Popon Siti Latipah, Pembuka Pintu Kesetaraan
Keterbatasan penglihatan tidak membuat Popon Siti Latipah menyerah pada keadaan. Dia memanfaatkan perkembangan teknologi guna mewujudkan kesetaraan.
Gairah berbagi Popon Siti Latipah (35) belum padam di tengah keterbatasan. Difabel netra ini tetap gemar berbagi ilmu dan menularkan semangat kepada penyandang disabilitas. Popon berharap semua yang dia coba bagikan mampu selalu menyalakan semangat untuk kesetaraan.
Jumat (11/3/2022) sore, semangat itu masih hidup. Antusias, Popon menceritakan kegiatan barunya mempelajari ragam aturan olahraga judo dan sepak bola untuk difabel netra.
Buku panduan dalam bahasa Inggris dari Federasi Internasional Olahraga untuk Difabel Netra dilahap. Sebagai pengurus Perkumpulan Olahraga Tunanetra Indonesia, dia wajib tahu seluk-beluk ragam olahraga yang akan digelar.
”Saya suka sepak bola, terutama tim asal Bandung, Persib. Namun, kalau mau ngadain pertandingan, mau tidak mau harus tahu aturan lapangannya, tidak cuma menyaksikan pertandingannya. Masa panitia tidak paham,” ujar Popon tertawa.
Akan tetapi, bagi Popon, olahraga lebih dari sekadar suka ria, persaingan menjadi yang terbaik, atau alasan kesehatan. Dia mengatakan, olahraga adalah salah satu pintu kesetaraan bagi disabilitas. Dalam olahraga, semua bisa berprestasi untuk diri sendiri, bahkan bangsa, apa pun keadaannya.
”Harapannya, saat terus belajar hal baru, saya bisa terus berbagi banyak pintu-pintu kesetaraan untuk difabel agar bisa terus menikmati hidup apa pun keadaannya. Olahraga bisa menjembatani itu,” katanya.
Baca Juga: Siska Nirmala Bertualang Kampanye Nol Sampah
Butuh motivasi
Punya keterbatasan penglihatan sejak kecil, Popon menyadari pentingnya motivasi untuk tetap menikmati hidup. Namun, dia tahu semua itu bukan perkara mudah bagi difabel. Saat kemampuan penglihatannya menurun drastis, Popon juga sempat terpuruk.
Popon bercerita, hidupnya berubah saat berumur sembilan tahun. Kemampuan mata kiri, sebagai satu-satunya jembatan dia dengan dunia, pupus. Saat itu, mata kirinya terpukul salah satu rekan di sekolah. Setelah itu, dia hanya bisa melihat berkas cahaya dan benda berukuran besar.
”Mata kanan saya sejak umur dua tahun memang sudah tidak bisa melihat,” ujarnya.
Kondisi itu membuat Popon terpuruk dan sempat takut menghadapi orang lain. Dia enggan sekolah. Dunia adalah hal asing yang bakal tidak nyaman bagi dia.
Akan tetapi, dugaan Popon keliru. Tak sekolah selama 2 tahun, beberapa gurunya justru rajin datang ke rumah. Dia mengingatkan Popon untuk tetap sekolah.
”Seingat saya, yang sering ke rumah itu Pak Ahmadi dan Bu Sulastri, guru SD saya. Mereka sering berkunjung ke rumah untuk mengajak sekolah kembali. Akhirnya, saya mau sekolah lagi setelah absen 2 tahun,” ujarnya.
Dukungan dari berbagai pihak membuat langkahnya semakin ringan menerima kenyataan. Bahkan, saat mengalami kebutaan total di tahun 2004, dia tetap bersemangat. Cahaya hidup tetap dia rasakan. Padahal, saat itu, adalah terakhir kalinya Popon bisa melihat cahaya dunia.
”Saya terkena glaukoma dan terpaksa mata kiri diangkat. Sejak saat itu, tidak bisa melihat. Mau bagaimana lagi, itu sudah takdirnya,” ujar Popon sambil tersenyum.
Akan tetapi, Popon sejatinya lebih dari sekadar menerima takdir. Dia mendorong dirinya untuk tetap bisa melakukan beragam aktivitas di tengah keterbatasan. Salah satu penjaga semangatnya adalah mengikuti perkembangan ragam teknologi.
Buku-buku audio (audiobook) menjadi pelipur laranya agar bisa menjalani hobi yang dia jalani sejak dini. Salah satu sumber bacaannya berasal dari Balai Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Sensorik Netra Wyata Guna Bandung.
”Mulai dari buku huruf braille yang saya pinjam di Wyata Guna hingga buku audio biasa saya gunakan agar bisa terus membaca. Salah satu buku favorit adalah Harry Potter. Jangan salah, walaupun tidak melihat, saya tetap ikuti buku-buku yang lagi tren,” ujarnya.
Popon pun mulai mempelajari perkembangan asistensi difabel lewat teknologi digital. Sedari awal, dia menjaga asa bisa setara seperti yang lainnya.
”Jangan hanya karena tidak bisa melihat, kami tidak bisa apa-apa. Karena itu, saat ada teknologi komputer bicara yang bisa membantu pekerjaan tunanetra, saya ikut belajar,” ujarnya.
Hingga lulus SMA di tahun 2007, Popon pun mahir menggunakan komputer bicara. Dia juga terbiasa menggunakan komputer untuk menjalankan tugasnya, terutama untuk mengetik dan berselancar di internet.
