Jhon Fawer Siahaan Menjaga Penelitian Sejarah Sumatera
Penelitian mahasiswa sejarah bertema lokal Sumatera sering ditolak karena minim literatur. Jhon Fawer Siahaan hampir mengalaminya. Ia pun mengumpulkan buku Sumatera yang jadi buku rujukan penelitian ratusan mahasiswa.
Oleh
NIKSON SINAGA
·6 menit baca
Penelitian mahasiswa sejarah bertema lokal Sumatera, khususnya Batak, sering ditolak karena minimnya ketersediaan literatur. Jhon Fawer Siahaan (34) hampir mengalami hal itu di kampusnya, Universitas Negeri Medan. Ia lalu mengumpulkan buku-buku Sumatera dan mendirikan kafe sederhana. Lebih dari 300 mahasiswa telah menyelesaikan skripsi hingga disertasi dari buku koleksi Jhon.
Buku-buku berserakan di meja-meja Literacy Coffee di Jalan Jati II, Medan, Sumatera Utara, Kamis (16/12/2021). Di kafe sederhana itu, ratusan buku yang sebagian besar adalah buku sejarah bertema Sumatera dan Batak disusun di rak-rak kayu. Beberapa pengunjung yang tampak akrab dengan Jhon sibuk mencari buku-buku untuk dibaca.
Jhon yang menggunakan kaus merah dengan simbol bendera Sisingamangaraja XII pun sibuk menyeduh kopi arabika Lintong untuk pengunjung. Selesai menyeduh, ia membersihkan buku koleksinya dari debu. Sebagian yang sudah tua harus dibungkus dengan plastik untuk menghindari serangan rayap. ”Ini buku-buku sejarah bertema Sumatera yang sangat penting dan sudah sangat langka,” kata Jhon.
Jhon kini mengoleksi lebih dari 500 judul buku yang sebagian merupakan buku Sumatera dan Batak yang sudah langka. Jhon sudah hampir 10 tahun mengumpulkan buku sejak lulus kuliah tahun 2012. Sudah lebih dari 300 mahasiswa menyelesaikan penelitian skripsi, 10 tesis, dan dua disertasi yang diselesaikan dengan sumber literasi dari koleksi buku Jhon.
Jhon mulai mengoleksi buku karena kesulitan mengerjakan skripsinya di Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Medan. Ketika itu, ia mengerjakan skripsi berjudul ”Sejarah Opera Batak”. ”Dosen pembimbing saya mengapresiasi niat meneliti tema lokal. Namun, ia meminta untuk mempertimbangkan tema lain karena sumber literatur untuk penelitian itu sangat terbatas,” kata Jhon.
Benar saja, Jhon kesulitan mencari buku-buku tentang Opera Batak. Ia pergi ke Perpustakaan Unimed, Perpustakaan Daerah Sumut, dan toko buku bekas di Lapangan Merdeka Medan. Namun, ia tidak menemukan satu buku pun yang mengulas Opera Batak secara memadai. Jhon pun mencari melalui media sosial dan lapak daring selama berbulan-bulan. ”Saya akhirnya menemukan bukunya dan penelitian saya bisa berjalan,” kata Jhon.
Ada beberapa literatur utama penelitian Jhon, seperti buku biografi berjudul Tilhang Oberlin Gultom, Hasil Karya dan Pengabdiannya (1981) yang diterbitkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ada juga buku Opera Batak Tilhang Serindo, Pengikat Budaya Masyarakat Batak Toba di Jakarta (2002) oleh Krismus Purba.
Kesulitan meneliti tema Sumatera rupanya banyak dialami mahasiswa. Sebagian besar akhirnya beralih ke tema sejarah yang lebih umum dan mudah didapat sumber bacaannya. ”Bahkan, Profesor Ibrahim Gultom, dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Unimed, pernah bercerita harus pergi ke Malaysia untuk mendapat buku Sejarah Batak yang ditulis Batara Sangti,” kata Jhon.
Padahal, buku terbitan Balige pada 1977 itu sebenarnya ada di Literacy Coffee. Buku itu termasuk yang pertama mengulas sejarah Batak yang ditulis secara ilmiah. Koleksi itu kini menjadi salah satu buku penting di Literacy Coffee dan hampir selalu menjadi literatur wajib dalam penelitian sejarah bertema Batak. Menurut Jhon, buku itu juga menandakan bahwa Sumut pernah maju dalam dunia penerbitan, bahkan sampai ke Balige, Kabupaten Toba.
Jhon juga mengoleksi buku Tuanku Rao (1964) yang ditulis Mangaradja Onggang Parlindungan. Ia menyimpan terbitan asli sebelum buku itu sempat ditarik dari peredaran. Selain itu, Jhon menyimpan buku berjudul Bataksch Leesboek, Tobasch, Mandailingsch, en Dairisch (1862) terbitan Amsterdam yang ditulis HN Van Der Tuuk. Buku itu termasuk buku pertama yang semua isinya dicetak dalam Aksara Batak, kecuali sampul.
