Sprinter putri Jamaika Elaine Thompson-Herah tak hanya meraih emas 100 meter Olimpiade Tokyo, tetapi juga memecahkan rekor Olimpiade yang telah bertahan 33 tahun. Semua itu berkat tekad baja pelari 29 tahun tersebut.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·5 menit baca
Sprinter putri andalan Jamaika Elaine Thompson-Herah (29) meraih kesuksesan luar biasa di Olimpiade Tokyo. Tak hanya merebut emas, Thompson-Herah berhasil memecahkan rekor 100 meter putri Olimpiade yang telah bertahan selama 33 tahun. Capaian hebatnya tak lahir dalam satu malam, tetapi buah dari tekad baja menghadapi serangkaian cedera yang menghantam setelah merengkuh dua emas di Olimpiade Rio de Janeiro lima tahun silam.
Tidak mengherankan jika kesuksesan itu ia sambut dengan sangat emosional. Selepas finis, dia berteriak dan melompat kegirangan meluapkan emosi karena berhasil finis pertama dalam final 100 meter putri di Stadion Olimpiade, Tokyo, Jepang, Sabtu (31/7/2021).
Meski lelah dan napas masih tersengal, sprinter berambut nyentrik kuning terurai panjang itu tetap melepas senyum semringah. Pelari asal Kota Manchester, Jamaika, itu selanjutnya larut dalam kegembiraan karena tak cuma meraih emas, tetapi juga memecahkan rekor Olimpiade dengan waktu 10,61 detik.
Capaian sprinter kelahiran 28 Juni 1992 itu lebih cepat 0,01 detik dari rekor Olimpiade milik pelari legendaris Amerika Serikat, Florence Griffith Joyner, yakni 10,62 detik, yang dicetak saat ia memenangi Olimpiade Seoul 1988, 24 September 1988. Capaian Thompson-Herah sekaligus menobatkan dia sebagai perempuan tercepat kedua di dunia di bawah mendiang Griffith Joyner yang mencetak rekor dunia dengan 10,49 detik dalam kejuaraan uji coba menjelang Olimpiade 1988 di Indianapolis, Amerika Serikat, 16 Juli 1988.
”Saya tidak bisa mengungkapkan kata-kata. Maka itu, saya berteriak sangat keras karena saya sangat senang. Saya sudah sangat terluka (menghadapi sejumlah cedera). Saya bersyukur bisa kembali ke trek tahun ini untuk mempertahankan gelar (Olimpiade). Saya telah menjaga iman selama ini. Ini luar biasa,” tutur pelari bertinggi badan 167 sentimeter itu selepas perlombaan dikutip oleh laman World Athletics.
Berlomba dari lintasan empat final, Thompson-Herah bersaing ketat dengan dua rekan senegaranya, pelari kawakan Shelly-Ann Fraser-Pryce di lintasan kelima dan Shericka Jackson di lintasan ketujuh. Fraser-Pryce sejatinya digadang-gadang menjuarai perlombaan karena baru saja mencatat waktu tercepat dunia tahun ini dengan 10,63 detik di Kingston, Jamaika, 5 Juni 2021.
Namun, Fraser-Pryce yang dijuluki ”Mommy Rocket” itu harus puas duduk di peringkat kedua dengan 10,74 detik. Perunggu direbut Jackson dengan 10,76 detik. Prestasi tiga sprinter itu membuat Jamaika kembali menyapu bersih medali 100 meter putri mengulangi kesuksesan di Olimpiade Beijing 2008.
Fraser-Pryce mengapresiasi hasil yang dibukukan oleh Thompson-Herah. ”Saya sangat senang sprint wanita naik ke level lebih tinggi, itu benar-benar luar biasa. Ini berbicara tentang kedalaman yang kita miliki sebagai wanita,” kata pelari berusia 34 tahun itu yang turut ditahbiskan sebagai pelari tertua yang mendapatkan medali Olimpiade.
Pasang surut
Kesuksesan Thompson-Herah memenangi emas 100 meter Olimpiade Tokyo tidak dicapai dengan mudah. Sprinter yang mengawali karier pada 2006 ini mengalami pasang-surut cedera yang amat mengganggu jelang tampil di Olimpiade Tokyo.
Beberapa cedera mulai dirasakannya seusai tampil sensasional di Olimpiade 2016. Ketika itu, dia menjadi spinter putri Jamaika pertama yang mengawinkan emas 100 meter dan 200 meter dalam satu edisi Olimpiade atau pelari kedua Jamaika setelah pelari legendaris Usain Bolt yang merengkuh emas dari nomor itu dalam satu edisi ajang tersebut.
Akibat cedera pula, Thompson-Herah hanya finis kelima dengan 10,98 detik dalam Kejuaraan Dunia 2017 di London, Inggris, dan batal tampil di 200 meter pergelaran tersebut. Pada Kejuaraan Dunia 2019 di Doha, Qatar, cedera tendon achilles kambuhan menyebabkannya hanya finis keempat dengan 10,93 detik dan mengundurkan diri di semifinal 200 meter.