Saat duduk di bangku kuliah, sekitar tahun 2013, Popon diajak salah satu dosennya menjadi asisten untuk mengajar komputer kepada difabel netra. Saat itu, ada seorang perempuan yang baru saja mengalami kebutaan dan merasa dunianya telah berakhir.
Popon seketika ingat masa kecilnya dulu. Dia sadar perempuan itu butuh motivasi dan bekal pengetahuan untuk beraktivitas.
”Dia butuh solusi, bukan sekadar hiburan atau kata-kata penyemangat. Sejak saat itu, saya memutuskan menjadi instruktur komputer difabel netra,” ujarnya.
Aktivitas Popon sebagai instruktur komputer pun dijalani hingga saat ini. Dia kerap diundang dalam berbagai kegiatan oleh sejumlah instansi dan lembaga. Namun, pintunya tetap terbuka untuk siapa saja yang ingin belajar.
”Kalau ada program dari Kementerian Sosial, saya sering diundang. Namun, kalau ada teman-teman yang sekadar ingin bertanya, tetap dilayani bahkan tanpa bayaran. Yang penting mereka bisa terbantu,” ujarnya.
Perkembangan teknologi ponsel pintar pun tidak luput dari pantauannya. Sistem operasi Android sampai iOS dia pelajari agar tidak ketinggalan.
”Sayang sekali kalau teknologi ini tidak dimanfaatkan. Apalagi sekarang makin canggih, dan perintah suara dari ponsel pintar sangat membantu saya dalam beraktivitas. Ini juga sering dibagikan kepada teman-teman,” ujarnya.
Agar suara difabel lebih terdengar, ia kini menjadi bagian dari Newsdifabel.com. Media daring itu diasuh para difabel sejak 11 Agustus 2018.
Sebagian besar difabel netra, ada juga difabel rungu dan daksa. Tidak hanya dari Bandung, kontributor juga berasal dari Jawa Tengah serta Jakarta. Latar belakangnya beragam, mulai dari guru, atlet hingga ibu rumah tangga.
Setiap hari mereka berbagi tugas. Reporter dan fotografer turun ke lapangan, merekam dan menulis jadi berita. Sebagian lain mengedit dan mengunggah berita dibantu teknologi masa kini.
Diawali pelatihan dari beberapa jurnalis di Bandung, Popon dan kawan-kawan berlatih teknik dasar jurnalistik. Akurasi dan berimbang dalam menyajikan fakta menjadi porsi utama. Kru redaksi sadar bakal menulis untuk publik, bukan hanya konsumsi pribadi.
Dengan garis merah seputar difabel, mereka mengangkat beragam tema, mulai dari isu hangat dalam hingga luar negeri. Dari pilpres sampai pengalaman difabel dalam kehidupan sehari-hari.
Popon mencontohkan, tulisan tentang difabel netra berdandan. Juga tips aman saat difabel berjalan di trotoar perkotaan yang kerap tak ramah. Ada juga bahasan olahraga, terutama soal Persib Bandung, klub sepak bola asal Bandung yang menjadi favoritnya.
Berbagi sesama
Tidak hanya di ranah teknologi, semangat Popon juga disalurkan untuk berbagi pengetahuan dalam menjalani rutinitas sehari-hari. Sebagai ibu, dia melihat perempuan yang memiliki anak butuh tempat berbagi cerita dan saran agar bisa mengurus anak secara mandiri.
Berawal dari obrolan di grup pesan Whatsapp, Popon dan tiga temannya membentuk Blind Moms sekitar Tahun 2017. Mereka sering berbagi tips dan trik dalam mengurus anak dan kegiatan lainnya, mulai dari mengganti popok, memasak, hingga menggunakan fitur terbaru di dalam ponsel pintar.
“Awalnya kami hanya ngobrol di grup WhatsAppdan tahun 2017 melakukan pertemuan langsung. Setelah itu, terus berkembang dan di grup sekarang sudah lebih dari 200 anggota dari seluruh Indonesia,” ujarnya.
Perkumpulan ini pun mengukuhkan diri menjadi Yayasan Bunda Netra Mandiri di Tahun 2020. Menurut Popon, hal ini dilakukan agar kegiatan Blind Moms bisa didengar publik dan membuktikan kaum ibu difabel netra tetap bisa berdaya dan berkarya.
”Jangan sampai ada yang bilang ibu-ibu difabel netra tidak bisa apa-apa. Kami bisa berdaya dan setara. Semoga dengan adanya organisasi dengan tata kelola yang jelas ini, semakin banyak yang mengakui dan membantu kami untuk memperjuangkan kesetaraan ini,” ujarnya.
Popon yakin kesetaraan dan inklusi tidak bisa berjalan tanpa dukungan dan pengakuan dari lingkungan orang di sekitarnya. Untuk bisa begitu, Popon mengajak difabel lainnya terus berdaya lewat berbagai cara yang disukainya. Semua orang harus sadar dan percaya, setara bukan jargon, tapi langkah awal untuk kehidupan bersama yang lebih baik kelak.
Baca Juga: Sugih Hartini, Nyali Hebat Perempuan Kuat
Popon Siti Latipah
Lahir: Bandung, 22 November 1986
Aktivitas:
- Ketua Yayasan Bunda Netra Mandiri (Blind Moms) (2020-sekarang)
- Wakil Sekretaris Jenderal PORTI Pusat (2019-sekarang)
- Instruktur Komputer (pekerja lepas) (2013-sekarang).