Gerry Lucmallendro, Si Tukang Sablon yang Suka Membantu
Gerry Lucmallendro adalah tukang sablon asal Bandung, Jawa Barat. Meskipun kecil, usaha konfeksinya bisa membantu banyak orang.
Tak perlu menunggu sukses besar baru membantu orang lain, lakukanlah selagi ada kesempatan. Itulah moto hidup Gerry Lucmallendro (41) selama ini. Berkat usaha konfeksi kecil miliknya di Bandung, Jawa Barat, Gerry bisa memberi manfaat lebih kepada orang-orang di sekitarnya dengan berbagai cara.
Kiprah Gerry di dunia konfeksi penuh perjuangan. Gerry, bersama rekannya, Muhamad Patah alias Patoel, sebenarnya telah merintis usaha sablon sejak 2012. Ini merupakan usaha sampingan dari pekerjaan mereka sebagai pegawai di sebuah perusahaan telekomunikasi.
Nama usahanya Pager Kaos, singkatan dari nama kedua pendirinya. Gerry awalnya mempekerjakan orang lain untuk menyablon, tetapi tidak cocok. Ia akhirnya belajar sablon secara otodidak lewat Youtube hanya dalam waktu sehari.
Malang tak bisa ditolak, hidup Gerry dan Patoel berubah. Mereka berdua masuk dalam daftar korban PHK massal pada 2016. Pager Kaos, yang terletak di Jalan Sekepanjang 3 No 18B, Cikutra, Bandung, pun menjadi tumpuan hidup utama mereka.
Bisnis sablon yang berkembang membuat Gerry sadar perlu memiliki keterampilan menjahit. Setelah sempat kursus biasa, laki-laki ini beralih belajar dari orang yang sudah ahli menjahit kaus. Setelah bisa, ia sempat mengajak teman-teman di sekitar untuk belajar menjahit secara gratis.
”Saya dulu cita-citanya jadi pensiunan seperti Bapak, jadi bisa santai pas sudah tua. Tapi ternyata perusahaan bangkrut. Ternyata pas keluar, saya sadar kita butuh skill yang riil di luar, makanya saya pikir belajar menjahit dan pengen buka kursus. Apalagi banyak lowongan penjahit, tapi orang yang pengen belajar sedikit sekarang,” kata Gerry, dalam wawancara virtual dari Bandung, Rabu (26/1/2022).
Namun, memberi kursus menjahit gratis ternyata tidak efektif. Para anak muda ini ogah-ogahan belajar. Gerry akhirnya membuat kursus berbayar. Pesertanya ada yang berasal dari luar Jawa Barat, seperti Jawa Timur, Papua, hingga Malaysia.
Pager Kaos kini memiliki tujuh karyawan yang kebanyakan lulusan SMP. Dalam merekrut karyawan, Gerry pernah mengajak anak-anak karang taruna setempat walau tak bertahan lama. Dalam lowongan pekerjaan Pager Kaos, Gerry malah pernah menulis ”lebih diutamakan yang tidak berpengalaman”. Tidak masalah jika ia harus mengajar dari nol.
Di masa pandemi, banyak orang harus kehilangan pekerjaan. Lewat referensi salah satu rekan, Gerry berkenalan dengan Yoga, seorang musisi laki-laki yang berumur, dan Tari, perempuan penyandang tunarungu, pada Desember 2021. Keduanya sedang mencari pekerjaan, tetapi Gerry sedang tidak mempunyai lowongan.
Gerry pun menawarkan agar mereka belajar menjahit dan menyablon atau menjadi pengecer produk Devor Moslem Wear, jenama milik Gerry yang telah berdiri sejak 2017. Yoga saat ini masih bergelut belajar menjahit lantaran matanya sudah tak lagi awas. Sebagai gantinya, ia juga belajar menjadi reseller Devor.
Gerry tak mau menyerah. Apalagi si musisi adalah mantan pemakai narkoba dan tengah berjuang lepas dari obat tidur. ”Saya harus mendampingi karena dia secara ekonomi harus benar dulu, atau meskipun enggak ada pendapatan, minimal dia ada kegiatan,” ujarnya singkat.
Sementara itu, Gerry cukup senang dengan progres pembelajaran Tari yang pernah bekerja di perusahaan pabrik sepatu itu. Janda satu anak ini sudah bisa menjahit setelah belajar hanya dalam waktu sepekan. Mesin obras yang sulit digunakan pun sudah bisa ia gunakan.
