Keterbatasan lahan kerap menjadi kendala untuk mengembangkan usaha pertanian di perkotaan. Namun, Suyut mampu membuktikan bahwa menjadi petani di kota dengan lahan sempit tetap asyik dan menjanjikan.
Oleh
VINA OKTAVIA
·5 menit baca
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Suyut (45) dan berbagai tanaman di kebun di rumahnya di sudut Kota Bandar Lampung
Rumah sederhana Suyut (45) di sudut Kota Bandar Lampung, Lampung, tak pernah sepi dari tamu. Ia menjadikan rumah dan halaman tempat tinggalnya sebagai ruang belajar dan laboratorium pertanian.
Sabtu pagi pada pertengahan Februari 2022, Suyut sibuk menjamu sekelompok mahasiswa yang yang datang ke rumahnya di Kelurahan Rajabasa Jaya, Kecamatan Rajabasa, Kota Bandar Lampung. Para mahasiswa yang sedang melaksanakan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) itu ingin belajar tentang pembuatan media tanam serta mengenal tanaman obat keluarga.
Dengan semangat, Suyut mengajak para mahasiswa itu berkeliling halaman rumah yang ia jadikan sebagai lahan pertanian. Di halaman seluas tak lebih dari 400 meter persegi, itu, terdapat tanaman cincau dan rempah, area untuk pembuatan media tanam dan pupuk organik, hingga kandang sapi dan jaringan biogas.
Selain itu, terdapat pula beberapa pohon buah, antara lain jambu air, jambu jamaika, anggur, kelengkeng serta jeruk bali yang berbuah lebat. Beraneka tanaman hias, seperti anggrek dan monstera juga menghiasi halaman rumah Suyut. Rak buku berisi buku-buku bacaan tentang pertanian dan lainnya tersedia di teras rumah.
Jika dikelola dengan baik, usaha pertanian di lahan sempit ternyata cukup menjanjikan. Penghasilan yang diperoleh tidak kalah dengan petani yang mempunyai lahan hektaran.
Suyut adalah satu dari sedikit petani di Bandar Lampung yang mampu berdaya dari halaman rumah. Untuk hidup sehari-hari, ia bersama istrinya mengolah daun cincau menjadi cincau hijau alami untuk dijual. Suyut juga rajin membuat media tanam dan pupuk organik untuk dijual. Tanaman hias yang sudah jadi juga ia jual melalui media sosial.
Dari usaha pertanian itu, ia bisa mendapat penghasilan minimal Rp 3.000.000 per bulan, lebih tinggi dari upah minimum buruh di Bandar Lampung. Jika ada pesanan khusus untuk membuat cincau atau media tanam, Suyut bisa mendapat penghasilan yang lebih besar.
“Jika dikelola dengan baik, usaha pertanian di lahan sempit ternyata cukup menjanjikan. Penghasilan yang diperoleh tidak kalah dengan petani yang mempunyai lahan hektaran,” kata Suyut.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Suyut (45) dan berbagai tanaman di kebun di rumahnya di sudut Kota Bandar Lampung
Otodidak
Ketertarian Suyut untuk menggeluti dunia pertanian berawal pada 2010. Saat itu, Dinas Pertanian Kota Bandar Lampung memberikan pelatihan pertanian rumahan dan hidroponik bagi warga di Kelurahan Rajabasa Jaya. Pelatihan diberikan karena wilayah itu menjadi salah satu sentra kawasan pertanian di Bandar Lampung yang tetap dipertahankan hingga saat ini.
Pasang surut usaha pertanian di perkotaan juga pernah ia alami. Saat awal memulai usaha, Suyut pernah mencoba budidaya sayuran hidroponik dan jamur tiram. Namun, kala itu, usaha hidroponiknya terkendala pemasaran. Sementara usaha jamur tiram dihentikan karena limbahnya dianggap mengotori lingkungan sekitar.
Dari situ, ayah dua anak itu belajar membuat berbagai media tanam dan pupuk organik secara otodidak. Suyut memanfaatkan kotoran sapi yang dihasilkan dari dua ekor sapi peliharaannya. Selain itu, ia juga memanfaatkan sekam padi dan bahan-bahan lain yang mudah didapat dari sekitar rumahnya untuk membuat pupuk organik.
