Soliditas partai politik Islam akan kembali diuji jika berniat membangun koalisi dengan membentuk kekuatan poros tengah. Model koalisi yang terbuka dan heterogen lebih berpeluang terbentuk dibandingkan berbasis agama.
Oleh
YOHAN WAHYU
·6 menit baca
Peluang kehadiran poros tengah dalam konstelasi politik di Pemilihan Umum 2024 tetap terbuka. Dua kondisi yang mendorong adalah gejala keterbelahan politik sebagai residu pemilihan presiden sebelumnya dan kemunculan sejumlah tokoh dengan elektabilitas tinggi, tetapi belum memiliki kepastian dukungan dari partai politik. Meskipun demikian, peluang poros ini akan diuji oleh pamor partai berbasis agama yang merosot.
Dalam memori politik Indonesia, poros tengah adalah fenomena yang tidak bisa dilepaskan dari koalisi partai-partai berbasis Islam jelang pemilihan presiden 1999. Saat itu, koalisi tersebut terdiri dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan (PK), dan Partai Bulan Bintang (PBB).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Koalisi ini mengusung Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai calon presiden. Dukungan Partai Golkar kepada Gus Dur makin memenangkan koalisi ini yang kemudian mengantarkan Gus Dur terpilih sebagai presiden. Sementara Megawati Soekarnoputri yang notabene diusung PDI Perjuangan, partai pemenang Pemilu 1999, hanya meraih posisi kedua dalam pemilihan presiden di MPR tersebut.
Sebagai jalan tengah, Gus Dur meyakinkan Megawati untuk ikut dalam pemilihan wakil presiden dan Megawati kemudian terpilih sebagai wakil presiden perempuan pertama Indonesia. Sejarah lalu mencatat, setelah Gus Dur lengser dari kursi kepresidenan, Megawati kemudian tampil menjadi presiden sampai 2004.
Fenomena poros tengah bukan berhenti pada 1999. Pada Pemilu 2014 fenomena yang sama juga sempat digagas untuk kembali diwujudkan. Setidaknya saat itu ada wacana agar partai-partai berbasis Islam membentuk koalisi untuk mengusung calon presidennya sendiri guna melawan dua poros utama, yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Namun, Amien Rais, sang penggagas, mengakui peluang terbentuknya poros tengah hampir mustahil karena partai-partai Islam dia nilai sudah tidak kompak seperti era 1999.
Kini, wacana poros tengah kembali mengemuka karena dua faktor yang tengah dirasakan dalam iklim politik saat ini. Faktor tersebut keterbelahan politik yang masih dirasakan hingga saat ini sebagai residu pemilihan presiden 2014 dan 2019.
Selain itu juga faktor sejumlah nama yang masuk radar elektabilitas bursa calon presiden, tetapi bukanlah elite partai politik yang memegang penuh kendali pencalonan presiden nanti.
Sebelumnya, Partai Bulan Bintang aktif berkeliling menemui pimpinan sejumlah partai politik berbasis pemilih Islam. PBB menawarkan gagasan pembentukan poros partai Islam modernis untuk menyelamatkan suara partai yang terus merosot dari pemilu ke pemilu.
Gagasan poros tengah ini kembali mengemuka setelah pidato kebudayaan bertajuk ”Indonesia Butuh Islam Tengah” yang disampaikan oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan.
PAN sendiri mengundang nama-nama yang selama ini disinyalir masuk dalam bursa dalam kontestasi Pemilu 2024, diantaranya Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, dan Menteri BUMN Erick Thohir, untuk berbagi pemikiran tentang kemajuan bangsa (Kompas, 31/1/2022).
Sejumlah hasil survei, termasuk Litbang Kompas, pada Oktober 2021 menunjukkan, tingkat keterpilihan Anies dan Ridwan Kamil berada di papan atas. Anies berada di urutan ketiga setelah Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, sedangkan Ridwan Kamil menduduki posisi keempat. Namun, ketiga nama yang diundang PAN, yakni Anies, Ridwan Kamil, dan Erick Thohir, sama-sama bukan termasuk kader dari partai politik tertentu.
Munculnya nama-nama potensial inilah yang membuka kesempatan bagi poros baru atau poros tengah yang berpeluang bisa mengusung nama-nama calon alternatif, terutama mereka yang tidak memiliki afiliasi terhadap partai politik tertentu.
Jika mengacu posisi ketua umum partai, partai-partai besar saat ini di atas kertas sudah mengantongi nama-nama yang potensial menjadi jagonya di pemilihan presiden mendatang.
