Butuh biaya besar untuk pemindahan dan pembangunan ibu kota negara baru. Pemerintah menyiasati dengan rencana memadukan penggunaan APBN, skema KPBU, dan pembangunan oleh swasta.
Oleh
NINA SUSILO, CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Skema pembiayaan pembangunan dan pemindahan ibu kota negara dipertanyakan banyak kalangan. Kapasitas fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara terbatas, sementara pembangunan kantor pemerintahan dengan menggunakan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha juga berisiko.
Mengutip data Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, pakar kebijakan publik Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat, mengungkapkan, biaya pembangunan ibu kota negara (IKN) baru berasal dari tiga sumber. Sumber tersebut, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU), serta pembiayaan dari pihak swasta.
Menurut rencana, APBN akan digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur dasar, Istana Negara, bangunan strategis TNI- Polri, rumah dinas ASN-TNI-Polri, pengadaan lahan, ruang terbuka hijau, dan pangkalan militer. Anggaran yang dialokasikan sebesar Rp 93,5 triliun atau 19,2 persen total biaya pembangunan IKN Nusantara.
Dari APBN, misalnya, mau diambilkan dari mana? Apakah masih memungkinkan untuk terjadinya refocusing atau realokasi APBN kita dalam waktu dua tahun ini? Karena masih banyak kebutuhan esensial mendesak yang harus dilakukan dan didanai sampai menjelang 2024.
Adapun 54,6 persen biaya pembangunan IKN Nusantara sebesar Rp 265,2 triliun didapat dari KPBU. Dana sebesar itu di antaranya akan digunakan membiayai pembangunan gedung eksekutif, legislatif, dan yudikatif; pembangunan infrastruktur utama (selain yang telah tercakup dalam APBN); sarana pendidikan dan sarana kesehatan; museum dan lembaga pemasyarakatan; serta sarana dan prasarana penunjang.
Sedangkan 26,2 persen atau Rp 127,3 triliun sisanya didanai swasta. Dana itu di antaranya digunakan untuk membiayai pembangunan perumahan umum, perguruan tinggi; science technopark; peningkatan bandara, pelabuhan, dan jalan tol; sarana kesehatan; shopping mall; dan MICE (meeting, incentive, convention, dan exhibition).
Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra pesimistis rencana pendanaan bisa terealisasikan. ”Dari APBN, misalnya, mau diambilkan dari mana? Apakah masih memungkinkan untuk terjadinya refocusing atau realokasi APBN kita dalam waktu dua tahun ini? Karena masih banyak kebutuhan esensial mendesak yang harus dilakukan dan didanai sampai menjelang 2024,” katanya dalam zoominari Kebijakan Publik bertajuk ”Jurus-jurus Pembiayaan IKN”, Jumat (25/3/2022).
Azyumardi menuturkan, penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Demikian pula pemilu memerlukan dana yang sangat besar.
Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan menuturkan, realokasi APBN hanya dilakukan tahun ini. Perekonomian pada 2023 diperkirakan akan menghadapi banyak masalah sehingga APBN tidak akan kuat untuk membiayai secara signifikan pembangunan IKN.
Terkait keterlibatan swasta, Anthony mempertanyakan bagaimana meminta investor agar bersedia membiayai IKN ketika Softbank yang sebelumnya masuk Dewan Pengarah pun sudah mengundurkan diri. Kalau pembiayaan yang melibatkan APBN, KPBU, dan swasta tidak dapat berjalan, artinya pembangunan IKN sudah tidak sesuai dengan skema yang diatur.
”Jadi, kalau skema ini kolaps, seharusnya Undang-Undang IKN yang mendasarkan skema ini batal, tidak dapat diteruskan. (Hal ini) Karena Undang-Undang IKN ini berbasis dengan (skema) pendanaan seperti begitu (APBN, KPBU, dan swasta),” ujarnya.
Berkaitan dengan urun dana atau crowd funding, Anthony pun mempertanyakan ketika dana itu tidak masuk dalam APBN. ”Apakah ini hanya sebagai sumbangan? Berapa banyak sumbangan yang bisa ditarik dari masyarakat? Sumbangan ini kalau untuk (hal) yang (bersifat) kemanusiaan, itu bisa berjalan. Tetapi untuk komersial tidak mungkin bisa berjalan, yang ada adalah fund rising,” katanya.
Namun, apabila crowd funding yang dimaksud adalah penggalangan dana atau fund rising, menurut Anthony, maka hal itu melalui skema surat utang negara kalau dilakukan oleh otorita. ”Tetapi kalau tidak dilakukan oleh otorita, maka itu adalah pihak swasta. (Pertanyaannya) Siapa yang percaya lagi kepada pihak swasta untuk mengakumulasi dananya seperti begitu?” katanya.
Terkait struktur pembiayaan IKN yang juga melibatkan swasta atau KPBU, Co-Founder Manusia Merdeka Muhammad Said Didu menuturkan bahwa struktur pembiayaan tersebut terlihat menyerahkan ibu kota negara kepada swasta atau asing dan kemudian pemerintah Indonesia menjadi penyewa jangka panjang gedung serta sarana prasarana di IKN. Penyewaan jangka panjang tentu dapat membebani pemerintahan berikutnya.
Menurut Said Didu, pemerintahan berikutnya akan menghadapi buah simalakama. ”Apabila dihentikan, maka Pemerintah Indonesia akan didenda oleh investor atau negara lain. Apabila diteruskan, negara Indonesia terikat oleh beban utang jangka panjang untuk menyewa gedung-gedung, menyewa sarana prasarana, yang ada di ibu kota negara,” katanya.
Secara terpisah, Juru Bicara Ibu Kota Negara Sidik Pramono menjelaskan, pendanaan untuk persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara serta penyelenggaraan Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara berasal dari APBN atau sumber lain yang sah menurut ketentuan perundang-undangan.
Kendati demikian, sedapat mungkin pemerintah menekan pendanaan yang bersumber dari APBN dan memaksimalkan pendanaan yang sesuai aturan. Sumber-sumber lain yang sah sesuai aturan perundang-undangan, antara lain, berasal dari pemanfaatan barang milik negara dan/atau aset dalam penguasaan; penggunaan skema kerja sama pemerintah dan badan usaha (KPBU); kontribusi swasta/BUMN antara lain berupa pembiayaan dari ekuitas dan obligasi korporasi); serta pendanaan kreatif. Bagian terakhir, pendanaan kreatif atau creative financing ini dicontohkan crowd funding, dana filantropi, ataupun dana corporate social responsibility (CSR).
Hal ini, kata Sidik, sebagai bentuk ajakan kepada masyarakat untuk berpartisipasi ikut membangun IKN. Misalnya, crowd funding atau dana CSR digunakan untuk membangun fasilitas umum atau fasilitas sosial tertentu. Namun, tentu, pembangunan istana tetap akan menggunakan dana APBN.
Diakui, pengaturan rinci mengenai mekanisme creative financing ini, baik model pengumpulannya, pengelolaan, maupun pertanggungjawabannya, masih disiapkan. Apalagi, saat ini struktur institusi Otorita IKN juga belum terbentuk.