”Saya enggak mau nantinya Ronggeng Balik bernasib seperti ondel-ondel. Harus di lampu merah dulu untuk cari duit, misalnya,” ujar Yati Dahlia, penari ronggeng Balik di Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
Tak ingin tinggal nama, Yati Dahlia merelakan diri untuk mengajar tari ronggeng Suku Balik kepada anak-anak di kampungnya. Upaya itu menguat seiring niat pemerintah membangun Ibu Kota Negara Nusantara di tanah kelahirannya: Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Usianya baru 12 tahun saat sang bibi mengenalkan gerakan ronggeng pada 2003. Yati, yang kala itu masih bocah, menemukan semacam ruang bermain baru. Ia bisa menggerakkan tubuh mengikuti alunan musik gambus sambil bernyanyi.
Sang julak, panggilan Yati kepada bibinya, memberi semua pengetahuan mengenai tari ronggeng Balik. Itu merupakan tari tradisional yang dipentaskan oleh perempuan Suku Balik, kelompok yang disebut suku asli di Kecamatan Sepaku dan sekitarnya, termasuk Kota Balikpapan.
Saat itu, sudah banyak ronggeng Balik yang dipentaskan dengan hanya menampilkan tarian dan musik. Oleh julaknya, Yati diberi pemahaman bahwa itu tarian yang sudah dikreasikan. Tak ada yang salah dengan itu. Akan tetapi, sang julak bercerita, sejatinya ronggeng Balik tradisional ditampilkan oleh penari yang juga berdendang dengan bahasa daerah Suku Balik.
Selain berlatih gerakan, Yati juga dikenalkan dengan kisah-kisah mengenai ronggeng Balik. Misalnya, di masa silam, ronggeng digunakan salah satunya untuk ritual penyembuhan bagi orang Balik. Orang yang dituakan di Suku Balik akan memimpin doa dan memberi ramuan obat tradisional.
Sementara, di sudut lain, tujuh perempuan menari ronggeng Balik dengan iringan kendang dan musik gambus. Dahulu, orang Balik percaya rangkaian itu bisa membantu penyembuhan dengan melibatkan roh leluhur.
Berbekal latihan dan pengetahuan itu, Yati kerap tampil dalam pagelaran kesenian di kampungnya. Dalam perjalanannya, Yati menyimpan kekhawatiran karena kebanyakan Suku Balik tak mengenal keseniannya sendiri. Bahkan, penutur bahasa Balik pun semakin sedikit karena tak digunakan dalam keseharian.
”Kalau saya hanya di rumah saja sama Baba pakai bahasa Balik. Kalau di luar, kadang pakai bahasa Paser atau bahasa Jawa orang Kalimantan,” ujar perempuan 31 tahun itu saat ditemui di rumahnya di Desa Bumi Harapan, Kecamatan Sepaku, Minggu (20/3/2022).
Yati berpikir, ronggeng Balik tradisional bisa turut andil merawat bahasa Balik sekaligus keseniannya. Sebab, tari tradisi itu dipentaskan dengan penari yang juga menyanyi dengan bahasa Balik. Itu juga bisa memicu anak-anak belajar musik gambus sebagai pengiring tarian.
Bahkan, dalam pementasan ronggeng Balik, sang penari kerap mengajak penonton untuk menari di pentas. Caranya, selendang yang digunakan penari di kalungkan ke leher penonton kemudian si penonton digiring ke panggung. Tak hanya itu, sang penonton diajak berbalas pantun oleh sang penari.
Ia mencontohkan salah satu pantun yang kerap digunakan penari ronggeng Balik.
Erai babun keduo babunBabun ku ido do atok bias
Erai pantun keduo pantunPantun ku ido maning benales
Artinya, satu bakul ke dua bakul/bakulku ini berisi nasi/satu pantun ke dua pantun/pantunku ini minta dibalasi. Sang penonton yang diajak menari harus membalas pantunnya sampai selesai tarian. Meski sederhana, setidaknya itu bisa memicu penggunaan bahasa Balik.
Akhirnya, pada 2014 ia berinisiatif untuk membentuk sanggar tari bernama Uwat Bolum. Frasa itu bermakna menghidupkan kembali tradisi. Kelompok tari di sanggar itu sudah pentas di berbagai ajang. Mulai dari kegiatan di sekitar Kecamatan Sepaku hingga menjadi delegasi Kabupaten Penajam Paser Utara dalam sebuah kegiatan seni di Provinsi Banten.
Bahkan, Yati dipercaya untuk mengajarkan tari di sekolah. ”Gurunya mendatangi saya, meminta untuk mengajar tari ronggeng Balik di sekolah. Sekarang ada tiga sekolah yang saya ajar,” katanya.
Pemindahan ibu kota
Tempat Yati tinggal hanya berjarak sekitar 2 kilometer ke lokasi yang ditetapkan sebagai titik nol ibu kota negara atau IKN Nusantara. Di satu sisi ada harapan dari keputusan itu. Di sisi lain, Yati khawatir pembangunan yang masif semakin mengurangi ruang gerak masyarakat sepertinya yang masih bergantung dengan hutan.
Ia mencontohkan, saat ini Suku Balik sulit mendapatkan rotan karena hutan mereka sudah berubah menjadi hutan tanaman industri yang bakal dijadikan IKN. Rotan digunakan oleh Suku Balik sebagai bahan untuk lanjong atau kirai, semacam tas rajutan untuk membawa hasil panen.
Selain itu, Suku Balik kerap menggunakan daun sembung untuk berbagai pengobatan, seperti batuk atau perawatan bagi anak kecil ketika demam. Saat ini, berbagai tumbuhan itu harus dicari semakin jauh dari tempat tinggalnya karena alih fungsi hutan, wadah hidup mereka.
”Kami butuh wadah itu karena kita masih cari pengobatan di hutan. Beberapa dedaunan masih kita gunakan,” katanya.
Pemindahan IKN ini membuat Yati semakin teguh untuk mengajarkan tradisi suku Balik. Ia tak ingin kekayaan budaya Suku Balik tergerus oleh megaproyek yang bakal mendatangkan banyak orang dan pembangunan itu. Melalui ronggeng, ia ingin meneruskan nilai-nilai yang ada di dalam suku Balik.
”Arti ronggeng bagi wanita suku kami itu soal menjaga diri. Tidak selebar kita membuka tangan dan selebar kaki kami melangkah ketika menari,” ujar Yati.
Ia berharap, pemerintah mempertimbangkan banyak hal dalam pemindahan IKN ini. Ia khawatir modernisasi yang cepat di kampungnya akan menggerus sejumlah kekayaan tak benda suku Balik yang belum semuanya terdokumentasi.
Mungkin Yati tak menyadari bahwa yang ia lakukan adalah kerja-kerja kebudayaan yang luar biasa. Melalui ronggeng Balik, setidaknya ia turut menjaga kekayaan budaya sukunya. Dari ronggeng, ia melestarikan bahasa Balik, musik gambus, dan nilai-nilai di dalamnya. Termasuk pengetahuan pengobatan tradisional.
Ia menyematkan harapan terhadap pembangunan IKN yang semakin dekat itu. Ia tak ingin gerakan budaya tersingkir oleh kepentingan politik dan ekonomi segelintir orang. Ia tak ingin kesenian lokal bernasib sama seperti di kota-kota lain di Indonesia yang mengerdilkan pelaku seni tradisional.
”Saya enggak mau nantinya ronggeng, misalnya harus di lampu merah dulu untuk cari duit,” harapnya.
Profil singkat
Nama lengkap: Yati Dahlia
Lahir: Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, 8 Mei 1991