Dukungan terhadap Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa mulai menguap. Krisis ekonomi di negaranya bereskalasi jadi krisis politik yang sulit dikendalikan.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Dalam sebulan terakhir, Sri Lanka digoyang unjuk rasa rakyatnya. Mereka turun ke jalan setelah cukup lama menahan cekikan kesulitan ekonomi. Bahan kebutuhan pokok langka, harganya pun—jika ada dalam stok terbatas—meroket. Warga harus mengantre panjang saat membeli gas untuk memasak. Layanan listrik dijatah dan dibatasi 13 jam sehari. Bahkan, ada cerita sebuah sekolah juga terpaksa menunda ujian karena tak memiliki kertas.
Unjuk rasa rakyat Sri Lanka, seperti dilaporkan harian ini, Rabu (6/4/2022), menyebar ke sejumlah pelosok negeri. Rabu kemarin, hampir 200 dokter berunjuk rasa di jalan dekat rumah sakit nasional di ibu kota Colombo. Aksi mereka dipicu kelangkaan obat dan perlengkapan medis akhir-akhir ini.
Dalam unjuk rasa-unjuk rasa itu, warga menyatakan tidak percaya lagi kepada pemerintahan di bawah Presiden Rajapaksa. Mereka menginginkan Presiden Rajapaksa lengser. Bersama Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa, kakak kandungnya sendiri, Gotabaya Rajapaksa dinilai sudah tidak mampu lagi menjalankan roda pemerintahan di Sri Lanka.
Bukan hanya tak diinginkan rakyatnya, dua bersaudara klan Rajapaksa itu juga sudah dijauhi mitra koalisinya di parlemen. Pemerintahan Rajapaksa saat ini berjalan tanpa dukungan mayoritas di parlemen. Awal April ini, Presiden Rajapaksa juga membubarkan kabinet. Ia berupaya memperbaiki situasi dengan menunjuk para penjabat menteri. Namun, siapa mau ikut menanggung getah ketidakberesan mengelola negara? Ali Sabry, Menteri Keuangan baru, memilih mundur hanya 24 jam setelah dia ditunjuk menduduki posisi tersebut.
Krisis ekonomi di Sri Lanka, yang tak bisa segera ditangani, telah berubah menjadi krisis politik. Situasi di negara itu, seperti diulas majalah The Economist, merupakan buah dari ketidakseimbangan ekonomi dalam rentang waktu yang lama, guncangan eksternal, dan salah kelola pemerintahan. Di masa pemerintahan Presiden Mahinda (2005-2015), Sri Lanka berutang banyak untuk membiayai proyek infrastruktur yang ternyata tidak menghasilkan pemasukan.
Pelabuhan Hambantota dan Bandar Udara Mattala Rajapaksa, dua proyek yang dibangun dengan dana pinjaman dari China, misalnya, kini terpaksa diserahkan kepada China untuk pengelolaannya. Di bawah Presiden Rajapaksa, Sri Lanka memangkas pajak, yang berakibat tergerusnya pemasukan negara. Pandemi Covid-19, yang menghentikan kedatangan turis yang menghidupkan industri wisata negara itu, menambah dalam pukulan bagi ekonomi Sri Lanka.
Satu catatan yang perlu digarisbawahi, krisis di Sri Lanka terjadi di tengah iklim politik dinasti dan kekuasaan yang bersirkulasi terbatas pada klan Rajapaksa. Klan ini berambisi untuk terus memperpanjang kekuasaan. Iklim politik ini tak memberi mekanisme kontrol bekerja dengan baik. Apa yang terjadi di Sri Lanka saat ini tak lepas dari iklim tersebut.