Industri Cari Alternatif Impor dan Berencana Naikkan Harga Produk
Kenaikan harga dan restriksi oleh sejumlah negara produsen pangan memaksa pelaku industri di Tanah Air mencari alternatif sumber bahan baku serta berencana menaikkan harga produk pangan.
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku industri mulai mencari alternatif negara sumber impor bahan baku pangan dan berancang-ancang menaikkan harga pangan olahan produksinya. Hal itu menyusul kenaikan harga sejumlah komoditas pangan dan energi yang semakin diperburuk oleh maraknya restriksi perdagangan pangan.
Harga pangan global mulai naik tinggi pada pertengahan 2021. Penguncian wilayah untuk mengendalikan pademi Covid-19 yang mendorong kenaikan biaya logistik dan anomali cuaca di sejumlah negara produsen pangan merupakan pemicu awal.
Perang Rusia-Ukraina ditambah restriksi pangan kedua negara tersebut dan diikuti sejumlah negara lain memperlambat penurunan harga pangan global. International Food Policy Research Institute (IFPRI) menyebutkan, sejak invasi pertama Rusia atas Ukraina pada 24 Februari 2022, jumlah negara yang membatasi ekspor bertambah.
Per 1 Juni 2022, sebanyak 20 negara masih aktif membatasi ekspor komoditas pangan, tujuh negara menerapkan perizinan khusus ekspor, dan tiga negara menaikkan pajak atau pungutan ekspor. Sejumlah komoditas pangan itu antara lain gandum, gula, beras, daging, minyak kelapa sawit mentah (CPO), serta minyak dan biji bunga matahari.
IFPRI juga mencatat, empat negara masih aktif membatasi ekspor pupuk, dua negara menerapkan perizinan khusus ekspor, dan satu negara menaikkan pajak ekspor. Jenis-jenis pupuk dan bahan baku pupuk tersebut antara lain nitrogen atau urea, fosfat, dan mineral.
Sebanyak 20 negara masih aktif membatasi eskpor komoditas pangan, tujuh negara menerapkan perizinan khusus ekspor, dan tiga negara menaikkan pajak atau pungutan ekspor.
Baca Juga: Waspadai ”Panen” Restriksi Pangan
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman, Rabu (1/6/2022), mengatakan, ketika Rusia dan Ukraina membatasi ekspor gandum, pelaku usaha Indonesia berupaya mendekati India. Namun, India juga turut membatasi ekspor gandum sehingga mereka mencari alternatif negara lain, yaitu Kanada dan Argentina.
”Saat ini harga gandum atau tepung terigu sudah tinggi. Di tingkat pabrik di dalam negeri sudah naik dari sekitar Rp 5.000 per kilogram (kg) menjadi Rp 8.000 per kg. Mau tidak mau, pengusaha harus menaikkan harga jualnya di pasar,” kata Ahdi ketika dihubungi di Jakarta.
Kondisi itu, lanjut Adhi, berbeda dengan gula impor. Pembatasan ekspor gula oleh India tidak akan berpangaruh siginifikan terhadap Indonesia. Selama ini, Indonesia banyak mengimpor gula dari Thailand dan Australia, sedangkan India dan Brasil hanya sebagai cadangan.
Kendati begitu, larangan ekspor gula oleh India itu pasti akan membuat harga gula di tingkat internasional naik. Hal ini tentu saja akan memengaruhi harga gula yang dibeli Indonesia dari Thailand dan Australia.
Menurut Adhi, rentetan kenaikan harga pangan, energi, dan biaya logistik sejak tahun lalu ditambah penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen semakin menekan pelaku usaha dan industri. Saat ini, biaya produksi sudah naik hingga 10 persen sehingga menyebabkan profit mereka turun.
”Sejumlah pelaku usaha dan industri pangan olahan mulai menghitung ulang modal, keuntungan, dengan biaya produksi. Mereka sudah mulai berancang-ancang menaikkan kembali harga produknya sekitar 5 persen. Menurut rencana mulai awal semester II-2022,” ujarnya.
Adhi berharap agar pemerintah kembali memberikan insentif kepada pelaku usaha. Salah satunya dengan memetakan kembali biaya-biaya perizinan, pajak, dan retribusi yang membebani pelaku usaha, kemudian meringankan atau menunda kenaikannya.
