Febri Irwansyah Menjaga Identitas Sumatera Selatan
Berawal dari keresahan pada kurangnya literatur tentang budaya dan sejarah di Sumatera Selatan, Febri Irwansyah (54) terdorong untuk mencatatkan itu dalam beragam buku dan karya seni.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
Berawal dari keresahan soal literatur tentang budaya dan sejarah di Sumatera Selatan yang minim, Febri Irwansyah (54) menulis buku dan karya seni. Dengan caranya, dia setia menjaga identitas Sumsel agar tak lenyap tergilas zaman.
Ketertarikan Febri pada budaya dimulai ketika menggeluti dunia teater pada tahun 1983. Saat itu, dia menghimpun sejumlah seniman membentuk wadah seni Teater Kembara yang kini bernama Teater Gaung. Selain menjadi inisiator, Febri merangkap sebagai aktor dan sutradara sejumlah pementasan drama teater. Melalui teater ini, Febri menggaungkan beragam karya seni khas Sumsel.
Kegemarannya pada dunia seni sudah tertanam sejak muda. Ilmu berkesenian dia dapat dari hasil berdiskusi dengan sesama seniman dan bertualang ke sejumlah literatur. Febri bereksperimen dengan mengompilasi cerita sejarah dengan sentuhan dramatika yang disusun dalam karya bernama sketsa.
Kisah dari beragam pahlawan nasional asal Sumatera Selatan diceritakan sebagai bahan utama sketsa. Kebanyakan sketsa dibuat dari kisah para pejuang mengusir penjajah Belanda dalam peperangan lima hari lima malam di Palembang.
Mulai dari kisah Kapten A Rivai, Bambang Utoyo, hingga Adnan Kapau Gani. Sketsa tentang perjuangan para pahlawan itu terus digaungkan supaya masyarakat memahami bahwa untuk mendapatkan kemerdekaan dibutuhkan pengorbanan besar.
”Dengan begitu, saya berharap mereka bisa lebih menghargai sejarahnya,” ucap Febri pada Senin (3/5/2021).
Tak puas dengan pementasan teater dan pembacaan sketsa, Febri merambah ke musik tradisional. Dia membentuk orkes Rejung Pesirah yang kerap memainkan musik etnik dan seni sastra tutur, salah satunya irama Batanghari Sembilan. Sebuah irama musik etnik yang tercipta dari perpaduan alat musik khas Sumatera Selatan, antara lain gambus dan genggong. Irama ini berasal dari berbagai daerah yang berdiri di sepanjang aliran Sungai Musi.
Selain itu, Febri bersama seniman lainnya memainkan sastra tutur dari berbagai daerah di Sumsel. Menurut dia, kekayaan sastra tutur di Sumatera Selatan sangat beragam. Bahkan, setiap daerah memiliki keunikan.
Beberapa sastra tutur yang masih ada adalah Guritan dan Tadut, yakni sastra tutur dari suku Basemah, Jajuluk dari suku Komering, Senjang yang lahir dari masyarakat Musi Banyuasin, dan Incang-Incang dari Ogan Komering Ilir. Keberadaan sastra tutur tersebut terancam punah jika tidak dikenalkan kepada masyarakat, terutama generasi muda. ”Karena itu, perlu ada upaya untuk pendokumentasian agar karya seni ini dapat terus dilestarikan,” ucapnya.
Selama ini, Febri juga gencar mengkaji kekayaan sejarah yang ada di Sumatera Selatan. Dia beranggapan, sebagai kota tertua di Indonesia, Palembang pasti memiliki kekayaan sejarah dan budaya yang begitu berlimpah. Sebagai contoh, filosofi Ulu Melayu yang menggambarkan asal-usul Kerajaan Melayu yang lahir dari sebuah kawasan bernama Bukit Siguntang di Palembang.
Selain itu, di balik kejayaan Kedatuan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim besar di masanya hingga masa Kesultanan Palembang Darussalam, pasti ada makna dan nilai sejarah yang bisa dipelajari. ”Kekayaan sejarah inilah yang harus menjadi kebanggaan masyarakat Sumsel,” ujarnya.
