Lastri Mulyani (36), warga Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mencoba menepis stigma warga lanjut usia tidak produktif. Perempuan yatim piatu tersebut mengajak lansia senam, menanam, hingga mengolah sampah.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
Warga lanjut usia kerap dianggap tidak produktif dan menjadi beban keluarga. Namun, Lastri Mulyani (36), warga Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, mencoba menepis stigma itu. Perempuan yatim piatu tersebut mengajak warga lansia senam, menanam, hingga mengolah sampah.
Lahan seluas 15 meter x 4 meter di samping rumah Lastri di Desa Tegalurung, Kecamatan Balongan, menjadi ruang berkumpul warga lansia. Di sana, para warga senior itu senam, naik sepeda statis, menikmati terapi ikan, juga berenang di kolam seluas 3 meter x 2,5 meter.
”Kolamnya sudah dipakai anak-anak. Kalau untuk lansia, masih dipersiapkan. Soalnya, habis renang, kita ingin siapkan wedang jahe dan lainnya,” kata Lastri diiringi senyum, Sabtu (6/11/2021).
Lastri tak pusing mencari jahe. Tanaman obat itu berjejer di kebun gizi, tak jauh dari kolam. Di sana, ada binahong, temulawak, kunyit, hingga serai. Sayuran, seperti bayam, pakcoy, dan selada bokor, juga tersedia.
Aneka tumbuhan itu ditanam oleh 30-an warga senior. Sayuran tersebut kadang dimasak untuk dibagikan kembali kepada warga lansia. ”Jadi, konsepnya dari lansia, oleh lansia, untuk lansia,” ujarnya.
Pertautan Lastri dengan warga setempat dimulai sejak 2016 ketika ia terpilih menjadi sukarelawan Rumah Zakat Desa Berdaya Tegalurung. Tugasnya, antara lain, mencari penerima beasiswa dan pengajian. Awalnya, ibu-ibu yang berusia lebih muda tidak tertarik.
Yang tertarik justru para warga senior, dan jumlahnya cukup banyak. ”Enggak tahu kenapa, tetapi kalau mereka datang, saya sudah siap telinga untuk mendengar cerita. Mereka ini kesepian, bahkan ada yang tinggal sendiri,” ujarnya.
Ada juga yang harus mengasuh cucu karena menantunya jadi pekerja migran Indonesia.
Warga lansia acap kali dianggap membebani keluarga dan tidak produktif. Siklus kehidupannya hanya berkutat di kamar, ruang tamu, dan pekarangan. ”Ada juga yang harus mengasuh cucu karena menantunya jadi pekerja migran Indonesia,” ucap ibu dua anak ini.
Lastri ingin mengubah kesepian warga lansia dengan keperkasaan. Terhitung 2019, ia fokus membangun program desa ramah lansia. Bekerja sama dengan puskesmas setempat, ia membuka pos pemeriksaan kesehatan, seperti cek tensi dan gula darah.
Tidak hanya itu, warga lansia juga diajak senam, menanam, hingga mengolah sampah. Jika sumbangan identik dengan uang, Lastri justru membuka sedekah sampah. Setiap warga lansia memberikan sampah plastik atau kardus secara gratis.
Lastri lalu menjual sampah itu. ”Hasilnya bukan untuk saya, tetapi dijadikan door prize (hadiah) untuk warga lansia. Isinya botol minuman supaya enggak nyampah botol plastik lagi. Semuanya sudah dapat hadiah,” lanjutnya.
Dalam tiga tahun terakhir, Lastri juga mengajarkan warga lansia membuat ecobrick, yakni botol bekas yang diisi dengan sampah plastik atau kain kering hingga padat. Ecobrick itu lalu dirancang menjadi kursi dan meja yang memiliki daya jual. ”Sampai sekarang hampir 100 kursi dijual,” ucapnya.
Kursi bulat besar dipatok Rp 250.000-Rp 300.000, sedangkan ukuran kecil dijual Rp 150.000 per set. Ecobrick itu diperoleh dari botol buatan warga lansia yang dibeli Rp 1.500-Rp 3.000 sesuai ukuran. ”Pernah ada lansia yang nabung dari penjualan ecobrick hampir Rp 400.000,” katanya.
Program itu tidak hanya menyibukkan lansia, tetapi juga mendulang rupiah. Lastri menolak tawaran botol ecobricks dari luar daerah karena ingin memberdayakan warga lansia setempat.
Acuh tak acuh
Perjuangan Lastri bukan tanpa halangan. Ia pernah mengunjungi warga lansia yang sakit. Alih-alih diterima dengan baik, keluarga lansia tersebut malah acuh tak acuh. ”Ada juga anak warga lansia yang enggak support. Anaknya enggak mau nganterin orangtuanya ke tempat saya,” ujarnya.
Bukannya menyerah, Lastri justru membuat ojek lansia. Empat orang pun disiapkan menjemput dan mengantar warga lansia yang ingin beraktivitas di kebun gizi. Ojek tersebut juga mengirimkan makanan untuk warga lansia.
Selain Rumah Zakat, Lastri juga didukung penuh oleh suami dan keluarganya. Lahan tempat warga lansia berkumpul, misalnya, awalnya hanyalah kebun milik mertuanya.
Ini pernah ditawar Rp 80 juta, tetapi kami memilih untuk tempat aktivitas lansia.
”Ini pernah ditawar Rp 80 juta, tetapi kami memilih untuk tempat aktivitas lansia,” ucap istri tukang servis alat elektronik ini.
Ia mengaku merasa lebih hidup sejak berkolaborasi dengan warga lansia. ”Orangtua saya sudah enggak ada. Hitung-hitung saya berbakti ke orangtua, tetapi lewat orang lain,” ujar Lastri yang ditinggap pergi ibunya pada 2004 dan bapak tahun 2019.
Lastri tumbuh dalam keluarga sederhana di Garut, Jabar. Mendiang ayahnya dulu bekerja sebagai kuli bangunan dan petugas satpam. Sejak kecil, ia diajarkan berbagi. Hasil panen labu siam atau telur asin buatannya, misalnya, dibagi kepada anak yatim.
Impitan ekonomi memaksa Lastri hanya menempuh pendidikan sampai sekolah menengah. Itu pun karena mendapat beasiswa. Lulus dari sekolah, ia langsung bekerja di sebuah pabrik boneka di Cikarang, Jabar. Hingga menikah dengan Juli Santoso, ia pindah ke Tegalurung pada 2010.
Kini, peraih penghargaan dari Rumah Zakat sebagai Tokoh Pemberdayaan 2019 ini terus berupaya menguatkan para warga lansia di kampungnya. Pandemi Covid-19 sejak tahun lalu sempat menghambat aktivitas mereka. Apalagi, ketika mertuanya wafat karena virus tak kasatmata itu.
Namun, Lastri terus bergerak. Ia membagikan vitamin hingga makanan bergizi kepada warga lansia. ”Saya ingin bikin lembaga kesejahteraan sosial khusus lansia. Ada atau tidak ada program, saya masih mau mengurus lansia,” ucapnya.
Lastri Mulyani
Lahir: Garut, 11 Juli 1985
Suami: Juli Santoso
Anak:
Nur Hanifah El Rustami
Hilda Hafizoh Uuridu
Pendidikan:
SDN Jayawaras, Garut
SMPN 4 Tarogong, Garut
SMKN 1 Tarogong, Garut
Aktivitas: sukarelawan Rumah Zakat Desa Berdaya Tegalurung
Penghargaan: Tokoh Pemberdayaan 2019 dari Rumah Zakat