Jakarta, Kunci Pengendalian Pandemi
Jakarta menjadi kunci pengendalian pandemi di Indonesia. Merebaknya varian Omicron dan mobilitas yang tinggi turut berkontribusi pada peningkatan kasus. Pandemi belum berakhir.
Sesuai prediksi pemerintah, kasus Covid-19 terus merangkak naik seusai masa libur Natal dan Tahun Baru. Sama dengan tren sebelumnya, Jakarta dan sekitarnya kembali menjadi episentrum dalam gelombang pandemi ketiga di Indonesia. Tak ayal, pengendalian pandemi di Jakarta menjadi kunci bagi pengendalian di tingkat nasional.
Selama tiga minggu terakhir, Indonesia tengah menghadapi peningkatan tren kasus Covid-19. Bermula dari 533 kasus per hari di 6 Januari lalu, kasus harian telah melonjak sampai lebih dari 4.800 orang. Angka ini merupakan rekor tertinggi dalam kurun 4 bulan terakhir.
Gelombang Covid-19 ketiga di Indonesia ini memiliki pola yang kurang lebih sama dengan dua gelombang sebelumnya. Kesamaan ini terlihat dari posisi Jakarta yang menjadi episentrum persebaran virus di awal gelombang.
Dari dua gelombang sebelumnya, diketahui bahwa ledakan kasus di Jakarta akan mengalir ke wilayah aglomerasinya sampai ke wilayah lain hingga ke seluruh pelosok Indonesia.
Mengidentifikasi Jakarta sebagai episentrum sebetulnya tidaklah sulit. Selama tren perburukan Covid-19 di Indonesia, Jakarta selalu menjadi provinsi dengan penambahan kasus paling banyak.
Bahkan, dari tambahan 4.878 kasus di 24 Januari lalu, 2.190 kasus atau nyaris separuh dari total kasus nasional berada di provinsi tersebut.
Hasil pemantauan Indeks Pengendalian Covid-19 (IPC) Kompas juga memperlihatkan perkembangan pandemi di Jakarta yang sangat mengkhawatirkan. Dalam periode waktu 5 minggu terakhir, skor Jakarta selalu mengalami penurunan.
Puncak penurunan ini terjadi di periode waktu seminggu terakhir (18-24 Januari) ketika skor Jakarta terjun sebesar 9 poin dari 87 poin ke 78 poin. Skor ini merupakan yang terendah sejak pengukuran di periode 3-9 Agustus 2021.
Tidak hanya itu, semenjak Kompas mengembangkan IPC, baru di periode kali ini skor Jakarta lebih rendah dibandingkan dengan rerata skor nasional.
Kegentingan situasi di Jakarta semakin kentara jika perolehan skor di provinsi tersebut dibandingkan secara relatif. Selama ini, skor diperoleh dengan melakukan pengukuran secara konstan, yakni skor ditentukan oleh capaian provinsi atas target tertentu (misalnya, besaran positivity rate provinsi dibandingkan dengan 0 persen atau besaran BOR RS dibandingkan dengan 0 persen).
Berbeda dengan pengukuran yang selama ini telah dilakukan, pengukuran secara relatif juga mempertimbangkan perolehan sebuah provinsi dengan provinsi lainnya.
Berdasarkan pengukuran secara relatif, skor Jakarta selama tiga minggu terakhir ambles. Pada pengukuran periode 28 Desember 2021 hingga 3 Januari 2022, skor indeks relatif Jakarta berada di angka 70 poin.
Angka ini terus merosot hingga sebesar 49 poin di pengukuran periode 24 Januari ini. Dengan skor tersebut, secara relatif, Jakarta menjadi provinsi dengan pengendalian Covid-19 paling buruk nomor dua setelah Banten dengan skor 47 poin.
Baca Juga: Lonjakan Kasus di Jakarta, 31 Persen Tempat Tidur Covid-19 Terisi
Beban rumah sakit
Di satu sisi, di tengah tren peningkatan ini, jumlah kematian memang tidak terpengaruh secara signifikan. Selama rentang waktu yang sama, rata-rata angka kematian masih relatif rendah, di bawah 10 orang per harinya. Meskipun begitu, pada puncaknya di 24 Januari, angka kematian sempat naik ke 14 jiwa dalam sehari.
Cenderung rendahnya jumlah korban meninggal akibat Covid-19, dibandingkan dengan jumlah kasus yang naik secara signifikan, ini bisa menjadi bukti yang mendukung asumsi awal bahwa tingkat fatalitas varian Omicron lebih rendah dibandingkan dengan varian Delta. Dugaan ini juga selaras dengan situasi yang terjadi di Afrika Selatan, negara yang pertama kali mengidentifikasi virus varian Omicron.
Meskipun begitu, bukan berarti pemerintah bisa berleha-leha. Pasalnya, tren kenaikan kasus positif ini tak dibarengi dengan angka kesembuhan yang juga meningkat. Situasi ini pun membuat kasus aktif di Indonesia terus terdongkrak selama sebulan terakhir.
Setelah mengalami puncaknya di akhir Juli tahun lalu, dengan jumlah lebih dari 574.000 orang, kasus aktif di Indonesia cenderung mengalami tren negatif. Dalam waktu sekitar setengah tahun, Indonesia berhasil menurunkan kasus aktif hingga di bawah 4.300 orang pada Desember lalu.
