banyaknya bekas lubang tambang yang masih menganga. Selama ini, Provinsi Kalimantan Timur memang kental dengan daerah dengan potensi tambang yang besar.
Idealnya, perusahaan yang sudah selesai menambang wajib menutup bekas lubang galiannya. Namun, menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), terdapat lebih dari 1.700 lubang tambang yang masih terbuka. Bukan hanya akan mengganggu proses pembangunan, lubang tambang itu juga berbahaya dan sudah terbukti memakan korban jiwa.
Terakhir, di area yang nantinya akan menjadi lokasi IKN, sebagian lahannya juga dimiliki oleh para pengusaha besar. Laporan dari Jatam menunjukkan setidaknya terdapat belasan pengusaha besar yang memiliki tanah hingga ratusan ribu hektar di area IKN.
Memang, dengan segala keterbatasan pemerintah pusat, keterlibatan pihak swasta merupakan sebuah keniscayaan dalam proses pembangunan IKN nanti.
Meskipun begitu, pemerintah perlu transparan dan hati-hati agar proyek IKN nantinya bukan hanya menjadi ajang bagi-bagi jatah bagi para oligarki. Kekhawatiran atas ini pun terekam dalam jajak pendapat Litbang Kompas.
Dengan menjamin transparansi, publik dapat ikut membantu pemerintah mengawasi jalannya proyek pemindahan ibu kota.
Survei pada Januari lalu ini menunjukkan sekitar 10 persen dari responden tidak setuju dengan pengerjaan UU IKN yang cenderung buru-buru karena rawan berpihak kepada investor atau pemodal kakap.
Untuk bisa mengenyahkan kekhawatiran publik, pemerintah perlu mengerjakan aturan UU IKN hingga proyek IKN dengan terbuka.
Dengan menjamin transparansi, publik pun dapat ikut membantu pemerintah mengawasi jalannya proyek pemindahan ibu kota. Sebab, bagaimanapun kemaslahatan masyarakat harus menjadi pertimbangan utama pemerintah dalam kebijakan apa pun, termasuk proyek IKN. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Kerancuan Format Otorita untuk Ibu Kota Negara Baru dan Implikasinya