Poros Partai Islam Modernis untuk Pemilu 2024, Mungkinkah?
Guna mendongkrak suara pada Pemilu 2024, parpol nonparlemen jajaki koalisi dengan mengusung poros partai Islam modernis. Meski jika lihat ke belakang, pemilih mulai tinggalkan partai bercorak agama sejak awal reformasi.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·7 menit baca
Pimpinan Partai Bulan Bintang berkeliling menemui pimpinan sejumlah partai politik berbasis massa Islam dalam beberapa hari terakhir. Mereka menawarkan gagasan pembentukan poros partai Islam modernis untuk menyelamatkan suara partai yang terus merosot dari pemilu ke pemilu. Di tengah kecenderungan koalisi partai politik yang serba cair, relevansi ide tersebut menjadi pertanyaan.
Langkah Partai Bulan Bintang (PBB) untuk mempromosikan ide pembentukan poros koalisi partai Islam dimulai dengan pertemuan di sebuah restoran luar ruang di kawasan Senayan, Jakarta, Selasa (18/1/2022) malam. Saat itu, pendiri sekaligus Ketua Umum PBB Yusril Ihza Mahendra didampingi Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Afriansyah Noor bertemu dengan sejumlah petinggi Partai Amanat Nasional (PAN), di antaranya Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, Wakil Ketua Umum Yandri Susanto, Sekjen PAN Edi Suparno dan Bendahara Umum Pangeran Khairul Saleh.
”Dalam pertemuan santai itu, pimpinan kedua partai mendiskusikan kerja sama dan peluang membentuk koalisi partai-partai berbasis Islam dalam menghadapi Pemilu 2024,” kata Afriansyah Noor dihubungi dari Jakarta, Jumat (21/1/2022).
Tak berhenti di situ, safari gagasan pembentukan poros koalisi berlanjut dua hari setelahnya. Yusril dan Afriansyah menemui Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suharso Monoarfa di kawasan Kebayoran, Jakarta. ”Dalam waktu dekat, kami juga akan bertemu dengan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), masih diatur waktunya,” kata Afriansyah.
Langkah Partai Bulan Bintang (PBB) untuk mempromosikan ide pembentukan poros koalisi partai Islam dimulai dengan pertemuan di sebuah restoran luar ruang di kawasan Senayan, Jakarta, Selasa (18/1/2022) malam.
Menurut dia, kerja sama antarpartai yang memiliki kesamaan nilai, yakni Islam modernis, penting untuk mulai dibangun. Sebab, dari pemilu ke pemilu, perolehan suara partai-partai tersebut terus merosot.
Misalnya, perolehan suara PAN cenderung turun selama dua dekade terakhir. Pada Pemilu 1999 atau dalam keikutsertaan pertama PAN dalam pemilu, partai tersebut meraih 7,1 persen suara dari total suara nasional. Raihan itu turun pada Pemilu 2004, yakni menjadi 6,4 persen; Pemilu 2009, yakni 6 persen; Pemilu 2014,sebesar 7,7 persen, dan Pemilu 2019, sebesar 6,84 persen.
Sama halnya dengan PPP. Setelah mendapatkan 10,71 persen suara dari total suara nasional pada Pemilu 1999, raihan suara partai ini tak pernah lagi sampai pada level yang sama. Perolehan suara PPP pada Pemilu 2004 adalah 8,15 persen, 5,32 persen pada Pemilu 2009, sebesar 6,53 persen pada Pemilu 2014, dan 4,52 persen pada Pemilu 2019.
Adapun PBB pertama kali mengikuti pemilu pada 1999, tetapi tidak pernah mendapatkan kursi lagi di DPR sejak Pemilu 2009 hingga saat ini. PBB merupakan partai nonparlemen yang dalam pemilu terakhir hanya mendapatkan kursi di tingkat DPRD.
Oleh karena itu, PBB optimistis pertemuan ini dapat menjadi langkah awal untuk membangun kekuatan politik yang bisa berperan signifikan di masa depan. ”Bagaimana bentuk kerja sama ketiga partai itu sedang kita bahas dan kita rumuskan bersama. Yang penting tekad untuk bekerja sama itu telah muncul dari pucuk pimpinan ketiga partai,” kata Afriansyah.
Salah satu bentuk kerja sama yang diusulkan adalah pembentukan koalisi ketika mendaftar sebagai peserta pemilu. Hal itu didasarkan pada ketentuan yang ada pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan bahwa peserta pemilu adalah partai politik (parpol) yang dinyatakan lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sementara dalam pemilihan presiden (pilpres), pasangan calon dapat diusung oleh parpol atau gabungan parpol. ”Maka, dalam pileg (pemilihan legislatif), peserta pileg seharusnya juga bisa satu parpol atau gabungan parpol yang secara bersama-sama mendaftar sebagai peserta pemilu,” kata Afriansyah.
Ia menambahkan, opsi itu bisa dilakukan tanpa revisi UU No 17/2017, tetapi melalui tafsir Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap peserta pileg. Diharapkan, MK bisa menafsirkan bahwa peserta pileg adalah parpol atau gabungan parpol.
Saat bertemu dengan pimpinan PBB, Suharso Monoarfa menyambut opsi koalisi partai untuk mendaftar sebagai peserta pemilu. Menurut dia, tidak tertutup kemungkinan partai-partai lain pun akan berminat untuk bergabung.
Koalisi inklusif
Saat bertemu dengan pimpinan PBB, Suharso Monoarfa menyambut opsi koalisi partai untuk mendaftar sebagai peserta pemilu. Menurut dia, tidak tertutup kemungkinan partai-partai lain pun akan berminat untuk bergabung. Ia pun menunjuk Wakil Ketua Umum PPP Arsul Sani untuk mendalami gagasan itu.
