Mencermati Faktor yang Memengaruhi Tingkat Penularan dan Kematian Covid-19
Tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah serta keeratan hubungan masyarakat ternyata menjadi kunci pengendalian Covid-19. Bagaimana menjelaskannya?
Dua tahun dan tiga gelombang sudah dilewati dunia untuk berperang dengan virus Covid-19. Meskipun begitu, nyatanya masih banyak hal yang tidak kita ketahui soal pandemi. Di antara berbagai faktor, ternyata tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah serta keeratan hubungan masyarakat justru menjadi kunci pengendalian.
Sejak 2020, peneliti di seluruh dunia tak henti berusaha untuk memecahkan teka-teki virus Covid-19. Dari tiap data yang tersedia, mereka berupaya untuk mencari pola persebaran dan karakteristik virus yang memorakporandakan dunia ini.
Namun, hasilnya sejauh ini nyaris nihil. Di luar karakteristik biologis, seperti bentuk dan sifat Covid-19 beserta variannya, pola persebaran virus ini masih menjadi misteri.
Tentu, dari hasil temuan ratusan hingga ribuan artikel jurnal kita bisa mengetahui bagaimana virus Covid-19 bisa menyebar. Virus SARS-CoV-2 ini bisa menular dari satu manusia ke manusia lain melalui udara (airborne) hingga permukaan benda.
Dari mereka pula kita bisa mengetahui bahwa varian baru Omicron menyebar dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan varian Alpha hingga Delta sebelumnya.
Pemerintahan di seluruh dunia pun turut mendengarkan hasil temuan dari para ilmuwan. Saat ini, protokol kesehatan menjadi norma hidup baru. Sebagian besar negara di dunia masih mewajibkan masyarakatnya untuk menggunakan masker dan mengimbau warganya untuk tidak berkerumun. Bahkan, tidak sedikit dari kepala negara untuk tak segan mengambil kebijakan restriksi sosial ketat seperti karantina wilayah (lockdown).
Baca juga : Antisipasi Darurat Omicron di Indonesia
Runtuhnya asumsi klasik
Lantas, mengapa virus ini tak kunjung bisa diredam? Salah satu alasannya ialah saintis masih kebingungan untuk menentukan pola penyebaran virus ini di sebuah negara. Virus Covid-19 meruntuhkan begitu banyak asumsi yang sebelumnya kita percayai.
Misalnya, bahwa negara yang secara ekonomi maju (memiliki PDB besar dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi), situasi politik yang stabil dan demokratis, dan negara dengan fasilitas layanan kesehatan yang mumpuni secara teori relatif siap dalam menghadapi situasi pandemi.
Secara kasatmata, asumsi tersebut masuk akal. Negara dengan ekonomi yang kuat, situasi politik yang stabil, serta fasilitas pelayanan kesehatan yang mumpuni tentu akan lebih siap untuk mengendalikan virus.
Dengan situasi ideal tersebut, lebih mudah bagi pemerintah untuk membuat kebijakan untuk mencegah warganya terjangkit virus dan menangani pasien agar tidak mengalami fatalitas.
Sayangnya, apa yang terjadi saat ini jauh dari asumsi tersebut. Patahnya asumsi ini salah satunya dapat dilihat dari laporan Global Health Security (GHS) Index. Secara umum, laporan yang digarap oleh Nuclear Threat Initiative, John Hopkins Bloomberg School of Public Health dan The Economist pada 2019 ini berupaya untuk melihat kesiapan 195 negara untuk menghadapi pandemi global.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa secara kolektif, dunia belum siap jika tiba-tiba muncul sebuah penyakit baru dengan skala global. Ketimpangan kesiapan antara negara barat dan tingkat demokrasi yang baik, perekonomian maju dan fasilitas pelayanan kesehatan mutakhir dan berkembang yang relatif lebih miskin jauh.
Sebagai contohnya, dari 13 negara yang termasuk dalam kategori siap, hanya 2 yang berasal dari belahan dunia timur, yakni Thailand dan Korea Selatan.
