Firdausi Qadri dikenal sebagai ilmuwan yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk penelitian vaksin. Ia berhasil mengembangkan vaksin kolera, tifus, dan disentri E coli.
Oleh
Budi Suwarna
·4 menit baca
Firdausi Qadri (70) mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk penelitian vaksin. Hasilnya, ia berhasil mengembangkan vaksin kolera, tifus, dan disentri E coli yang menyelamatkan nyawa jutaan orang di dunia. Berkat dedikasi dan visinya yang luar biasa, ilmuwan asal Bangladesh ini mendapat Penghargaan Ramon Magsaysay 2021.
Penghargaan Ramon Magsaysay, yang disebut sebagai Nobel versi Asia ini, menjadi pengakuan atas kontribusi Firdausi Qadri selama bertahun-tahun dalam pengembangan vaksin, kontrol atas penyakit menular, imunologi, dan uji klinis.
”Seperti penerima penghargaan Magsaysay sebelumnya, mereka (para penerima tahun ini) telah menunjukkan keberanian moral dan semangat yang berapi-api demi masyarakat yang lebih ramah, lebih baik, lebih adil bagi setiap orang, khususnya bagi kaum marjinal. Mereka benar-benar menginspirasi kita dengan visi, kepemimpinan, ketekunan, dan kesuksesan mereka,” kata Presiden Ramon Magsaysay Award Foundation Susan B Afan dalam pernyataan pers, Selasa (31/8/2021).
Selain Qadri, ada empat penerima Magsaysay lainnya tahun ini, yakni Muhammad Amjad Saqib dari Pakistan, Roberto Ballon dari Filipina, Steven Muncy dari Amerika Serikat, dan Watchdoc dari Indonesia. Penghargaan akan diterima secara resmi pada 28 November 2021 di Manila, Filipina. ”Saya benar-benar senang (mendapat penghargaan ini), tetapi juga tetap rendah hati,” ujar Qadri dalam pesan video yang dibagikan Ramon Magsaysay Award Foundation.
Qadri selama ini dikenal sebagai ilmuwan yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya untuk penelitian. Ia memainkan peran kunci dalam mengembangkan vaksin oral kolera (OCV). Pada periode 2017-2020, di bawah pengawasan WHO dan Unicef, ia memimpin sebuah tim ahli untuk memberi vaksin OCV secara massal pada para pengungsi Rohingya dari Myanmar di Cox\'s Bazar, Bangladesh. Langkah itu berhasil mencegah meledaknya wabah kolera di kamp pengungsian terbesar di dunia itu.
Selanjutnya, pada 2020 ia memfasilitasi vaksinasi OCV kepada 1,2 juta warga di enam distrik berisiko tinggi terkena kolera di Dhaka, ibu kota Bangladesh.
Selain vaksin kolera, Qadri berhasil mengembangkan vaksin konjugat tifus (ViTCV) untuk orang dewasa, anak-anak, hingga bayi berusia 9 bulan; serta vaksin diare E coli. Ia juga berhasil mengembangkan alat-alat diagnostik yang inovatif untuk kolera dan tifus.
Ketiga vaksin yang dikembangkan Qadri menjadi jawaban atas problem kesehatan dunia. Unesco mencatat pada 2020, setiap tahun lebih dari 800.000 anak-anak di dunia meninggal akibat diare. Selain itu, 56 persen anak yang terkena diare di negara-negara berpendapatan rendah tidak mendapatkan perawatan yang semestinya.
Dengan pengalaman panjang di dunia vaksin dan pencegahan penyakit menular, tidak mengherankan jika Qadri kini dilibatkan dalam riset dan uji coba vaksin di Bangladesh.
Kapan pun ada penemuan baru terkait penyakit, proses diagnosis atau vaksinasi, hal itu menginspirasi saya untuk bekerja lebih keras
”Kapan pun ada penemuan baru terkait penyakit, proses diagnosis atau vaksinasi, hal itu menginspirasi saya untuk bekerja lebih keras,” kata Qadri yang dijuluki ”jagoan vaksin” seperti dikutip Dhaka Tribune pada 14 Februari 2020.
