Johny Theedens Melestarikan Alat Musik Tradisional Sasando
Johny Theedens melestarikan alat musik sasando dengan mengajar musik dan menulis berbagai buku.
Kepedulian Johny Theedens (63) terhadap alat musik tradisional sasando dari Nusa Tenggara Timur tidak pernah surut. Berbagai upaya dilakukan supaya lebih banyak orang yang bisa bermain sasando. Sebagai provinsi dengan unggulan pariwisata Pulau Komodo, semestinya pamor sasando bisa semakin terkenal.
Sebuah papan bertuliskan ”Kursus Musik Haleluya” terpajang di sisi Jalan Nanga, Kelurahan Naikoten, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. Di sini, sekitar 500 orang belajar bermain alat musik sasando, keyboard, dan piano binaan Johny Theedens.
Hari itu, Sabtu (3/7/2021), Theedens tidak mengajar peserta kursus. Ia membiarkan mereka berlatih sendiri. Jika bunyi alat musik yang dimaikan itu fals, ia langsung perbaiki. ”Saya biarkan mereka mandiri dan berkreasi dulu,” katanya.
Haleluya adalah satu-satunya lembaga kursus musik di Kota Kupang, NTT. Di kalangan seniman dan musisi Kupang, nama Johny Theedens tidak asing lagi. Keuletan Theedens mendalami musik tradisional sasando menunjukkan kepeduliannya yang tinggi terhadap warisan nenek moyang.
Orang Rote menyebut sasando dengan kata ”sasandu” artinya alat yang bergetar atau berbunyi dengan tujuh tali senar. Tetapi dalam bahasa Kupang sering disebut sasando, yakni alat musik berdawai dimainkan dengan cara memetik dengan jari jemari tangan.
Legenda asal-usul sasando yang lebih populer adalah seorang pemuda bernama Sangguana terdampar di Pulau Ndana. Ia lalu dibawa menghadap Raja Rote. Setiap malam rakyat menghibur raja dan keluarganya dengan tarian dan musik. Putri raja minta kepada Sangguana membuatkan alat musik yang indah, beda dari yang ada agar bisa menikahinya.
Tengah malam Sangguana mendapatkan ilham membuatkan alat musik yang indah. Ia kemudian mencoba alat musik yang muncul dalam mimpi itu, kemudian dibawakan di hadapan keluarga raja. Putri raja terpesona dengan keindahan musik itu lalu bersedia dinikahi Sangguana.
Perjuangan Sangguana menginspirasi Theedens menjaga warisan leluhur ini. Ia khawatir suatu saat sasando tidak diminati generasi muda dan hilang dari tanah Flobamora ini, atau berkembang pesat di luar NTT.
Thedeens mulai menggeluti alat musik sasando sejak 1988/1989. Ketertarikan pada sasando ini karena alat musik tradisional ini memiliki not yang lengkap, yakni bas, ritme, dan melodi. Lalu, ia pun membuka kursus musik Haleluya 1996, untuk melestarikan alat musik sasando, selain gitar, piano, dan keyboard.
Perkembangan organologi sasando terlihat dari penggunaan dawai. Awalnya tiga atau lima dawai, menjadi 9-12 dawai pada jenis sasando gong. Sementara sasando diatonic, awalnya memiliki 22 dawai berkembang menjadi 24, 26, 30, dan 32 dawai. Bisa saja masih ada sasando dengan dawai lebih banyak lagi, tetapi itu hanya pada dawai melodi.
Ia membuat alat musik sasando sendiri. Sasando ini dikirim ke Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan. Pemesan sasando biasanya mereka yang pernah mengikuti kursus sasando Haleluya asuhan Theedens. Tenggat kursus biasanya tujuh hari sampai dengan dua bulan.
”Jika ada orang Sumatera atau Jawa yang lebih pandai bermain alat musik sasando dibanding anak-anak NTT, itu tidak soal. Musik itu milik semua umat manusia. Berbagi pengetahuan dan keterampilan kepada orang lain, apalagi warga Indonesia itu jauh lebih baik. Warga negara asing, seperti Jerman, Australia, Jepang, dan Belanda, pun belajar sasando di tempat ini. Bisa saja mereka lebih mahir dari anak-anak NTT,” kata Theedens.
Sekitar 500 siswa yang mengikuti kursus itu, sebagian sudah melanjutkan pendidikan musik di ISI Yogyakarta, IKJ Jakarta, dan ISI Denpasar. Sebagian menekuni kegiatan menjadi pemain organ tetap di gereja-gereja, menjadi guru musik di tingkat SD-SMA, dan sebagian masuk TNI/Polri. Namun, ada juga hanya senang-senang saja, tidak melanjutkan keterampilan itu.