Sayangnya, kekayaan sejarah itu tidak banyak tertuang dalam literatur. Hal ini berdampak pada sulitnya generasi muda untuk mengembangkan kekayaan tersebut. Jika ini dibiarkan, Febri khawatir budaya dan sejarah yang menjadi identitas Sumatera Selatan akan tergerus budaya lain.
Dari keresahan itu, Febri menulis beragam buku bernuansa sejarah dan budaya. Sejak tahun 2007 hingga kini, setidaknya sudah 14 buku yang ia buat, baik secara individu maupun hasil kolaborasi bersama sejarawan dan budayawan lainnya.
Buku itu tercipta dari hasil riset dan juga wawancara dari beragam saksi hidup. Beberapa buku yang ia tulis itu bertema antara lain Dul Muluk, gelar-gelar adat kebangsawanan Palembang, dan sastra tutur.
Publikasi mengenai sejarah dan budaya kerap Febri tuangkan di sejumlah kolom di media massa. Febri yang menggunakan nama pena Vebri Al Litani sering memaparkan buah pemikiran tentang kebudayaan dan sejarah.
Pengalaman inilah yang membuat Febri terus berkarya untuk memperkuat identitas Palembang dan Sumsel. Dengan dedikasinya ini, Febri pernah menjabat Ketua Dewan Kesenian Palembang pada periode 2014-2019. Terakhir, dia mendapatkan penghargaan dari Pandu Tani Indonesia sebagai Tokoh Penggali Sejarah dan Budaya Sumsel pada 2021.
Febri juga terlibat dalam tim kajian berbagai budaya Sumatera Selatan untuk menjadi warisan budaya. Sebut saja menjadi salah satu anggota tim pengusulan Warisan Budaya Tak Benda untuk pempek, Dul Muluk, dan Tanjak. Bahkan, untuk pempek, kini sedang diupayakan untuk dijadikan warisan budaya tak benda dunia.
Menurut dia, pempek pantas mendapatkan predikat itu karena pempek merupakan hasil karya warga Sumatera Selatan dan telah ada sejak zaman Kedatuan Sriwijaya. Bahkan, namanya sudah dikenal seantero Nusantara. ”Semua saya lakukan agar kebudayaan Sumatera Selatan tetap lestari dan dikenal,” ucapnya.
Bagi Febri, memperkuat identitas sebuah bangsa menjadi hal yang penting. Jangan sampai identitas tersebut hanya dijadikan slogan semata, melainkan harus menjadi konsep pembangunan dalam menata kehidupan bermasyarakat ke depan. ”Kita harus membangun masa depan dengan lebih dulu mempelajari sejarah dan budaya,” ucapnya.
Febri berkomitmen tidak berhenti berjuang mempertahankan identitas Sumsel. ”Selama masih bisa berkarya, saya akan tetap menggaungkan budaya dan sejarah Sumatera Selatan,” tegas Febri. Menurut dia, masih banyak sejarah dan budaya di Sumatera Selatan yang bisa dikembangkan dan digali lagi.
Seiring berjalannya waktu, kesadaran masyarakat terhadap sejarah dan budaya Sumatera Selatan kian bertumbuh. Hal ini terlihat dari keterlibatan mahasiswa dalam memperkenalkan sejarah dan budaya Sumsel melalui penulisan karya ilmiah. Tak jarang, Febri menjadi narasumber untuk memperkuat karya ilmiah mereka. Baginya, berbagi ilmu dengan generasi muda merupakan upaya meneruskan tongkat estafet penguatan identitas Sumatera Selatan.
Febri Irwansyah
Lahir : Pagar Alam, 14 Februari 1967
Pendidikan :
- SD Negeri No 10, Desa Simpangperigi, Kabupaten Empat Lawang (1979)
- SMP Negeri V Bengkulu (1982)
- SMA Negeri 3 Palembang (1985)
- Fakultas Hukum Universitas IBA Palembang (2003)
Karya buku :
- Antologi Puisi bersama tujuh penyair di Sumatera Selatan, Semangkuk Embun (2005)