Perang melawan kolera
Firdausi Qadri (70) lahir dari keluarga kelas menengah di Bangladesh yang mendorong perempuan untuk mengejar pendidikan dan karier. Sejak awal, ia memutuskan untuk menekuni riset kedokteran. Ia meraih sarjana di bidang biokimia dan gelar doktor dari Liverpool University di Inggris.
Ia meniti karier di negaranya dengan mengajar di sebuah universitas. Pada 1988, ia bergabung dengan International Centre For Diarrhoeal Disease Research, Bangladesh (ICDDR, B), sebuah lembaga riset kesehatan internasional yang berbasis di Dhaka. Di sini, Qadri memfokuskan penelitian tentang penyakit menular, imunologi, pengembangan vaksin, dan uji klinis.
Keterlibatannya yang paling menantang terkait dengan perang terhadap kolera dan tipus, penyakit utama di Bangladesh dan negara-negara di Asia serta Afrika yang bermasalah dengan akses air bersih, sanitasi, pendidikan, dan perawatan medis. Untuk melakukan risetnya, Qadri kerap keluar masuk ke daerah-daerah kumuh.
Qadri tidak hanya fokus melakukan riset untuk intervensi masalah kesehatan. Ia juga sadar benar bahwa Bangladesh tertinggal dalam infrastruktur dan SDM riset bidang kesehatan. Ia pun mendirikan Lembaga Inisiatif Pengembangan Sains dan Kesehatan (ideSHi) pada 2014. Biaya pendirian lembaga itu ia ambil dari uang hadiah dari penghargaan Christophe Rodolfe Grand Prize yang ia terima pada 2012.
Ia memimpin lembaga yang mengerjakan riset biomedik dan pengujian itu. Lewat lembaga itu Qadri hadir dalam jaringan ilmuwan baik lokal maupun global.
Selain itu, ia melatih dan menjadi mentor bagi ilmuwan-ilmuwan muda Bangladesh dan menghubungkan mereka dengan para ilmuwan terkenal dari negara-negara lain. Ia meningkatkan kualitas laboratorium-laboratorium agar para ilmuwan Bangladesh tidak perlu ke luar negeri hanya karena fasilitas yang ada di negeri itu kurang. Ia juga berusaha mendorong perempuan Bangladesh menjadi ilmuwan.
”Setidaknya 50 persen perempuan Bangladesh seharusnya bermimpi menjadi ilmuwan. Banyak orang berpikir seseorang harus kerja berjam-jam untuk menjadi seorang ilmuwan, tapi itu salah. Yang Anda perlukan adalah atensi dan konsentrasi,” katanya pada Dhaka Tribune. Sayangnya, ia menemui kenyataan banyak anak perempuan Bangladesh yang belajar studi sains, tetapi kemudian putus sekolah.
Qadri menghabiskan hampir separuh hidupnya menjadi peneliti yang berusaha menjawab problem kesehatan di negaranya. Apa yang ia lakukan di Bangladesh, lanjut Qadri, pada akhirnya juga akan menguntungkan negara-negara lain.
(RMAWARD.ASIA)
Firdausi Qadri
Lahir: Bangladesh, 31 Maret 1951
Pendidikan:
Doktor Biokimia/imunologi, University of Liverpool, Inggris (1980)
Master Biokimia dan Biologi Molekular, University of Dhaka, Bangladesh (1977)
Sarjana Sain Biokimia dan Biologi Molekular, University of Dhaka (1975)
Penghargaan:
Ramon Magsaysay Award 2021
Bill Gates Award 2020, Hero in the Field Against the World’s Longest Running Pandemic (Cholera)
L\'Oréal-UNESCO International Awards 2020 for Women in Science