Dunia sedang menuju perang dingin ekonomi yang dipicu semakin tajamnya persaingan antara Amerika Serikat dan China. Era ini diperkirakan akan berlangsung satu dekade ke depan.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Kompetisi antara Amerika Serikat dan China yang menajam akan membentuk perang dingin ekonomi baru. Situasi menjadi kompleks dengan sejumlah persoalan mutakhir lainnya yang ikut menggempur tatanan lama.
”Tampaknya persaingan geoekonomi ini semakin kentara sudah bergerak menyerupai, kalau boleh terminologinya adalah, the new economic cold war,” kata Wakil Menteri Luar Negeri Mahendra Siregar pada pidato kunci seminar daring Universitas Prasetiya Mulya di Jakarta, Kamis (7/4/2022).
Persaingan geopolitik yang semakin tajam antara AS dan China, menurut Mahendra, sudah bergeser sangat cepat dan semakin meluas sehingga menjadi kompetisi geoekonomi baru. Bahkan, ini juga sudah masuk pada penyusunan kembali rantai pasok masing-masing negara tersebut. Hal ini terutama menyangkut produk teknologi tinggi, produk strategis, dan produk yang dianggap memiliki pengaruh pada kekuatan militer negara.
”Jadi, kita harus mengantisipasi economic cold war dalam perspektif intensitas dan kerangka waktunya, yang kalau dilihat dari kondisi geopolitiknya, tampaknya tidak akan selesai setidaknya perkiraan sampai saat ini dalam 10 tahun ke depan. Itu adalah kondisi yang sedang terjadi, terlepas dari kondisi di Ukraina,” kata Mahendra.
Selain perang dingin ekonomi tersebut, Mahendra juga menyebut beberapa variabel lain yang diperkirakan akan memengaruhi tata dunia baru. Variabel itu adalah krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19, gangguan rantai pasok, serta keterbatasan pasokan energi dan pangan.
Krisis Ukraina berikut sanksi dari Barat yang terjadi belakangan, menurut Mahendra, menambah kompleksitas persoalan. Ujung-ujungnya adalah deglobalisasi dan dedolarisasi. Globalisasi akan goyah karena semua negara akan menghitung ulang kebijakan luar negerinya untuk mengamankan kepentingan nasional.
Pada saat yang sama, akan bermunculan alternatif alat pembayaran baru di luar dollar AS. Pemakaian mata uang dollar AS untuk transaksi perdagangan internasional akan berkurang. Dalam jangka pendek, sejumlah persoalan telah dialami Indonesia akibat krisis Ukraina berikut sanksi dari Barat. Paling nyata adalah kenaikan harga minyak.
Secara umum, perdagangan Indonesia dengan Rusia dan Ukraina hanya 2 persen dari total perdagangan internasional Indonesia. Namun, khusus untuk komoditas minyak sawit dan karet berikut produk turunannya, Mahendra mengingatkan, nilai ekspornya cukup besar, yakni di atas 1 miliar dollar AS.
Adapun impor Indonesia dari Ukraina yang besar adalah gandum, hampir 1 miliar dollar AS. Bahan baku pupuk, khususnya potasium dari Rusia dan Belarus, juga terdampak.
Penutupan akses Rusia ke sistem Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunications (SWIFT) untuk transaksi perbankan global juga menyusahkan para pelaku bisnis domestik. Eksportir, importir, dan investor dalam negeri yang melakukan transaksi dengan Rusia dan Ukraina akan mengalami kesulitan.
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri dan Wakil Rektor Prasetiya Mulya Ida Juda menawarkan sudut pandang berbeda. Menurut mereka, deglobalisasi dan dedolarisasi akan sukar terjadi.
”Selama pandemi, rantai pasok global justru diperkuat. Memang ada beberapa negara yang berusaha membuat rantai pasok internal. Akan tetapi, mayoritas negara dunia memilih mencari rantai pasok baru. Mereka merambah kerja sama ekonomi dengan negara-negara yang mungkin sebelumnya tidak dilirik,” katanya.
China berusaha melakukannya dengan Indonesia. Ada waktu tiga tahun untuk menetapkan transaksi murni menggunakan rupiah dan renminbi.
Adapun Ida menjelaskan, sukar untuk menggantikan dollar AS sebagai mata uang perdagangan internasional. China berusaha melakukannya dengan Indonesia. Ada waktu tiga tahun untuk menetapkan transaksi murni menggunakan rupiah dan renminbi.
”Pada kenyataannya, justru pengusaha-pengusaha China yang menolak memakai renminbi. Mereka tetap memilih dollar AS,” ujarnya. Demikian pula dengan perusahaan-perusahaan Eropa yang menolak transaksi menggunakan euro.
Yose dan Ida sama-sama menilai dollar AS merupakan mata uang yang terlalu kuat dan menjadi pilihan paling aman untuk semua transaksi internasional. Jika memang ingin beralih dari dollar AS, pilihan paling masuk akal ialah menggunakan mata uang digital atau kripto.
Sementara Duta Besar Indonesia untuk Jerman Arif Havas Oegroseno menerangkan, Jerman sebagai negara yang sangat terpengaruh situasi di Rusia dan Ukraina juga sibuk mencari alternatif lain. Selama ini, Jerman dianggap tidak tegas menghadapi Rusia karena sebagian besar gas yang mereka pakai diimpor dari Rusia.
Sudah ada beberapa pihak Jerman yang menanyakan kepada Kedubes Indonesia soal kemungkinan mengimpor batubara.
Apabila pipa Nord Stream yang mengalirkan gas dari Rusia ke Jerman dihentikan, Jerman akan kehilangan 155 miliar kubik gas. Jumlah ini setara dengan minus 3 persen pendapatan domestik bruto mereka. Akan tetapi, secara keseluruhan, kerugian itu masih bisa ditangani.
Jerman mencari alternatif sumber-sumber energi. Untuk minyak, mereka menjajaki transaksi dengan Qatar, Uni Emirat Arab, dan Norwegia. Bahkan, Jerman mulai mempertimbangkan kembali pemakaian batubara untuk pembangkit listrik. ”Sudah ada beberapa pihak Jerman yang menanyakan kepada Kedubes Indonesia soal kemungkinan mengimpor batubara,” kata Arif. (REUTERS/DNE)