Ditutupnya keran ekspor membuat pasokan CPO dalam negeri melimpah. Namun, langkah ini diragukan bisa menekan segera harga minyak goreng secara tajam serta menjamin stabilitas pasokan dan harga dalam jangka panjang.
Oleh
Redaksi
·3 menit baca
Kebijakan pemerintah melarang total ekspor CPO untuk mengatasi problem minyak goreng di dalam negeri menuai kritik. Kebijakan itu dinilai keliru dan destruktif.
Kebijakan itu dinilai tidak menyelesaikan akar masalah kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng dalam negeri. Sebaliknya, berpotensi memunculkan komplikasi dampak berantai ke ekonomi, industri sawit dan turunan domestik, serta posisi Indonesia sebagai produsen minyak sawit mentah (CPO) atau minyak sawit terbesar secara global.
Ditutupnya keran ekspor membuat pasokan CPO dalam negeri melimpah. Namun, langkah ini diragukan bisa menekan segera harga minyak goreng secara tajam dan menjamin stabilitas pasokan dan harga dalam jangka panjang.
Selain menyebabkan Indonesia kehilangan potensi ekspor dan penerimaan negara yang sangat besar dari CPO dan produk turunannya, kebijakan ini juga akan sangat memukul 2,7 juta keluarga petani sawit mengingat 40 persen kebun sawit adalah kebun rakyat. Larangan ekspor CPO dan produk turunan memicu turunnya harga tandan buah segar (TBS) sawit di tingkat petani. Akibatnya, menekan pendapatan petani dan pemulihan ekonomi daerah penghasil sawit.
Pelarangan ekspor akan memukul pula pengusaha CPO skala kecil yang memiliki fasilitas penyimpanan terbatas. Selama ini, 65 persen produksi CPO Indonesia ditujukan untuk ekspor. Dengan adanya larangan ekspor, muncul persoalan terkait ke mana kelebihan pasok CPO akan ditampung dan diserap. Sebagian fasilitas pengolahan mungkin juga harus berhenti berproduksi dan mengistirahatkan pekerjanya.
Presiden menyatakan, larangan bersifat sementara, sampai pasokan minyak goreng di dalam negeri melimpah dan harga terjangkau. Dengan Indonesia selama ini memasok 45 persen kebutuhan CPO global, penghentian dipastikan akan mengguncang pasar global dan membuat harga CPO dunia yang bertahan tinggi kian melambung.
Ada kekhawatiran sebagian negara mengalihkan impor CPO mereka dari Indonesia ke produsen lain, terutama Malaysia sebagai pesaing utama Indonesia dan produsen minyak nabati pesaing CPO, sehingga berdampak pada pangsa pasar Indonesia. Potensi kian melambungnya harga CPO di pasar global juga membuat pemerintah harus mewaspadai kemungkinan penyelundupan CPO keluar lewat ekspor gelap.
Mengacu nilai ekspor CPO Maret 2022, larangan ekspor akan mengakibatkan kita kehilangan devisa ekspor sekitar 3 miliar dollar AS, setara 12 persen total ekspor nonmigas, hanya dalam satu bulan. Dari mana bolong ini akan ditutup? Belum lagi hilangnya penerimaan pajak dan pungutan ekspor yang bisa berdampak pada pembiayaan subsidi minyak goreng curah dan insentif biodiesel oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Pertanyaannya, setelah bongkar pasang kebijakan, strategi apa yang disiapkan pemerintah untuk mengatasi problem minyak goreng dalam negeri secara struktural? Perbaikan tata kelola dan integrasi dari hulu-hilir, penguasaan stok, penciptaan struktur pasar yang lebih sehat, dan pengawasan ketat di lapangan harus menjadi bagian penting di dalamnya. Pemerintah tak boleh kalah lagi dari kartel dan pemburu rente.