Dikonfirmasi terpisah, Arsul membenarkan bahwa PPP terus mengkaji pelaksanaan pemilu yang mengartikulasikan penghormatan terhadap suara pemilih. Dengan ambang batas parlemen 4 persen yang ada saat ini, lebih dari 12 juta suara sah pemilih tidak terepresentasikan di DPR karena partai yang dipilih tidak memenuhi ambang batas parlemen. Oleh karena itu, pelaksanaan pemilu belum menunjukkan praktik demokrasi yang ideal.
PPP memandang, ada cara lain untuk mewujudkan penyederhanaan sistem kepartaian, yakni dengan ambang batas fraksi atau penerapan syarat minimal jumlah kursi bagi partai untuk membentuk fraksi di parlemen. Dengan begitu, setiap partai peserta pemilu yang mendapatkan berapa pun kursi di DPR bisa tetap mendapatkan kursi tersebut. Hanya saja, mereka tidak bisa membentuk fraksi secara mandiri jika jumlah kursi yang dimiliki tidak memenuhi ketentuan. Fraksi bisa dibentuk dengan cara bergabung, baik dengan parpol yang memenuhi ambang batas fraksi maupun yang tidak memenuhi.
Menurut Arsul, ide pembentukan gabungan parpol didiskusikan dalam konteks tersebut. Oleh karena itu, kemungkinan kerja sama tidak hanya terbuka untuk partai Islam, tetapi juga partai nonparlemen lainnya. PPP juga menilai, pembentukan poros tidak perlu ditekankan pada eksklusivitas aliran politik tertentu. ”Untuk mengukuhkan persatuan dan kesatuan negara dan bangsa, lebih baik inklusivitas politik yang kita kedepankan,” katanya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi mengatakan, PAN tidak bermaksud membuat poros koalisi partai Islam. PAN dan PBB ingin membangun platform bersama, yakni Poros Indonesia Raya. Pendekatan poros koalisi melalui politik identitas, agama, dan non-agama dapat mencederai kohesi sosial dan tidak produktif bagi persatuan nasional (Kompas.id, 19/1/2021).
Sulit terbentuk
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menilai, dalam konteks politik Indonesia pascareformasi, poros koalisi parpol yang homogen akan sulit terbentuk. Sejak Pemilu 2004, tren koalisi parpol adalah berkolaborasi dengan banyak aliran politik. Partai-partai berbasis massa Islam yang ada bersifat sangat cair dalam berkoalisi dan membangun komunikasi dengan parpol lainnya.
Selain itu, koalisi berbasis ideologi atau agama cenderung sudah tidak bisa menjadi daya tarik publik. Hingga saat ini, mayoritas pemilih memberikan suaranya kepada partai nasionalis. Artinya, poros Islam modernis sebenarnya sudah tidak memiliki pasar. ”Selain itu, PBB juga akan sulit menjadi jangkar poros, apalagi partai ini tidak lolos ambang batas parlemen, tidak mudah bagi PBB untuk menjadi jangkar koalisi,” kata Arya.
Kecenderungan pemilih meninggalkan partai Islam sebenarnya sudah terlihat sejak awal reformasi.
Kecenderungan pemilih meninggalkan partai Islam sebenarnya sudah terlihat sejak awal reformasi. Meski muncul banyak parpol Islam, capaian mereka dalam pemilu tak menggembirakan.
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Lili Romli, dalam jurnal ”Partai Islam dan Pemilih Partai Islam di Indonesia” yang diterbitkan pada Jurnal Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia 2004 menuliskan, pada Pemilu 1999, sekalipun ada 17 partai Islam yang menjadi peserta pemilu, hanya PPP dan PBB yang lolos ambang batas elektoral (electoral threshold).
Kemudian pada Pemilu 2004, dari lima parpol Islam yang mengikuti pemilu, hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang mendapatkan kenaikan suara. Adapun perolehan suara partai lainnya turun jika dibandingkan dengan Pemilu 1999. Bahkan, raihan suara tiga dari lima parpol peserta pemilu itu tidak memenuhi electoral threshold, yakni PBB, Partai Bintang Reformasi, dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia. Ketiganya harus tereliminasi dari Pemilu 2009. ”Kurangnya dukungan partai-partai Islam itu menunjukkan bahwa ternyata partai Islam kurang laku di mata pemilih Islam. Pemilih Islam ternyata lebih memilih partai-partai non-Islam,” tulis Lili.
Menurut dia, hal itu disebabkan beberapa hal, di antaranya ekspektasi berlebihan dari parpol Islam yang menganggap mayoritas penduduk yang beragama Islam akan memilih partai Islam. Sebagian besar masyarakat Islam juga dinilai bersifat sosiologis, bukan ideologis. Selain itu, modernisasi yang dilakukan pemerintah Orde Baru telah menggeser orientasi warga dalam memandang hubungan antara agama dan politik, dari formalistik menjadi substansialistik, yakni melihat agama sebagai pedoman etik dan moral kehidupan.
Mungkin, ada benarnya pendapat yang pernah dituliskan sejarawan Taufik Abdullah dalam buku Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia tahun 1987. Islam politik di Indonesia sudah berakhir ketika PPP sebagai satu-satunya representasi kekuatan politik Islam padaera Orde Baru bersedia meninggalkan asas Islam dan menggantinya dengan Pancasila pada 1985. Sejak saat itu, berkembang wacana bahwa gerakan Islam tidak harus berkutat dalam politik, tetapi kultural. Lantas, jika menjelang Pemilu 2024 wacana membangun poros partai Islam modernis kembali didengungkan, apakah masih bisa terwujud?