Yehuda Hamokwarong, Laboran Alam dari Universitas Cenderawasih Papua
Yehuda Hamokwarong bersama para mahasiswa di Universitas Cenderawasih Papua membuat laboratorium alam di pesisir Teluk Youtefa.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Ribuan pohon mangrove berdiri memadati tepian muara Kali Acai. Akar jangkar berjingkrak rapat meredam abrasi air laut dari Teluk Youtefa, Kota Jayapura, Papua. Sebagian besar mangrove itu ditanam komunitas mahasiswa Program Studi Geografi, Universitas Cenderawasih, di bawah pimpinan Yehuda Hamokwarong (50).
Senin (1/11/2021) siang, Yehuda menyusuri sisi muara itu sambil melihat deretan mangrove yang sebagian tingginya melampaui 10 meter. Ia bangga, kerja keras bersama mahasiswa sekitar 13 tahun lalu telah membuahkan hasil. Areal pesisir yang masuk kawasan Enggros itu termasuk yang relatif aman dari hantaman abrasi dan rob yang kini mengancam hampir seluruh pesisir Kota Jayapura.
Sekadar membandingkan, berdasarkan citra satelit, beberapa pesisir di Jayapura mengalami pemunduran garis pantai. Di pesisir Pantai Skouw, misalnya, selama kurun waktu 13 tahun, terhitung 2001 sampai 2014, garis pantai mundur hingga 35,3 meter atau rata-rata 2,6 meter per tahun. Tahun ini diperkirakan semakin mundur. Sementara garis pantai sekitar Kali Acai belum tergeser.
Garis pertahanan di Acai membentuk formasi piramida. Di sisi yang berhadapan dengan air laut dan aliran kali, dijejer mangrove berakar tunjang dan jangkar. Semakin ke belakang disisipkan jenis palem, kemudian pada lapis terakhir berdiri kayu keras seperti ketapang dan cemara. ”Kerapatan mangrove bisa meredam gelombang pasang, bahkan tsunami sekalipun,” kata Yehuda.
Wilayah pesisir Jayapura yang terhubung dengan Samudra Pasifik termasuk rawan dilanda gelombang tsunami. Sejarah masa lalu juga merekam catatan tsunami pernah melanda daerah tersebut. Karena itu, menanam mangrove sebagai bagian dari mitigasi bencana. Ketebalan mangrove dapat meredam hingga 50 persen energi tsunami.
Selain meredam abrasi, rob, dan tsunami, mangrove juga menahan aliran sedimen dari darat akibat erosi. Pembangunan yang masif di kawasan perbukitan Jayapura menyumbang sedimen ke laut. Sedimen itu menyebabkan pendangkalan di Teluk Youtefa. Sedimentasi kini menjadi masalah serius di teluk yang ikonik itu. Terumbu karang rusak dan habitat ikan pun terganggu.
Hutan mangrove muara Kali Acai kini dapat dijadikan contoh baik tentang upaya mitigasi pesisir. Hutan itu tumbuh di atas bekas tempat pembuangan sampah yang menggunung selama bertahun-tahun. Pada tahun 2008, Yehuda bersama mahasiswa dari program studi geografi membersihkan sampah itu.
Setelah dibersihkan, mereka mencari anakan mangrove ke beberapa pesisir di Teluk Youtefa, salah satunya di Kampung Navri. Dengan bantuan perahu motor, mereka mengangkut mangrove ke lokasi itu. Berkejaran dengan pasang surut, mereka bergerak cepat menanam sekitar 6.000 anakan pohon di areal lebih kurang 3 hektar itu.
Selama masa penanaman dan pemeliharaan, mereka membangun tenda di dekat tempat itu untuk tinggal demi memastikan mangrove tumbuh dengan baik. ”Total selama tiga bulan kami tinggal jaga mangrove di sini. Selama itu pula kami jalani proses kuliah dan belajar langsung di alam. Bagi kami, ini laboratorium alam,” ujar pria asal Suku Nimboran itu.