Baca Juga: Prioritaskan Menjaga Pangan dan Daya Beli
TradingEconomics mencatat, per akhir Mei 2022, harga gandum global mencapai 10,89 dollar AS per gantang, naik 3,17 persen secara bulanan dan 58,4 persen secara tahunan. Harga gula sudah sebesar 19,44 dollar AS per pon, naik 3,18 persen secara bulanan dan 10,01 persen secara tahunan.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah, berpendapat, restriksi pangan di tengah masih tingginya harga akan menghambat rantai pasok perdagangan serta mendorong peningkatan inflasi global dan domestik.
Restriksi pangan di tengah masih tingginya harga akan menghambat rantai pasok perdagangan serta mendorong peningkatan inflasi global dan domestik.
Kondisi tersebut membuat dunia usaha semakin dipenuhi ketidakpastian. Mereka dihadapkan pada dilema antara menaikkan atau mempertahankan harga produk di tengah daya beli yang belum sepenuhnya pulih.
Baca Juga: Inflasi dan Pengangguran Bayangi Tren Positif Pertumbuhan Ekonomi
Bauran kebijakan
Oleh karena itu, kata Rusli, pemerintah perlu mencermati komoditas-komoditas pangan global yang akan naik atau tetap bertahan tinggi, seperti gandum, gula, minyak nabati, daging, dan kedelai. Selain itu, pemerintah juga perlu memfasilitasi perdagangan dan mencarikan solusi atas persoalan tersebut.
Misalnya, memfasilitasi industri pengimpor gandum untuk mencari alternatif negara selain Rusia, Ukraina, dan India. Pemerintah juga dapat mengoptimalkan produksi gula di dalam negeri mumpung musim giling tebu tengah berlangsung.
”Di tengah larangan ekspor sejumlah minyak nabati, Indonesia juga dapat menawarkan minyak nabati Indonesia sebagai substitusi minyak biji matahari di negara-negara lain yang membutuhkan. Melalui jalan diplomasi itu, Indonesia juga dapat membarternya dengan produk-produk pangan impor yang dibutuhkan,” tuturnya.
Rusli meminta pemerintah tidak mengabaikan kenaikan harga pupuk global. Sejumlah negara, seperti China, Rusia, Ukraina, dan Kirgistan, telah membatasi ekspor pupuk, sementara Vietnam telah menaikkan pajak ekspor pupuk.
”Jika tidak ada alokasi tambahan subsidi pupuk, optimalkan pendistribusian pupuk bersubsidi untuk tanaman-tanaman pokok, terutama padi. Amankan panenan padi pada musim tanam kedua ini untuk meningkatkan stok beras,” katanya.
Rusli menambahkan, stabilisasi stok dan harga pangan di dalam negeri sangat penting di tengah ancaman kenaikan inflasi. Bersama kebijakan penambahan subsidi energi dan jaring perlindungan sosial, langkah tersebut akan menjadi kunci tren pemulihan daya beli masyarakat atau konsumsi rumah tangga.
Baca Juga: Proteksi Daya Beli Masyarakat Jadi Prioritas Anggaran Belanja
Badan Pusat Statistik mencatat, tingkat inflasi pada April 2022 sebesar 0,95 persen secara bulanan dan 3,47 secara tahunan. Komoditas penyumbang inflasi terbesar adalah minyak goreng yang andilnya mencapai 0,19 persen, pertamax 0,16 persen, dan avtur yang berpengaruh pada kenaikan harga tiket pesawat 0,08 persen. Inflasi tersebut tidak lepas dari imbas kenaikan harga minyak mentah dan CPO global.
Sementara berdasarkan Survei Pemantauan Harga pada Minggu IV Mei 2022, Bank Indonesia (BI) memperkirakan inflasi pada Mei 2022 sebesar 0,35 persen secara bulanan dan 3,5 persen secara tahunan. Tingkat inflasi secara tahunan tersebut sudah berada di kisaran target inflasi pemerintah dan BI yang sebesar 3-4 persen.
Penyumbang inflasi bulanan pada pekan tersebut antara lain bawang merah sebesar 0,07 persen, angkutan udara 0,06 persen, telur ayam ras 0,05 persen, daging ayam ras sebesar 0,02 persen, serta daging sapi, tahu-tempe mentah, dan bahan bakar rumah tangga masing-masing 0,01 persen. Adapun penurunan harga minyak goreng membuat komoditas tersebut menyumbang deflasi sebesar 0,01 persen.
Baca Juga: Daya Beli Pasca-Lebaran