Berbagai cara dilakukan Sopian Hadi (32) untuk mengangkat kopi Beririjarak. Upaya itu berhasil dan membuat warga yang semula tidak peduli dengan tanaman kopi mau membudidayakannya dengan cara yang benar.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·5 menit baca
Warga Beririjarak telah lama mengenal kopi. Tetapi, mereka melihat kopi dengan sebelah mata. Kopi sekadar ditanam tanpa dirawat. Belakangan, pandangan warga tentang kopi berubah setelah Sopian Hadi (32) menunjukkan bahwa kopi bisa menghasilkan uang.
Beririjarak berada di Kecamatan Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Desa ini berjarak 61 kilometer, timur Mataram, ibu kota NTB, atau 21 kilometer utara Selong, ibu kota Lombok Timur. Letaknya yang dekat dengan kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) membuat Beririjarak punya modal untuk mengembangkan budidaya tanaman kopi dan ekowisata. Namun, selama puluhan tahun, potensi kopi seakan diabaikan.
”Berbuah tidak berbuah, terserah. Kalaupun dijual, tanpa harga. Tidak ada harapan,” tutur Sopian saat ditemui dalam Pekan Inklusi kegiatan Indonesia Women in Leadership di Mataram, Jumat (11/6/2021). Pandangan itu membuat kopi seperti tidak berharga. Itu sebabnya, berhektar-hektar kebun kopi di desa itu diubah jadi ladang palawija.
Baru pada 2017, ada pihak yang mulai memperhatikan potensi kopi Beririjarak. Saat itu, Gerakan Masyarakat Cinta Alam (Gema Alam) NTB bersama (konsorsium) Rimbawan Muda Indonesia menjalankan program pendampingan ekowisata kepada warga. Salah satu yang diperhatikan adalah potensi kopi.
Waktu itu kopi hanya disangrai hingga hitam dengan alat tradisional. Setelah gosong ditumbuk. Pokoknya jadi kopi.
Sopian ikut dalam program itu. Ia mendapat pengetahuan soal manfaat dan keistimewaan kopi. Ia juga belajar cara mengolah kopi, antara lain proses penyangraian kopi. ”Waktu itu kopi hanya disangrai hingga hitam dengan alat tradisional. Setelah gosong ditumbuk. Pokoknya jadi kopi,” tutur Sopian.
Dengan bekal seadanya, usaha pengolahan kopi mulai dijalankan. Tetapi, usaha itu mandek karena belum ada pasar, tidak punya merek, dan kualitas produk tidak konsisten. Kalaupun ada yang membeli, biasanya membeli lewat Gema Alam dengan motivasi sekadar membantu pemasaran. ”Intinya, kami belum menemukan jati diri sehingga kegiatan terhenti selama beberapa bulan hingga akhir 2017,” kata Sopian.
Memasuki 2018, Sopian berusaha menghidupkan kembali usaha pengolahan kopi di Beririjarak. Ia membeli peralatan berupa mesin sangrai, alat seduh, dan lain-lain. Pada tahap awal, ia mulai produksi dengan penjualan seadanya. Ia juga hanya mempromosikan produknya melalui media sosial. Hasilnya tidak banyak. Dalam satu bulan, ia bisa menjual sepuluh bungkus kopi bubuk.
Rupanya merintis kembali usaha kopi tidak mudah. Sopian sempat terpikir untuk berhenti. ”Pertama, karena brand kopi banyak. Kedua, tetangga saya saja memilih untuk kopi campur beras saat penyangraian. Lalu, siapa yang mau minum kopi saya?”
Gempa bumi 2018, selain membawa bencana, ternyata memunculkan harapan pada usaha kopi milik Sopian. Pascabencana gempa, datang seorang wisatawan sekaligus sukarelawan bencana asal Australia yang ia dampingi. ”Saya rutin menyajikan kopi buatan saya. Ternyata dia suka. Dia yakinkan saya bahwa kopi Beririjarak punya kualitas bagus. Saat pulang, dia membawa banyak kopi untuk oleh-oleh,” tutur Sopian.
Saya seperti mendapat pencerahan. Bersemangat. Lalu berpikir bahwa tidak cukup jika hanya pasar lokal, tetapi juga pasar luar. Harus keluar kampung.
Selang beberapa waktu, datang sukarelawan asal Malaysia. Dia juga menyukai kopi Beirijarak dan membawanya sebagai oleh-oleh ketika pulang ke negaranya. ”Saya seperti mendapat pencerahan. Bersemangat. Lalu berpikir bahwa tidak cukup jika hanya pasar lokal, tetapi juga pasar luar. Harus keluar kampung,” kata Sopian.