Dari PDI Perjuangan setidaknya sudah muncul dua nama kader yang berpeluang diusung pada 2024. Keduanya adalah Ketua DPR Puan Maharani dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Meskipun hubungan keduanya sempat dingin terkait polemik relasi Puan dan Ganjar, munculnya gagasan memasangkan Ganjar-Puan juga lahir dari konstituen partai ini.
Kemudian dari Partai Gerindra, nama Prabowo Subianto hampir pasti menjadi satu-satunya nama yang muncul dari partai ini untuk kembali diusung menjadi calon presiden pada 2024.
Sebagai ketua umum partai sekaligus saat ini menjabat Menteri Pertahanan, modal politik Prabowo diprediksi lebih siap dan kuat untuk menghadapi kontestasi di pemilihan presiden. Hal yang sama terjadi di Partai Golkar yang cenderung lebih mengusung sang ketua umum, Airlangga Hartarto, menjadi bakal calon presiden.
Selain ketiga partai besar ini, partai-partai kelas menengah seperti Partai Demokrat juga disinyalir akan menjagokan ketua umumnya, Agus Harimurti Yudhoyono, untuk maju dalam pemilihan presiden.
Tentu, pada akhirnya partai-partai menengah, terutama yang berbasis Islam, memiliki peluang untuk merajut koalisi baru. Sejarah terbentuknya poros tengah pada 1999 bisa menjadi romantisme politik tersendiri.
Tentu, membangun poros tengah baru seperti halnya romantisme 1999 tidaklah mudah. Partai-partai politik berbasis pemilih Islam juga tengah dihadapkan pada tren menurunnya dukungan politik. Kita lihat saja dari akumulasi suara partai-partai yang berbasis pemilih Islam mengalami penurunan dukungan dari pemilu ke pemilu.
Kejayaan partai berbasis Islam terlihat di Pemilu 1955 dengan capaian total suara dukungan mencapai 43,5 persen. Kondisi ini berubah drastis setelah kebijakan fusi partai politik. Afiliasi pemilih Islam pun hanya ada satu partai politik, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Praktis, suara partai berbasis pemilih Islam rontok hingga pernah kurang dari 20 persen. Seiring dengan era reformasi dengan munculnya sejumlah partai berbasis pemilih Islam, total dukungan yang diraih partai-partai ini mulai kembali meningkat meskipun angkanya belum pernah melebihi apa yang pernah diraih di Pemilu 1955.
Sepanjang lima pemilu yang digelar sejak era reformasi, rata-rata total dukungan partai-partai berbasis pemilih Islam mencapai 33 persen. Tentu, total dukungan ini bisa menambah kepercayaan diri partai-partai berbasis Islam yang semuanya berada di papan menengah dari konstelasi politik.
Munculnya kembali gagasan ”Islam Tengah”, meskipun bukan ide baru, setidaknya bisa menjadi titik awal terhadap bangunan koalisi dari partai-partai berbasis pemilih Islam ini untuk bisa mengusung poros baru, menjadi alternatif dari poros yang selama ini sudah dibangun oleh partai-partai politik besar.
Sepanjang lima pemilu yang digelar sejak era reformasi, rata-rata total dukungan partai-partai berbasis pemilih Islam mencapai 33 persen.
Selain porsi dukungan yang cenderung menurun, koalisi poros baru yang digagas partai-partai berbasis Islam juga akan dihadapkan pada tantangan yang tidak mudah. Tren politik yang makin terbuka cenderung menyajikan koalisi politik yang heterogen, tidak lagi homogen.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Arya Fernandes, menilai, poros koalisi parpol yang homogen akan sulit terbentuk. Selain itu, menurut Arya, koalisi berbasis ideologi atau agama cenderung sudah tidak bisa menjadi daya tarik publik (Kompas, 24/1/2022).
Tentu, peluang kehadiran poros tengah baru akan kembali diuji oleh sejarah, apakah akan lebih mudah terbentuk, khususnya dengan dua faktor pendorong, yakni situasi pembelahan politik yang sudah terjadi dengan munculnya sosok-sosok potensial menjadi calon presiden di luar partai politik besar.
Peluang poros tengah ini juga akan dihadapkan pada tren koalisi yang justru makin terbuka, tidak lagi tertutup dan homogen dengan isu koalisi berbasis agama. Kita tunggu saja. (LITBANG KOMPAS)