Setahun setelah GHS Index keluar, kita bisa tahu seberapa benar dan salahnya hasil laporan ini. Di satu sisi, laporan ini benar dalam memprediksi dunia yang memang terbukti tak siap hadapi serangan Covid-19 di awal 2020 lalu. Namun, laporan ini gagal memprediksi bahwa negara-negara dengan skor tinggi pun akan kewalahan menghadapi pandemi.
Sebagai contoh, AS sebagai juara GHS Index dengan skor 83,5 dari 100 poin menjadi negara yang paling terdampak dari Covid-19. Per 5 Februari 2022, terdapat penambahan kasus positif baru sebanyak lebih dari seratus ribu orang dalam sehari.
Bahkan, angka ini merupakan perbaikan signifikan dari puncak penularan di negara ini pada awal Januari lalu di mana kasus positif harian di atas 900.000. Hal ini diperparah dengan jumlah kematian yang luar biasa banyak di angka lebih dari 925.000 jiwa.
Baca juga : Jakarta, Kunci Pengendalian Pandemi
Variabel paling berpengaruh
Anomali pada pandemi Covid-19 tidak hanya tampak dari data GHS Index. Penelitian yang dirilis di The Lancet turut mengonfirmasi ketidaksesuaian hasil GHS Index dengan situasi pandemi di 177 negara selama Januari 2020 sampai September 2021. Tidak hanya itu, penelitian ini juga menemukan bahwa tingkat infeksi Covid-19 dan tingkat fatalitas Covid-19 sangat bervariasi di tiap negara.
Selain variabel yang digunakan untuk mengukur pengendalian infeksi seperti ketaatan terhadap protokol kesehatan (menggunakan masker dan menjaga jarak), ditemukan beberapa variabel yang berpengaruh terhadap tingkat infeksi. Beberapa variabel tersebut meliputi keadaan lingkungan di tiap musim, ketinggian, dan PDB per kapita.
Data dari 177 negara selama setahun menunjukkan bahwa infeksi Covid-19 meningkat ketika suhu dingin dan risiko pneumonia meningkat (ketika musim dingin atau pada titik di atas 100 meter di atas permukaan laut). Selain itu, tingkat kelembaban udara ternyata turut memengaruhi tingkat infeksi pada sebuah negara.
Sementara, dalam hal tingkat fatalitas akibat Covid-19, variabel yang ditemukan berpengaruh adalah profil demografi umur, PDB per kapita, indeks berat badan (Body Mass Index/BMI), prevalensi perokok, dan tingkat polusi udara. Semakin tinggi profil demografi usia sebuah negara, akan semakin tinggi pula tingkat fatalitas Covid-19 negara tersebut.
Tingkat fatalitas juga tampak lebih besar di negara-negara dengan BMI, prevalensi perokok dan tingkat polusi udara tinggi. Sementara, tingkat PDB per kapita yang rendah berhubungan dengan semakin tingginya tingkat kematian akibat pandemi.
Menariknya, tingkat kohesifitas masyarakat dan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah justru menjadi variabel yang berpengaruh dalam tingkat infeksi. Secara statistik, tingkat kepercayaan antarmasyarakat dan antara masyarakat dan pemerintah yang tinggi berpengaruh terhadap tingkat infeksi dalam sebuah negara.
Untuk memecahkan misteri virus SARS-CoV-2, dibutuhkan pendekatan dari perspektif lain di luar medis, seperti ilmu statistik, sosial, dan ekonomi.
Tak ayal, faktor yang memengaruhi kepercayaan publik terhadap pemerintah seperti tingkat korupsi juga turut berpengaruh. Bahkan, apabila sebelum pandemi pemerintah di seluruh dunia bersih dari korupsi, sehingga kepercayaan publik tinggi, tingkat infeksi global bisa berada di angka 40 persen lebih rendah dibandingkan saat ini.
Temuan-temuan ini semakin membuktikan bahwa pengetahuan kita soal virus Covid-19 relatif minim. Untuk memecahkan misteri virus SARS-CoV-2, dibutuhkan pendekatan dari perspektif lain di luar medis, seperti ilmu statistik, sosial, dan ekonomi.
Maka dari itu, pemerintah harus terus awas dan waspada. Karena, dengan masih gelapnya jalan yang ditapaki, kita tidak akan pernah tahu kapan pandemi ini akan selesai. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Waspadai “Gelombang Pasang” Pandemi