Jika tujuan senjata ekonomi adalah mematikan kekuatan sebuah negara, hal itu hanya ilusi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Terminologi perang dingin ekonomi muncul setelah invasi Rusia terhadap Ukraina. Namun, perang ekonomi itu bersifat ilusi, tidak akan mematikan.
Ekonomi memiliki prinsip jelas, yakni memproduksi barang dengan biaya serendah mungkin, kemudian barang dijual dengan harga setinggi mungkin. Barang diproduksi dengan materi termurah dan berasal dari mana saja serta barang dijual ke mana saja. Ekonomi itu tidak mengenal perbatasan.
Mekanisme pasar dengan tangan tersembunyi (invisible hand) yang dipopulerkan Adam Smith adalah yang mengatur produksi, demikian juga penjualannya. Tangan tersembunyi ini mengatur jaringan produksi dan konsumsi yang kini berskala global. Jika terjadi perang ekonomi, entah lewat sanksi, embargo, serupa dengan mematikan mekanisme pasar.
Isu perang dingin ekonomi mencuat karena invasi Rusia atas Ukraina. Eropa dan Amerika Serikat (AS) mendukung Ukraina. China mendukung Rusia, tidak dalam konteks mendukung invasi, tetapi dengan pernyataan hubungan kedua negara sekeras batu karang, apa pun yang terjadi dengan Rusia. Perang ekonomi terjadi antara AS dan China, dengan asumsi diikuti negara pendukungnya.
Perang praktis akan memutus jaringan produksi yang kini melibatkan semua negara di dunia. China dikenal sebagai basis produksi yang dilakoni korporasi global, Rusia dikenal sebagai sumber energi yang dibutuhkan dunia. Dengan demikian, kemakmuran yang akan terganggu tidak akan dialami China dan Rusia saja, tetapi juga oleh AS dan Eropa.
Perang tak akan menguntungkan siapa saja, tetapi malah merugikan dunia. Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva, Kamis (11/3/2022), menyatakan, perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia akan direvisi ke tingkat lebih rendah. Menteri Keuangan AS Janet Yellen menyatakan, krisis Ukraina berefek pada perekonomian global. Hingga Kenneth Rogoff, profesor ekonomi Harvard, di Harvard Gazette, 24 Februari lalu, mengatakan, ekonomi AS dan dunia terganggu lewat krisis bursa saham, kemelut pasar energi, inflasi memburuk, dan pengeluaran militer naik.
China dikenal sebagai basis produksi yang dilakoni korporasi global, Rusia dikenal sebagai sumber energi yang dibutuhkan dunia.
Sejarawan Universitas Yale menulis artikel di The Wall Street Journal berjudul ”The Economic Weapon’ Review: The Limits of Sanctions, From Abyssinia to Ukrain” pada 27 Januari 2022. Ia mengutip profesor sejarah dari Universitas Cornell, Nicholas Mulder, yang meneliti manfaat senjata ekonomi yang dipakai seusai Perang Dunia (PD) I.
Kesimpulannya, senjata ekonomi, meski menyengsarakan untuk sementara waktu, tidak mencegah kebangkitan Hitler dan invasi Jepang di Asia pada PD II. Jika tujuan senjata ekonomi adalah mematikan kekuatan sebuah negara, hal itu hanya ilusi.
Tidak ada pilihan, dunia harus belajar dari sejarah tentang perang. Dalam percakapannya dengan Jenderal Douglas MacArthur seusai PD II, diplomat AS George F Kennan meminta agar Jepang jangan ditindas tegas, cukup sekadar ditepuk di bahu agar bisa bangkit bersama AS.