Dunia internasional harus ikut bertanggung jawab atas penderitaan rakyat Myanmar. Prahara Myanmar bukan lagi urusan domestik.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Prahara di Myanmar terus terjadi dan memburuk. Pemberontakan bersenjata meluas, sementara kekerasan terhadap warga sipil tak kunjung berhenti.
Kudeta oleh kekuatan militer terhadap pemerintahan sipil hasil pemilu terjadi setahun lalu di Myanmar, 1 Februari 2021. Sejak itu, transisi demokrasi yang tengah berlangsung di Myanmar berhenti sama sekali.
Upaya angkatan bersenjata meredam penolakan serta perlawanan ditempuh melalui kekerasan. Seperti ditulis harian ini pada Rabu (2/2/2022), Asosiasi Perbantuan Tawanan Politik (AAPP) Myanmar mencatat 1.503 orang dibunuh dan 11.833 warga ditangkap petugas keamanan. Bumi hangus dilakukan terhadap desa-desa yang ditengarai melawan militer.
Demonstrasi di kota memang tak terjadi lagi mengingat ada tindakan keras militer terhadap aktivis, tetapi unjuk rasa telah berganti dengan serangan bom dan pembunuhan. Sasarannya, pejabat dan kantor pemerintah.
Penolakan terhadap kudeta yang semula berlangsung damai beralih menjadi perlawanan bersenjata. Sebagian kekuatan kelompok oposisi menjalin kerja sama dengan milisi etnis yang sudah lebih lama mengangkat senjata melawan militer. Orang-orang muda dilaporkan bergabung dengan kelompok milisi di berbagai wilayah. Mereka bahu-membahu dengan tokoh di daerah untuk melawan petugas keamanan.
Tekanan dunia internasional, terutama Dewan keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, terhadap militer Myanmar tidak maksimal. Para anggota tetap Dewan Keamanan berbeda sikap. Ada kubu yang berpandangan tak diperlukan intervensi asing di Myanmar, ada kubu justru melihat sebaliknya.
ASEAN berusaha memperbaiki situasi lewat lima butir konsensus yang wajib dipenuhi otoritas Myanmar. Sejauh ini, baru teruwjud penunjukan utusan khusus. Penghentian kekerasan dan dialog dengan berbagai pihak belum terlaksana, sementara Kamboja, pemegang keketuaan ASEAN, menempuh ”jalan lunak”, merangkul pemimpin militer Myanmar.
Mantan Duta Besar Amerika Serikat untuk Myanmar, Derek J Mitchell, dalam ”The Looming Catastrophe in Myanmar” (Foreign Affairs, 15 April 2021), menulis, Myanmar tak sekadar mengalami kemunduran demokrasi, tetapi tengah bergerak menjadi negara gagal. Maka, ada urgensi untuk segera mengatasi problem di Myanmar.
Peringatan yang disampaikan dua bulan setelah kudeta itu tepat. Kegagalan militer melakukan konsolidasi pasca-kudeta (terbukti dari perlawanan bersenjata yang meluas) dan ekonomi Myanmar yang anjlok membuat negara itu sebenarnya tak berdaya. Ribuan orang mengungsi akibat serangan militer. Warga kota takut dibunuh dan terkena bom.
Sudah sepantasnya negara-negara besar meminggirkan isu geopolitik guna menyelamatkan Myanmar, mengingat negara gagal merupakan sumber ketidastabilan. Dunia internasional harus ikut bertanggung jawab atas penderitaan rakyat Myanmar. Prahara Myanmar bukan lagi urusan domestik.