Menjaga keberlanjutan sasando, ia menulis tiga buku tentang alat musik sasando. Buku pertama Mengenal Not-Not Dasar Sasando. Buku itu dicetak tahun 1997 oleh CV Pengharapan Karya Abadi Kupang yang disponsori Pemda. ”Itu disebarkan ke seluruh SD di Kota Kupang dan sempat menjadi muatan lokal (mulok) seni musik selama 1997-1998, kelas 4-6. Tetapi upaya itu tidak jalan setelah ganti pemimpin,” katanya.
Buku kedua berjudul Seluk Beluk Alat Musik Sasando terbit 1998 dengan dukungan Direktorat Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Buku ini pun sempat dibagikan ke sekolah-sekolah di seluruh NTT dengan tujuan sebagai mulok di sekolah dasar dan menengah.
Namun upaya ini pun tidak berjalan karena kesulitan guru musik sasando di sekolah. ”Saya mendorong pemprov agar semua guru kesenian tingkat SD sampai SMA dikirim ke Kupang secara bergilir untuk mengikuti pelatihan sasando, juga gagal,” katanya.
Ia pun terus mengajak lembaga keagamaan agar sasando bisa dipakai di gereja-gereja mengiringi lagu rohani. Selama ini pihak gereja lebih tertarik dengan musik modern, yakni keyboard dan piano. ”Belum ada satu gereja pun memainkan alat musik sasando saat ibadah, termasuk di Rote sebagai asal-usul Sasando sendiri,”kata Theedens.
Alat musik instrument sasando masuk mulok SD-SMA tidak sulit. Penerapan mulok sasando pun punya dasar hukum, yakni pengembangan seni tradisional. Seni tradisional ini memperkuat seni nasional.
Buku ketiga Teknik Tingkat Mahir Bermain Sasando, kerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2019. Buku ini disuguhkan bagi pemain sasando dari tingkat medium menuju tingkat mahir.
Lewat tiga buku ini, Theedens ingin menegaskan bahwa sasando harus menjadi milik orang NTT dan menjadi alat musik instrument yang bisa dimainkan sampai tingkat mahir, ”virtuoso”, guna menjawab tantangan zaman.
Jika itu dikuasai dengan baik, sasando akan selevel piano. Sejumlah pemain sasando saat ini sudah bagus, tetapi secara teknis belum sampai tingkat itu.
”Tingkat virtuoso itu bisa dicapai. Tetapi ini tidak lahir dengan sendirinya. Musik klasik itu musik serius yang diperbarui berabad-abad melalui kajian-kajian akademik dengan teknik-teknik hebat yang dibuat ahli-ahli musik zaman dulu. Sasando mungkin saya, orang pertama yang buat itu,” kata lulusan sarjana ISI Yogyakarta ini.
Theedens menilai, generasi muda NTT sulit mencapai tingkat itu. Orang NTT hidup dalam budaya lisan dan lingkungan yang tidak mendukung. Di Jawa, banyak seniman bisa mencapai tingkat virtuoso di bidang musik tertentu karena ditunjang lingkungan dan pengambil kebijakan.
”Di sana banyak kursus musik seperti Yamaha. Lembaga kursus memainkan peranan penting, menunjang para musikus mencapai tingkat tertinggi. Aspek kedua, secara ekonomi mereka lebih baik karena kursus itu harus bayar. Lembaga musik ini memberi dukungan bagi perguruan tinggi musik di Indonesia,” kata Theedens.
NTT sangat terbatas kursus musik. Ia membuka kursus itu bukan demi ekonomi, melainkan semata-mata mendorong kemajuan musik di NTT. ”Sampai hari ini, saya masih beri kursus gratis kepada peserta kurang mampu,” katanya.
Baca juga : Sopian Hadi dan Masa Depan Kopi Beririjarak
Sebagai salah satu destinasi unggulan pariwisata nasional dengan wisata super premium Labuan Bajo, NTT harusnya memiliki perguruan tinggi (PT) seni untuk mendukung pariwisata itu seperti ISI di Yogyakarta dan ISI Denpasar, Bali.
NTT memiliki banyak lagu daerah, tarian daerah, cerita rakyat, dan alat musik daerah. Misalnya, alat musik ”doydoa”, alat musik tiup, suling ganda dengan nada do, mi, sol/re, fa, mi, atau bisa dikreasi lebih jauh lagi. ”Saya sedang geluti alat musik asal Bajawa ini,” katanya.
Kehadiran PT seni ini antara lain mengembangkan seni-seni tradisional khas NTT, seni klasik, dan seni lain untuk disuguhkan kepada wisatawan. ”Kita bisa asal punya pengorbanan,” ajak Theedens.
Johny Theedens
Lahir: Kupang, 11 Februari 1958
Istri: Nanik
Anak: 2
Pendidikan Terakhir: Sarjana Musik ISI Yogyakarta
Pekerjaan: Dosen Program Studi Musik Gereja Institut Agama Kristen Negeri Kupang