”Kekecewaan pasti ada. Sebab, tidak ada atlet yang mau kalah dalam kejuaraan. Dan, saya tidak pernah pergi ke suatu ajang untuk kalah. Semua itu (kegagalan karena cedera) di luar kendali saya,” tutur peraih perak estafet 4x100 meter Olimpiade 2016 tersebut dalam wawancara di Olympic Channel.
Kondisi kian tak menentu kala pandemi Covid-19 melanda dunia membuat Olimpiade Tokyo tertunda setahun dari jadwal semula. Situasi itu menyebabkan Thompson-Herah sedikit frustrasi karena tubuhnya sudah sangat siap untuk kembali ke puncak performa.
Penundaan itu sempat menjadi petaka karena di awal 2021 cedera acheilles-nya justru kambuh. Cedera itu nyaris membuat dia urung berpartisipasi di Olimpiade. Sebab, dua bulan sebelum Olimpiade, cedera itu tak kunjung pulih.
Paling tidak, cedera menyebabkan Thompson-Herah begitu kewalahan menjalani uji coba sebelum Olimpiade Tokyo di Kingston pada 25 Juni 2021. Beruntung, dia bisa tetap tampil dan menempati posisi ketiga dengan 10,84 detik di belakang Fraser-Pryce dan Jackson. Akan tetapi, dirinya melewati Liga Berlian di Gateshead, Inggris, pada 13 Juli.
Kekuatan tekad
Namun, cedera dan luka tidak pernah menjadi alasan bagi Thompson-Herah untuk menyerah. Sebaliknya, hal itu justru membuat api semangatnya kian berkobar. ”Saat merasakan sakit, saya tidak ingin membagikannya di media sosial atau ke orang-orang. Ketika merasakan sakit, saya justru yakin bisa melakukan yang terbaik. Saya selalu mengatakan kepada diri saya bahwa saya bakal memberikan 100 persen kemampuan kendati mengalami sakit. Sekalipun tidak bisa 100 persen, saya akan melakukan yang terbaik yang saya bisa,” tuturnya dilansir Sportsmax.tv.
Kekuatan tekad itulah yang akhirnya mengantarkan Thompson-Herah ke Tokyo 2020. ”Saya tahu saya memiliki kekuatan dalam diri saya walau mengalami pasang-surut dengan cedera. Saya terus menjaga keyakinan ini,” kata pelari yang mencatat waktu 10,71 detik dalam pergelaran di Hongaria awal Juli ini sekaligus waktu tercepatnya sejak 2017 seperti dikutip Wkar.org.
Kini, Thompson-Herah boleh dibilang penerus mahkota ratu lari Jamaika yang sebelumnya milik Fraser-Pryce. Di samping menjadi pelari putri tercepat kedua di dunia, dia telah menyamai prestasi seniornya itu membawa pulang emas 100 meter secara beruntun dalam dua Olimpiade. Adapun Fraser-Pryce mengoleksi emas 100 meter Olimpiade Beijing 2008 dan London 2012.
Bahkan, perolehan emas Olimpiade Thompson-Herah sudah mengungguli seniornya itu. Dia mengoleksi tiga emas dari dua Olimpiade, sedangkan Fraser-Pryce dua emas dari dua Olimpiade. Dengan usia lebih muda lima tahun dari Fraser-Pryce, kariernya masih cukup panjang untuk menambah pundi-pundi prestasi.
Lebih-lebih, Thompson-Herah belum berpuas diri. Setidaknya, dia yakin bisa berlari jauh lebih cepat lagi suatu hari nanti. ”Saya bisa melaju lebih cepat jika saya tidak menunjuk dan merayakannya lebih awal (sebelum finis 100 meter Olimpiade Tokyo). Namun, itu menunjukkan ada lebih banyak hal yang tersimpan. Jadi, semoga suatu hari saya bisa melepaskan waktu itu,” ujar pelari yang turut mengincar emas 200 meter Olimpiade Tokyo ini dilansir StarTribune.com.
Elaine Thompson-Herah
Lahir: Manchester, Jamaika, 28 Juni 1992
Tinggi: 167 sentimter
Berat: 56 kilogram
Rekor:
60 meter: 6,98 detik pada 2017 di Birmingham, Inggris
100 meter: 10,61 detik pada 2021 di Tokyo, Jepang
200 meter: 21,66 detik pada 2015 di Beijing, China
Prestasi:
Emas 100 meter Olimpiade Tokyo 2020
Emas 100 meter Pan American Games 2019 Lima, Peru
Perak 4x100 meter Commonwealth Games 2018 Gold Coast, Autralia
Emas 100 meter Olimpiade Rio de Janeiro 2016
Emas 200 meter Olimpiade Rio de Janeiro 2016
Perak estafet 4x100 meter Olimpiade Rio de Janeiro 2016
Emas 4x100 meter Kejuaraan Dunia 2015 Beijing
Perak 100 meter Kejuaraan Dunia 2015 Beijing
Emas 4x100 meter Commonwealth Games 2014 Glasgow, Skotlandia