Pupuk organik pertama kali ia gunakan untuk memupuk berbagai pohon buah di halaman rumahnya. Tak disangka, pohon buah milik Suyut tumbuh dengan baik dan berbuah lebat setelah dipupuk. Media tanam yang Suyut buat juga terbukti bagus untuk menanam aneka bibit pohon dan tanaman hias. Dari situ lah, ia mulai mendapat banyak pesanan pupuk organik padat maupun cair.
Ia memanfaatkan semua limbah yang ditemui di sekitarnya menjadi produk yang bermanfaat. Kotoran sapi dari kandangnya pun juga diolah menjadi biogas. Dengan pengolahan itu, istri Suyut bisa menghemat pengeluaran rumah tangga karena tidak perlu membeli gas elpiji. Kini, Suyut juga mahir membuat eco enzym dari kulit buah jeruk dan buah-buahan lain yang ada di halaman rumahnya.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Suyut (45) dan berbagai tanaman di kebun di rumahnya di sudut Kota Bandar Lampung.
Rumah belajar
Tekad Suyut untuk tetap menjadi petani di perkotaan semakin besar setelah ia mengetahui banyak anak muda yang justru enggan menjadi petani. Saat ini, masih sedikit sarjana lulusan pertanian kenalannya yang benar-benar menjadi petani. Kebanyakan dari mereka justru bekerja sebagai pegawai di perusahaan.
Menyusutnya lahan pertanian di Bandar Lampung juga membuat anak-anak tidak mengenal dunia pertanian. “Anak-anak sekarang tidak banyak yang tahu dari mana asal nasi yang mereka makan setiap hari. Mereka semakin susah melihat sawah karena sudah banyak yang beralih fungsi menjadi perumahan,” katanya.
Rumahnya juga pernah ingin dibeli pengembang perumahan dengan harga miliaran rupiah. Namun, ia memilih mempertahankan tanah yang dia beli belasan tahun silam itu.
Anak-anak sekarang tidak banyak yang tahu dari mana asal nasi yang mereka makan setiap hari. Mereka semakin susah melihat sawah karena sudah banyak yang beralih fungsi menjadi perumahan.
Suyut memilih menjadikan rumah dan halaman rumahnya sebagai tempat belajar pertanian untuk siapa saja. Setiap akhir pekan, anak-anak di sekitar rumahnya sering mampir untuk sekadar membaca buku di rak yang ada di teras rumah Suyut. Mereka juga datang untuk melihat-lihat aneka pohon dan tanaman dan cara pembuatan pupuk.
Kesuksesan menjadi praktisi pertanian di perkotaan itu membuat Suyut mulai dikenal oleh pelajar, mahasiswa, dan dosen dari berbagai perguruan tinggi di Bandar Lampung. Meski tidak pernah menempuh pendidikan formal di bidang pertanian, ia seringkali menjadi mentor bagi mahasiswa yang sedang melaksanakan program Praktek Kerja Lapangan (PKL) dan KKN. Sebagai praktisi pertanian, tak jarang ia juga diundang sebagai pembicara di berbagai kampus.
Di sekitar tempat tinggal Suyut juga semakin banyak rumah tangga yang memanfaatkan pekarangan rumah sebagai lahan pertanian sayur dan buah. Kawasan itu juga telah dicanangkan sebagai destinasi wisata bernama Kampung Agrowidya Wisata Rajabasa Jaya Kota Bandar Lampung.
Sebagai lulusan sarjana manajemen, Suyut juga menularkan cara kerja terorganisasi pada siapa saja yang ingin belajar dengannya. Ia juga mencontohkan arti ketekunan dan kegigihan dalam berusaha.
Kini, halaman rumah itu tidak hanya menjadi penopang hidup bagi Suyut dan keluarganya. Ruang terbuka hijau itu menjadi tempat belajar dan laboratorium pertanian alami bagi siapa saja.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Suyut (45) dan berbagai tanaman di kebun di rumahnya di sudut Kota Bandar Lampung.