Dian Oerip, Menghidupi Kain dengan Hati
Dian Oerip tetap mampu memberi pelita pada tiap wastra Nusantara di tangannya sehingga kian terasa hidup. Cocok dengan nama yang disematkan sepanjang perjalanannya.
Pengembaraannya belum seberapa jika disandingkan dengan usia kain-kain Nusantara yang dijamahnya. Akan tetapi, Dian Oerip tetap mampu memberi pelita pada tiap wastra Nusantara di tangannya sehingga kian terasa hidup. Cocok dengan nama yang disematkan sepanjang perjalanannya.
”Hai, maaf ya. Tadi aku siap-siap untuk ke Paris bawa tenun mollo ke sana. Bareng sama Melanie Subono. (Dia) Jadi PR Chief,” sapa perempuan yang bernama lengkap Dian Erra Kumalasari lewat Zoom, Senin (16/5/2022).
Untuk kesekian kalinya, Dian melintas keluar zona untuk membawa warisan budaya Indonesia. Kali ini, tenun mollo dari Nusa Tenggara Timur yang dipilihnya untuk diperkenalkan di Festival de La Culture Indonésienne di Nanterre Université, Paris, pada 23-25 Mei 2022. Kemudian dilanjutkan ke Kalenkote dan Rijswick, Belanda, pada 28-29 Mei 2022.
Pilihan tenun mollo tak lepas dari banyak makna dan kisah di dalam sehelai kain ini. Warna merah putih yang dominan pada tenun ini juga mencerminkan keindonesiaan. Di sisi lain, moulleux yang dibaca /mwƐ.lǿ/ adalah bahasa Perancis yang berarti lembut atau halus. Serupa dengan tekstur tenun mollo.
Begitu pula pada kisah yang nantinya dipanggungkan dalam melatarbelakangi presentasi tenun mollo di salah satu kota mode dunia itu. Perempuan asal Ngawi, Jawa Timur, ini mengambil cerita tentang Mama Aleta Baun yang berjuang melawan perusahaan tambang yang hendak merusak alam desa Fatukoko, Fatumnasi, Nusa Tenggara Timur. Mama Aleta bersama para perempuan di sana melawan dengan menenun. Upaya yang halus dan membuahkan hasil.
Kehadiran Melanie dalam pertunjukan nanti juga bukan tanpa alasan. Sebelumnya, tenun mollo ini juga dihadirkan di Indonesia Fashion Week 2022 bersama Melanie juga. ”Mbak Melanie ini ternyata pengguna setia Oerip Indonesia. Dia bersedia mengenalkan Oerip ini,” ungkapnya.
Selain Melanie, ada banyak yang jatuh hati pada Oerip Indonesia, jenama miliknya. Puteri Indonesia 2005, Nadine Chandrawinata, memasrahkan desain busana pengantin dengan tenun sumba ke Oerip Indonesia. Ada pula aktris Dian Sastrowardoyo dan presenter Najwa Shihab.
Bukan hanya pesohor, khalayak ramai juga kepincut dengan produk wastra yang diusung Dian lewat jenamanya. Tiap malam, Instagram Live yang digelarnya melalui akun @oerip_official selalu dipadati pengikutnya yang berlomba membeli tenun yang ditawarkannya.
”Tadinya karena pandemi memang. Tapi ternyata efektif banget, bahkan bisa menjangkau siapa aja. Bahkan, sampai dapat omzet tertinggi lho. Jadi, terus dilanjutkan,” ujarnya yang memang mengawali usaha kain dalam negeri ini dari media sosial.
Pakai hati
Semula, Dian yang merupakan lulusan Teknik Kimia Universitas Diponegoro, Semarang, ini hobi travelling sekaligus fotografi. Tanpa diduganya, tiap petualangan yang dilakukannya mengantarkannya berjumpa beraneka ragam kain Nusantara yang apik.
”Ngumpulin satu-satu. Jadiin baju karena kebetulan aku enggak pernah cocok kalau beli baju di mal atau butik. Pakai kain ini, bisa aku buat dengan desain yang memang aku banget, kan. Pas aku post di Facebook, banyak komen ’eh lucu ya’, ’eh keren ya’. Dari situ saya semangat,” tuturnya yang tidak pernah mengikuti sekolah mode atau mempelajari desain.
Pada 2008, ia pun mendirikan Oerip Indonesia yang kini telah memiliki 50 karyawan. Sejalan dengan membesarkan produknya, penjelajahannya ke pelosok negeri pun tak berhenti. Terus dia bergerak, terus pula ia menemukan berbagai jenis dan motif kain yang belum diolahnya.
Waktu selama 13 tahun nyatanya belum cukup untuk menemui ragam wastra. Saat ini, yang telah diolahnya adalah tenun Sikka, Futus, Sumba, Bajawa dari NTT, tenun Lombok dari NTB, tenun Tarum dan Gringsing dari Bali, tenun Badui dari Banten, tenun Dayak Iban, Ulap Doyo, Dayak Etikong dari Kalimantan, Ulos, tenun Tanimbar dari Maluku, hingga tenun Toraja dari Sulawesi, dan masih banyak lagi.
Uniknya, tiap pertemuannya dengan kain-kain tersebut tanpa rencana. ”Enggak pernah direncanakan mencari kain yang apa gitu. Pergi ke mananya juga enggak pernah harus ke mana. Ikuti kata hati aja mau ke mana. Sampai di sana ketemu dengan penenun, entah gimana dibawa ke sana kemari sampai ketemu kain rajanya atau kain yang belum pernah aku olah. Seperti saat ke Sintang,” ungkapnya.
