Robby Sunata, Menebar Benih Cinta Sejarah Palembang
Kehancuran Pasar Cinde di Palembang menjadi pelecut Robby Sunata (42) untuk menebarkan benih cinta sejarah di hati setiap kaum muda. Jika ini tidak dilakukan, ia khawatir peninggalan sejarah satu per satu musnah.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
Kehancuran Pasar Cinde di Palembang, Sumatera Selatan, menjadi pelecut Robby Sunata (42) untuk menebar benih cinta sejarah di hati setiap kaum muda. Pengenalan situs sejarah ini ia kemas sedemikian rupa agar menarik minat mereka. Ia yakin ketika rasa cinta terhadap sejarah tumbuh dan bersemi, keinginan untuk melestarikan sejarah akan terus terpatri.
Di teras Rumah Kapitan Palembang, Minggu, (28/2/2021), sekitar 30 orang penikmat sejarah berkumpul. Sebagian besar dari mereka adalah kaum muda baik pelajar maupun mahasiswa. Dengan seksama mereka mendengarkan petuah dari Tjik Harun, seorang tokoh keturunan Tionghoa yang bercerita tentang asal mula kedatangan bangsa China di Palembang.
Obrolan kala itu kian mengasyikkan karena berlangsung di Rumah Kapitan yang bentuk bangunan serta pernak-perniknya kental dengan nuansa budaya Tionghoa. Seakan mereka diantar ke masa lalu ketika Kapitan masih tinggal di situ.
Ketika diskusi usai, para peserta langsung mengunjungi rumah kapitan dan rumah abu yang ada di sebelahnya. Pengalaman bersejarah ini memberikan ilmu baru bagi mereka. Bahkan, beberapa di antara pengunjung melanjutkan diskusi untuk menggali informasi.
Adalah Robby Sunata (42), seorang penelusur sejarah sekaligus pendiri komunitas Sahabat Cagar Budaya (SCB) Palembang, yang merancang aktivitas kreatif ini. Pengenalan sejarah dengan mendatangi langsung tempat bersejarahnya sudah Robby gelar sejak 2017.
Aktivitas yang diberi nama heritage walk ini bermula dari keprihatinannya melihat bangunan berstatus cagar budaya pertama di Palembang, yakni Pasar Cinde, dihancurkan untuk dijadikan pasar modern. Dari sana, Robby menyadari status cagar budaya nyatanya tidak mampu melindungi bangunan bersejarah itu.
Perlindungan paling utama sebenarnya datang dari warga yang memiliki hasrat kuat untuk melestarikan situs sejarah di daerahnya. Dari tragedi Pasar Cinde itulah muncul orang-orang yang peduli pada sejarah. Hanya saja, mereka tidak punya wadah.
”Dari sanalah saya dan beberapa rekan lain memutuskan mendirikan komunitas SCB,” ungkap ayah tiga anak ini.
SCB adalah jembatan yang menghubungkan anak muda yang sebagian besar mahasiswa dan pelajar dengan para ahli di bidang sejarah, akademisi, budayawan, dan arkeolog. Komunitas ini lantas menggelar beragam kegiatan diskusi ringan mengenai sejarah di sejumlah tempat yang tidak membosankan, mulai kedai kopi, balai, hingga mengarah ke sejumlah situs bersejarah.
Gedung Jacobson van Den Berg yang berada di kawasan Sekanak, Palembang, merupakan tempat bersejarah pertama yang dikunjungi. Antusiasme warga saat itu sangat tinggi. Bahkan, ada orangtua yang juga membawa serta anak-anaknya untuk ikut bertualang.
Pada masa kolonial Belanda, gedung itu digunakan sebagai kantor pergudangan komoditas ekspor-impor. Penikmat sejarah berjalan dengan didampingi oleh seorang sejarawan atau budayawan yang terus mengisahkan narasi tentang gedung tua itu. Cara ini seakan mengantarkan para kaum muda kembali ke masa lampau, masa di mana bangunan itu pernah berjaya.
Robby juga pernah mengajak puluhan milenial berkunjung ke situs Talang Tuwo. Mereka didampingi oleh Kepala Balai Arkeologi Sumatera Selatan Budi Wiyana.