Penanaman mangrove itu tidak disponsori pihak mana pun. Mereka mengumpulkan dana dengan menjual nasi kuning, kaus, dan beberapa barang lain. Mereka tidak mengajukan proposal kepada pemerintah. Namun, setelah aksi itu berjalan, datang dukungan dari berbagai pihak. Banyak komunitas peduli lingkungan kemudian bergabung.
Aliran Cycloop
Setelah lebih banyak fokus di pesisir, Yehuda mulai melebarkan sayap pengabdian di daerah aliran sungai yang kini kritis. Banjir bandang yang menerjang Sentani, Kabupaten Jayapura, pada tahun 2019 membuka mata banyak orang akan kerusakan lingkungan di kawasan hulu, yakni pegunungan Cycloop. Kerusakan itu perlu direhabilitasi dan disiapkan langkah mitigasi.
Beberapa jam setelah banjir bandang, Yehuda datang ke lokasi itu. Ia menyaksikan banyak korban meninggal, beberapa di antara korban adalah mahasiswanya. Korban ratusan orang terseret air dan tertimbun material seperti lumpur, batu, dan kayu. Material itu terbawa dari pegunungan Cycloop meluap lewat sejumlah kali yang bermuara ke Danau Sentani.
Selesai banjir bandang itu, Yehuda bersama mahasiswanya memulai aksi mitigasi di Kali Kemiri. Saat banjir bandang, banyak material melewati kali itu kemudian meluap hingga ke permukiman warga di Kelurahan Enekombe, Distrik Sentani Kota. Banyak korban meninggal adalah warga permukiman tersebut.
Di sisi Kali Kemiri itu, ia bersama mahasiswa menanam sekitar 5.000 anakan pohon campuran. Formasi tanaman juga diatur seperti membangun pertahanan di pesisir. Tanaman itu bertujuan untuk meredam aliran material yang terbawa air. Setiap tanaman punya fungsi sendiri-sendiri.
Di posisi paling depan ditanam pohon berakar serabut dengan tujuan menahan material lumpur. Di bagian tengah disisipkan pohon berakar jangkar untuk menahan material berukuran sedang. Di bagian belakang dijejer pohon keras untuk meredam material besar, seperti batu dan potongan kayu.
Butuh waktu sekitar 20 tahun, tanaman itu tumbuh menjadi sistem pertahanan yang kuat. Areal tanaman itu diberi nama Laboratorium Alam Geografi. Di sana ia mengajarkan mahasiswa tentang upaya mitigasi bencana dan rehabilitasi alam yang rusak. Mahasiswa dibawa ke alam agar lebih mudah memahami.
Di tengah upaya mitigasi dan rehabilitasi lingkungan, Yehuda kerap berhadapan dengan kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap lingkungan. Contohnya, banyak mangrove yang mereka tanam dengan susah payah di pesisir Teluk Youtefa malah dibabat demi pembangunan infrastruktur.
Ia pun kerap berbicara keras mengkritisi kebijakan tersebut lewat media. Ia menilai, banyak pembangunan infrastruktur besar-besaran di Jayapura dan sekitarnya mengabaikan aspek lingkungan. ”Saya hanyalah akademisi yang bisa bersuara. Sekarang saya sedang berusaha menyampaikan kritik ini lewat film dokumenter,” katanya.
Yehuda tidak mau patah semangat. Ia masih punya banyak mimpi untuk menjaga lingkungan. Ia akan terus mengajak mahasiswa terlibat dalam gerakan rehabilitasi dan mitigasi lewat kerja nyata. Sebagai pengajar, ia sekaligus menjadikan alam sebagai laboratorium pembelajaran. Laboratorium dengan pengalaman empiris yang tidak berbatas.
Yehuda Hamokwarong
Lahir: Abepura, 30 Oktober 1971
Pekerjaan: Dosen Geografi di Universitas Cenderawasih