Pada akhir 2018, Sopian bersama komunitas Gapura mendiskusikan merek produknya. Maka, munculah nama Kopi Rau. Dalam bahasa Sasak, rau berarti ladang. ”Nama itu terdengar unik. Sesuai dengan asal kopi, yakni dari ladang warga atau rau warga,” ujarnya.
Setelah muncul nama Kopi Rau, Sopian mulai mengembangkan usahanya. Uang hasil penjualan kopi sebelumnya ia jadikan modal untuk membeli kopi yang disimpan warga Beririjarak di rumah mereka. Ia unggah produk Kopi Rau di media sosial. ”Saya rajin mengunggah kegiatan mengolah kopi ke media sosial," ujar Sopian yang mendapat bantuan peralatan dari Pemerintah Kabupaten Lombok Timur.
Perlahan tapi pasti, Sopian yang saat itu menjual kopi bubuk bisa merambah menjual produknya ke Mataram, kota-kota di Kalimantan, Jakarta, Malang, dan Bogor.
Petik merah
Memasuki 2019, Sopian kian serius dengan Kopi Rau. Tahun itu, ia mulai menjual green bean kopi Beririjarak sebagai produk utama. Tetapi, ia juga menjajal kopi arabika sebagai pembanding dengan membeli ke sejumlah daerah, seperti Gayo dan Sembalun.
Sejalan dengan itu, Sopian terus berusaha menjaga kualitas produknya. Ia lantas mengurangi produksi dalam jumlah banyak. Baginya, produksi sedikit tetapi dengan kualitas yang bagus jauh lebih baik.
Ia mulai mendorong petani yang memasok kopi untuk menerapkan sistem petik merah. Ternyata, hal itu tidak mudah meski Sopian membeli dengan harga lebih tinggi. Akhirnya, ia tetap menerima kopi dari warga meski tidak petik merah. Namun, setelah sampai di rumah, Sopian menyortirnya. Proses penyortiran melibatkan warga, terutama perempuan, di Beririjarak. Mereka dibayar dengan biji kopi yang tidak terseleksi.
Menurut Sopian, masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengangkat kopi Beririjarak agar manfaatnya dirasakan warga. Saat ini, setidaknya mulai ada perubahan di kalangan warga dalam memandang kopi, apalagi setelah Sopian memberikan fasilitas penyangraian kopi secara gratis. ”Dulu warga menyangrai kopi sendiri dicampur beras. Lebih banyak berasnya dari pada kopinya,” ceritanya.
Sopian juga tidak mendengar lagi orang-orang di desanya berkata, ”Buat apa menanam kopi? Ngapain capek-capek, toh warung kopi banyak.” Sekarang, setelah melihat hasil usaha kopi, sejumlah warga mulai sering datang ke rumahnya untuk berdiskusi dan minta diajari perihal usaha kopi, bahkan meminta bibit tanaman kopi.
Melihat warga mulai antusias, Sopian menyediakan kedai Kopi Rau untuk tempat diskusi warga. Dari diskusi itu mulai muncul anak-anak muda yang tertarik membudidayakan kopi. Saat ini ada enam anak muda yang memiliki 10-20 batang tanaman kopi. Mereka menanam kopi di ladang-ladang yang dulunya kebun kopi.
Warga yang sudah punya tanaman kopi kini mulai merawatnya. Beberapa warga juga mau bergabung dengan kelompok khusus petani kopi, Gawar Gong, yang dibentuk pada 2019. Kelompok dampingan Sopian ini beranggotakan 15 orang. ”Harapan saya, kelompok ini akan jadi pemasok kopi petik merah yang sekarang jadi identitas kopi Beririjarak,” kata Sopian.
Setelah pencapain ini, lanjutnya, ia tidak akan berhenti. Ia masih bermimpi memiliki tempat pengolahan kopi yang terpisah dari rumahnya. ”Saya juga ingin regenerasi pengolah kopi. Rencananya, saya akan merekrut pemuda, khususnya perempuan, untuk menjadi barista atau penyeduh kopi,”ujarnya.
Sopian sebenarnya ingin memfasilitasi bibit kopi bagi warga yang berminat membudidayakan kopi. Namun, masalah itu terbentur modal. Pihak desa sebenarnya mendukung, tetapi belum merealisasikan dukungannya di tengah pandemi ini lantaran sebagian besar anggaran difokuskan untuk penanganan Covid-19.