Begitu juga dengan awalnya membawa kain go international. Dari seseorang yang mengontaknya lewat media sosial pada 2015, Dian pergi ke Florida, Amerika Serikat, mengenalkan tenun di Voice of Indonesian in Florida.
”Enggak kenal aku sama orangnya. Tapi aku yakin aja di hati kalau orang ini baik. Jadi, berangkat aja. Dan malah lanjut ke Den Haag sampai ke negara Eropa lainnya,” ujarnya yang telah memiliki distributor di Florida, Rotterdam, dan London.
Baca Juga: Silvester Alvon Merangkul Seni dari Pinggiran
Ia pun meyakini kain tenun memiliki ikatan yang kuat sehingga bisa saling menemukan. Untuk itu, perlakuannya pun tidak bisa asal. Bahkan, banyak tenun yang dalam prosesnya didoakan terlebih dulu sebelum benangnya diolah menjadi kain. Dian pun menerapkannya dalam memotong kain yang caranya pernah diunggah di media sosialnya.
”Ketika memilih kain, mendesain, sampai memotongnya itu semua juga pakai hati. Desain itu enggak pernah aku mengonsep, ngalir aja. Milih kain juga gitu. Motong juga gitu. Tergantung feeling pagi,” ujarnya yang mengawali pagi dengan yoga dan dilanjut dengan memotong kain sesuai dengan rasa yang mengarahkannya pada kain tertentu.
Ikatan kuat dengan tenun ini diyakininya juga berlaku bagi para pembeli produknya. ”Kalau memang belum jodoh, ada aja itu. Pernah saat kita buka lelang, dia tawar harga paling tinggi. Eh, tiba-tiba dia terputus dan enggak jadi dapat,” kata perempuan yang pernah menjual salah satun tenunnya hingga harga Rp 25 juta.
Untuk masyarakat dan alam
Meski ia berjalan mengembangkan usaha yang dirintisnya hingga melintas dunia, sasaran utamanya sesungguhnya adalah kesejahteraan para penenun. Dian melakukan lokakarya dengan mengarahkan mereka pada yang dicari pasar, yakni tenun yang padat dan rapi dengan serat benang yang halus. Dian juga membantu melalui media sosialnya untuk mempromosikan para penenun ini.
Sering kali, Dian sengaja memasang nama akun para penenun ini agar para pembeli yang tertarik langsung menghubungi yang bersangkutan. Ia pun gencar mengajarkan literasi digital pada para penenun untuk mempermudah promosi dan penjualan. Sejauh ini, ada 500 UKM yang terhubung dengannya.
Enggak pernah direncanakan mencari kain yang apa gitu. Pergi ke mananya juga enggak pernah harus ke mana. Ikuti kata hati aja mau ke mana. Sampai di sana ketemu dengan penenun, entah gimana dibawa ke sana kemari sampai ketemu kain rajanya atau kain yang belum pernah aku olah. Seperti saat ke Sintang.
”Banyak penenun yang tiba mengontak punya kain. Ada yang kami IG Live dari Kutai waktu itu. Dari harga Rp 3 juta, laku Rp 10 juta. Nah, itu diserahkan untuk mereka. Untuk mewujudkan mimpi juga. Ada yang mimpinya ke mal karena belum pernah,” ucapnya sambil tersenyum.
Dorongannya bagi penenun ini juga berkaitan dengan alam, mengingat pewarnaan tenun ini menggunakan warna alam. Di tiap daerah, pewarna alamnya bisa berbeda-beda tergantung bahan alam yang ada di daerah itu. ”Seperti biru Sumba itu beda dengan biru Kalimantan bahannya,” katanya.
Bentuk penghormatan kepada para penenun juga diterapkannya lewat desain bajunya yang minim potong. Dengan demikian, motif tenunan dari penenun ini tetap terpampang.
Terlebih para penenun ini mayoritas adalah perempuan yang kerap menjadi tulang punggung keluarga dan bergerak demi masyarakat.
Atas dasar itu pula, nyaris tiap pergelaran yang diselenggarakannya menyuarakan suara perempuan. ”Ini memang untuk mereka. Karena, bagi saya, mereka ini bukan hanya menenun kain, melainkan juga menenun kehidupan,” tutupnya dengan salam khasnya, salam mbois.
Dia Erra Kumalasari
Lahir: 25 November
Pendidikan: Teknik Kimia, Universitas Diponegoro
Penghargaan: Icon Prestasi Pancasila dari BPIP (2019)
Pameran:
- France & Unesco, Louvre Museum, Paris (2018)
- Indonesia Festival World Culture, Praha, Ceko (2018)
- Art Fashion Oerip Indonesia, New Delhi, India (2019)
- Oerip Goes to Campus, Poznan, Polandia (2019)
- Festival Garuda Candi Prambanan (2020)
- Cristalbay Nusa Penida with Octopus Dive Indonesia (2020)
- Jipae Oerip Indonesia di Opening Ceremony PON Papua (2021)
- Fashion Back to Nature Nusantara Mboisme Trip Bajo (2021)
- Adiwastra Nusantara, Jakarta (2022)
- Indonesia Fashion Week, Jakarta (2022).