Gerry mengajar cara menjahit kepada Tari awalnya lewat tulisan atau ketikan, baru beralih ke bahasa isyarat sederhana. Dari Tari, ia mendapati, orang tuli ternyata banyak yang menganggur karena kesempatan kerja yang terbatas. Alhasil, mereka harus punya keterampilan untuk berbisnis sendiri. Gerry kini ingin membuat tempat kursus menjahit untuk teman tuli lainnya.
Sibuk berkomunitas
Selain berbisnis dan mengajar, Gerry ternyata sibuk berkomunitas. Gerry, bersama Dedy Junaedy alias Mitun, membuat komunitas Indonesian Screenprinters sejak 2016. Komunitas ini merupakanplatform bagi para tukang sablon untuk berjejaring sekaligus melakukan kegiatan sosial. Saat ini, jumlah anggota di grup di Facebook telah mencapai 11.000 akun.
Indonesian Screenprinters telah menyelenggarakan sejumlah kegiatan edukatif, seperti memberi kuliah umum tentang kewirausahaan di sebuah kampus di Bandung. Mereka juga pernah mengajarkan cara menyablon di sebuah pesantren di daerah Subang. Santri yang tertarik bisa magang untuk memperdalam keahlian.
”Sebelumnya ada info katanya anak yang lulusan pesantren dibalikin ke pesantren sama orangtua karena enggak ada kerjaan. Mereka balik mengajar lagi, jadi perekonomian enggak jalan. Lewat kegiatan ini, kami bantu supaya mereka ada skill, bisa mengajar orang lain, dan ada penghasilan,” kata Gerry.
Komunitas para tukang sablon itu juga berinisiatif menggalang dana untuk berbagai kegiatan kemanusiaan. Contohnya ketika terjadi bencana di Donggala, Sulawesi Tengah, pada 2018, mereka menjual kaus dan melelang alat pembuat sablon. Dana terkumpul Rp 13,8 juta disumbangkan ke sana.
Indonesian Screenprinters pun pernah membuat Festival Sablon Bandung pada 2019. Festival ini memamerkan karya para tukang sablon sekaligus mengadakan kelas tentang teknik menyablon, manajemen bisnis, pemasaran, dan keuangan.
Untuk membantu anggotanya, komunitas ini membentuk koperasi pada 2021 yang bertujuan menjadi wadah bagi usaha teman-teman yang belum berbadan hukum. Koperasi ini sekarang beranggotakan 21 orang.
Baca juga: Tony Richard Samosir dan Petrus Hariyanto, Pejuang Hak Pasien Cuci Darah
Gerry menjelaskan, komunitas tukang sablon adalah komunitas para wirausaha yang unik. Meskipun mode bisnis dan target pelanggannya sama, mereka bahu-membahu membantu usaha satu sama lain. Apabila seseorang mendapat proyek besar, misalnya, orang itu bisa mengajak pelaku usaha lain untuk berkolaborasi agar target terpenuhi.
”Apalagi kami juga membuka rahasia dapur sendiri, triknya ini itu. Kami enggak peduli karena pikirnya rezeki ada yang ngatur. Jadi kami saingan, tapi solid. Kalau pada pintar, kan, bersaingnya enak. Jadi, semoga industri sablon Indonesia lebih baik lagi,” ujar Gerry.
Konsep saling membantu itu turut Gerry lakukan di luar komunitas tukang sablon. Tanpa segan, dia berbagi ilmu dan keahlian kepada yang membutuhkan. Ada kepuasan tersendiri bagi Gerry jika wawasannya bisa membantu menghidupi orang lain.
Gerry Lucmallendro
Lahir: Bandung, 27 November 1980
Keluarga: Dewi Anggraeni (istri) dan Zalfa (anak) serta Gaza (anak)
Pendidikan terakhir: S-1 Prodi Teknik Elektro, Institut Teknologi Nasional Bandung (1998-2003)
Pengalaman:
- Ketua Komunitas Indonesian Screenprinters (2016-sekarang)
- Narasumber seminar ”Survive in Business”, Komunitas Sablon Mojokerto, 2019
- Narasumber seminar Purwakarta Sablon Community, 2019