Dari perjalanan yang mengasyikkan itu, mereka jadi tahu bahwa pada tahun 684 masehi Talang Tuwo adalah Taman Sriksetra yang dibangun oleh pendiri Kedatuan Sriwijaya, yakni Dapunta Hyang Sri Jayanasa, untuk kemakmuran rakyatnya. Walau situasinya kini sudah berganti rupa menjadi kebun sawit, setidaknya kaum muda tahu bahwa dulunya lokasi itu adalah kawasan nan asri dengan beragam tanaman rindang di dalamnya.
Ketika kita berdiskusi langsung di tempat bersejarah, kisah di balik tempat itu akan terekam kuat dalam ingatan.
”Ketika kita berdiskusi langsung di tempat bersejarah, kisah di balik tempat itu akan terekam kuat dalam ingatan,” ujar Robby.
Dengan beragam pengalaman tersebut, Robby berharap kecintaan generasi muda pada sejarah Kota Palembang tidak pernah lekang. ”Kalau dari antara mereka ada yang menjadi pejabat publik, saya harap keputusan yang mereka ambil tetap bermuara pada pelestarian sejarah,” kata Robby.
Kota tertua
Menyandang status sebagai kota tertua di Indonesia, Palembang memiliki banyak kekayaan sejarah dengan beragam bangunan tua disertai narasi menarik di dalamnya. ”Memang banyak kota tua di Indonesia, tetapi hanya Palembang yang sejak zaman Kedatuan Sriwijaya hingga kini tetap berdiri dan tidak mati,” ucapnya.
Namun, kekayaan itu kian terkikis akibat keserakahan atau kelalaian segelintir orang. Misalnya, keberadaan Kedatuan Sriwijaya yang sampai saat ini tidak diketahui di mana letak keratonnya akibat jejak sejarah yang hilang.
Bangunan khas Palembang, yakni Rumah Limas, bahkan perlahan lenyap karena bagian bangunannya dipereteli satu per satu untuk kemudian dijual oleh pemiliknya. Jika saja mereka memiliki pengetahuan tentang sejarah, rumah limas tersebut tidak akan dijual, tetapi dikelola agar dapat mendatangkan kesejahteraan bagi pemiliknya. Salah satunya dengan menjadikannya sebagai obyek wisata.
Belajar dari negara-negara di Timur Tengah dan kawasan Mediterania di mana masyarakatnya tetap menjaga kelestarian sejarah maka situs bersejarah tidak dihancurkan melainkan terus dikaji dan diteliti. Alhasil, banyak kajian ilmiah atau tulisan-tulisan yang memperkaya ilmu pengetahuan.
Bahkan, jika dibandingkan daerah lain yang juga memiliki situs sejarah, terutama di Pulau Jawa, Robby berpendapat kesadaran masyarakat Palembang untuk menjaga kekayaan sejarahnya belum begitu besar.
Hal ini akan sangat merugikan. Pasalnya, melalui sejarah, lanjut Robby, orang bisa mengenali bagaimana identitas dan budaya masyarakat di suatu daerah. Lewat penelusuran sejarah, misalnya, orang akan tahu bahwa Kota Palembang sejak Zaman Kedatuan Sriwijaya sudah terbuka pada kedatangan bangsa lain. Keterbukaan ini tergambar dari sikap hidup orang Palembang yang telah menghargai keberagaman.
Karena itu, kegiatan pengenalan terhadap kekayaan sejarah seperti ini jangan sampai berhenti. Adalah tugas generasi muda untuk melindungi sejarah daerah mereka sendiri.
Ke depan, Robby berkomitmen untuk terus merangkul kaum milenial dengan terus menggelar kegiatan seperti ini. ”Kalaupun nanti saya harus berhenti, saya yakin para kaum muda akan memegang tongkat estafet ini,” ucap Robby.
Bagi Robby, ada sukacita besar ketika di setiap aktivitas pengenalan sejarah, banyak kaum muda yang datang menghadiri. Diskusi dan jalan-jalan bersejarah secara langsung adalah cara terbaik untuk menanamkan kecintaan pada sejarah.
Karena menurut Robby, sejarah itu bagaikan KTP yang memiliki fungsi sebagai gambaran identitas. Ketika rasa cinta pada sejarah itu hilang, lenyaplah sudah identitas daerah tersebut.
Robby Sunata
Lahir: Palembang, 30 Agustus 1979
Istri: Laksmi Purnama Sari
Pendidikan:
SD Yaktapena 11 Palembang
SMP YKPP 1 Palembang
SMA YKPP 1 Palembang
Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat