Selalu ada jalan di balik setiap kemelut dan semuanya tergantung pada kecerdikan melihat kesempatan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Dunia sedang menghadapi inflasi impor. Bervariasi tingkat inflasi yang dialami banyak negara, tetapi intinya dunia serentak menghadapinya, termasuk Indonesia.
Unsur geopolitik mendominasi penyebab inflasi impor, seperti kenaikan harga minyak. Invasi Rusia ke Ukraina menjadi pemicu utama. Sayangnya, invasi ini merembet pada kenaikan harga komoditas dan pupuk karena Ukraina dan Rusia sama-sama produsen komoditas nonmigas, seperti petrokimia.
Ini menambah unsur geopolitik yang telah terjadi sebelumnya, seperti perang dagang AS-China. Menambah ruwet persoalan adalah gejala pengamanan stok domestik, yang menyurutkan perdagangan internasional untuk beberapa komoditas. Untungnya, Indonesia masih menghadapi inflasi moderat 3-4 persen pada 2022, naik dari level di bawah 3 persen pada 2021.
Bagaimana mengatasi inflasi impor karena unsur geopolitik ini tergantung pada kebijakan luar negeri AS untuk meredakannya. Juga sebaliknya, tergantung pada reaksi China dan Rusia. Negara seperti Indonesia tak kuasa menghadapi faktor given ini, kecuali dengan status Presidensi G20 Indonesia bisa mengurai kemelut akibat geopolitik.
Cara mengatasi inflasi impor yang juga berarti ”pajak” bagi konsumen, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah mengatakan, instrumen anggaran untuk peredam gejolak. Kekuatan anggaran menjadi andalan. Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB), Albert Park, melihat negara-negara berkembang Asia bisa mengatasi efek inflasi impor. Asia diprediksi tetap tumbuh di atas 5 persen. Dengan demikian, pendalaman pajak masih bisa menjadi andalan untuk pemanfaatan anggaran negara sebagai shock absorber. Subsidi pangan dan energi masih bisa dilakukan.
Ada lagi sebenarnya instrumen lain yang dilihat ADB untuk mendukung pertumbuhan, yakni lewat investasi. Temuan ADB menyebutkan Indonesia termasuk darling-nya investor. Tidak terlalu dibutuhkan pemanis untuk merangsang masuk investasi, cukup dengan meningkatkan kemudahan berbisnis.
Pertumbuhan, apalagi cukup tinggi, bisa menurunkan kemiskinan. Tentu pertumbuhan tersebut juga bukan dengan menggencet pekerja, yang juga otomatis menjadi konsumen.
Menjadikan inflasi impor sebagai stimulus baru untuk reformasi ekonomi demi kemudahan berbisnis merupakan momentum baik juga. Visi daerah-daerah juga menjadi tuntutan. Dalam terminologi ekonomi, bukti secara empiris menunjukkan setiap masalah justru bisa mendorong stimulus reformasi, seperti China pada 1978 yang mereformasi diri lewat ekonomi karena kemiskinan akut. Hal seperti itu juga pernah dilakukan India pada 1994 dengan meliberasi perdagangan karena krisis rupee. Hasilnya adalah kemakmuran rakyat.
Selalu ada jalan di balik setiap kemelut dan semuanya tergantung pada kecerdikan melihat kesempatan. Menaikkan inelastisitas permintaan karena faktor inflasi itulah juga tujuan dari pengejaran akan kemakmuran rakyat, lewat reformasi.