Namun, hal ini pun berbalik setelah Omicron resmi masuk di Indonesia. Dalam sebulan terakhir, kasus aktif di Indonesia meningkat nyaris lima kali lipat. Hingga 24 Januari, kasus aktif di Indonesia telah berada di kisaran 20.000 orang.
Semakin bertambahnya kasus aktif otomatis akan semakin membuat RS kian sesak. Hal ini jelas terlihat di kasus DKI Jakarta selama sebulan terakhir. Hingga 31 Desember 2021, tingkat keterisian tempat tidur RS khusus pasien Covid-19 selalu terjaga di bawah angka 5 persen. Namun, semenjak 1 Januari 2022, tingkat keterisian tempat tidur (bed occupancy rate/BOR) RS ini terus naik.
Lonjakan keterisian RS ini utamanya terjadi mulai tanggal 10 Januari. Dalam waktu seminggu saja, BOR RS naik dua kali lipat dari 15 persen menjadi lebih dari 30 persen. Bahkan, pada puncaknya di 19 Januari, BOR di provinsi ini nyaris menyentuh angka 34 persen.
Jika tren ini terus berlanjut, bisa jadi dalam waktu dekat tingkat keterisian kasur RS ini akan melewati ambang batas yang ditetapkan pemerintah, yakni 50 persen.
Baca Juga: Temuan Awal Omicron Embuskan Optimisme
Perburukan aglomerasi
Tak dapat dimungkiri bahwa Jakarta sangat terhubung dengan wilayah-wilayah di sekitarnya. Data dari Jasamarga tahun 2020 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 100.000 kendaraan roda empat yang masuk dan keluar Jakarta melalui jalan tol setiap harinya.
Jumlah yang masif ini tentu belum menghitung lalu lalang masyarakat yang menggunakan moda transportasi lain, seperti kendaraan roda dua dan moda transportasi umum, seperti KRL.
Eratnya keterhubungan ini turut membawa risiko pada upaya pengendalian Covid-19. Semakin gawatnya situasi Covid-19 berpotensi tinggi untuk memantik perburukan di kawasan aglomerasi Jakarta (Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi). Gejala perburukan di wilayah aglomerasi ini pun tertangkap dalam IPC Kompas.
Semakin gawatnya situasi Covid-19 berpotensi tinggi untuk memantik perburukan di kawasan aglomerasi Jakarta.
Dalam penghitungan seminggu terakhir, baik Banten maupun Jawa Barat sama-sama mengalami penurunan skor. Jawa Barat dengan wilayah aglomerasi Kota Bekasi, Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Kota Bogor, dan Kabupaten Bogor mengalami penurunan skor sebesar 2 poin hingga skor menjadi 80 poin.
Adapun Banten dengan wilayah aglomerasi Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang mengalami penurunan yang lebih parah, yakni sebesar 6 poin hingga skor menjadi 76 poin.
Dilihat secara relatif, perburukan di Banten semakin terlihat nyata. Pasalnya, dalam kurun yang sama, skor IPC relatif di provinsi ini mengalami penurunan sampai 20 poin hingga skor berubah menjadi 47 poin. Dengan skor tersebut, provinsi ini memiliki skor relatif yang paling rendah dibandingkan dengan seluruh provinsi di Indonesia.
Asumsi ini perburukan di kawasan aglomerasi diperkuat dengan semakin tingginya transmisi lokal Covid-19 di Jakarta. Selama seminggu terakhir, angka transmisi lokal di Jakarta melejit tajam. Pada 18 Januari, kasus konfirmasi yang berasal dari transmisi lokal berada di kisaran 26 orang per 100.000 penduduk per minggu.
Angka tersebut naik menjadi nyaris tiga kali lipat pada 24 Januari dengan tingkat transmisi lokal sebesar 77 orang per 100.000 penduduk per minggu.
Kedua provinsi yang memiliki irisan dengan DKI Jakarta tersebut kini tengah mengalami tren yang serupa. Peningkatan tajam transmisi lokal juga terjadi di Banten selama seminggu terakhir. Jika pada 18 Januari tingkat transmisi lokal berada di kisaran 5 orang per 100.000 penduduk per minggu, kini angka tersebut melonjak hingga tiga kali lipat, yakni sebesar 15 orang per 100.000 penduduk per minggu.
Selaras, meski tak separah Jakarta dan Banten, tren transmisi lokal di Jawa Barat juga cenderung positif dengan kenaikan dari 2 orang per 100.000 penduduk per minggu menjadi sekitar 6 orang per 100.000 penduduk per minggu.
Memburuknya skor IPC Kompas secara konstan dan relatif yang diperkuat dengan kesamaan tren transmisi lokal seharusnya sudah cukup menjadi bukti seberapa gentingnya bagi pemerintah untuk segera ”mengunci” persebaran virus di wilayah teraglomerasi tersebut.
Dengan perkembangan pandemi saat ini, belum terlambat bagi pemerintah untuk segera mengambil langkah yang tegas. Namun, jika pemerintah masih terus mengulur waktu, siap-siap saja Indonesia dilanda gelombang yang kemungkinan lebih dahsyat dibandingkan dengan gelombang Covid-19 yang terjadi di pertengahan tahun lalu. (LITBANG KOMPAS)
Baca Juga: Waspadai ”Gelombang Pasang” Pandemi