”Kalau ini Alkitab Perjanjian Lama yang pertama sekali diterjemahkan ke Bahasa Batak oleh P Johannsen pada 1929,” kata Jhon menunjukkan koleksinya. Ada juga buku yang masih ditulis tangan dengan aksara Batak sebelum digandakan.
Jhon juga punya beberapa judul buku terbaru,seperti yang ditulis Bisuk Siahaan berjudul Batak, Warisan Leluhur yang Terancam Punah (2015). Ia juga menunjukkan berbagai buku dari tahun 1950-an sampai 1960-an untuk membuktikan bahwa Sumut pernah sangat maju dalam dunia penerbitan buku.
”Tidak hanya di Medan, penerbit pernah menjamur sampai ke Kota Pematangsiantar, Balige, Tarutung, Padangsidempuan, hingga ke daerah yang saat ini sangat terpencil, yakni Sitahuis di Tapanuli Utara,” kata Jhon.
Awal mula Jhon mengoleksi buku tidaklah mudah. Ia mencari berbagai judul buku terutama di lapak daring, media sosial, dan kolektor buku. Selain itu, ia juga mencari di toko buku bekas di Lapangan Merdeka, Medan. Untuk menutupi biaya, ia juga berjualan buku di media sosial dan menggunakan keuntungan dari Literacy Coffee.
Bagi Jhon, untuk mendapat buku-buku berkualitas harus rela membayar mahal. Perpustakaan yang hanya mengandalkan buku sumbangan tidak akan bisa punya koleksi buku bagus.
Buku-buku itu awalnya hanya disimpan di kos-kosannya di dekat kampus Unimed. Sering sekali ia didatangi mahasiswa untuk mencari literatur untuk penelitian. Jhon lalu mengadakan pameran buku Sumatera pada 2017 di Perpusatakaan Daerah Sumut pada Hari Buku Nasional 17 Mei.
Melihat banyaknya kebutuhan buku bertema Sumatera, Jhon pun memutuskan untuk menyewa sebuah rumah di Jalan Jati II dekat Stadion Teladan Medan pada 2017. Ia sekaligus membuat kafe sederhana. ”Saya ingin membuat tempat membaca buku sejarah yang sekaligus jadi tempat nongkrong anak muda,” kata Jhon.
Dengan banyaknya aktivitas Jhon di dunia literasi dan gerakan masyarakat, banyak juga komunitas dan organisasi yang membuat kegiatan di Literacy Coffee. Di sana, misalnya, diadakan kelas belajar bahasa isyarat. Ada juga diskusi-diskusi dari berbagai organisasi. Kegiatan-kegiatan itu sekaligus menghidupkan kafe tersebut.
Meski demikian, Jhon sempat kesulitan untuk menutupi biaya operasional yang tidak cukup dari biaya peminjaman buku dan kafe. Ia meminjamkan buku dengan tarif Rp 1.000 per hari selama 30 hari pertama dan Rp 2.000 per hari untuk selanjutnya.
Namun, banyak mahasiswa yang tidak sanggup membayar atau hanya bisa membayar sebagian. ”Saya juga sempat menggalang dana publik untuk menutupi uang sewa rumah,” kata Jhon.
Wella Peranginangin (30) adalah teman Jhon sekaligus pengunjung Literacy Coffee. Kamis malam, ia datang dan membaca buku Art Et Culture/Seni Budaya Batak (1985) yang ditulis Jamaludin S Hasibuan. Ia mencari inspirasi dari buku yang mendeskripsikan benda seni budaya Batak. Buku yang dilengkapi gambar sebagai bahan untuk desain kaus bertema seni budaya Sumut.
”Saya sudah mencetak beberapa kaus dengan gambar seperti sahan (tempat penyimpanan dari tanduk kerbau), hariara (pohon endemik Toba), dan saat ini sedang mencetak gambar topeng dari kepala burung enggang yang dulu digunakan dalam tarian Karo,” kata Wella.
Wella menyebut, ia sangat sering datang ke Literacy Coffee untuk menambah wawasannya tentang sejarah Batak. Ia pun ingin berbagi pengetahuan lewat desain kaus. Ia mencontohkan sahan yang sangat jarang diketahui orang Batak. Benda itu terbuat dari tanduk kerbau dengan penutup kayu berukir kepala singa. Menurut Wella, banyak buku koleksi Jhon yang sangat sulit ia temukan di tempat lain.
Di Literacy Coffee, buku-buku sejarah Sumatera masih berserakan di atas meja. Jhon pun sibuk berbincang dengan pengunjungnya, berbicara tentang beberapa judul buku sejarah. Para pengunjung dibawa untuk membaca Sumatera dari Literacy Coffee….