Sri Napsiah Menggagas Arisan Jamban Warga di Magelang
Sri Napsiah menggerakkan masyarakat untuk lebih peduli pada kebersihan dan kesehatan lingkungan.
Berawal dari keprihatinan melihat sebagian masyarakat sering buang air besar sembarangan, Sri Napsiah (56) menggagas kegiatan arisan jamban di Dusun Nglawisan, Desa Tamanagung, Kecaman Muntilan, Magelang. Melalui gerakan ini, Sri menumbuhkan kesadaran akan kebersihan yang berguna bagi kesehatan masyarakat.
Sri Napsiah adalah ibu tiga anak yang dipercaya menjadi Kader Kesehatan desa selama 10 tahun. Sebagai kader kesehatan, ia kerap melihat masyarakat terjangkit penyakit, seperti demam berdarah, diare, dan chikungunya. Beberapa anak balita juga mengalami stunting (tengkes).
”Di sini banyak sekali yang mengalami chikungunya. Kalau satu desa ada 300 kepala keluarga, sebanyak 100 di antaranya sakit chikungunya. Sakitnya tidak barengan, satu per satu gentian,” ujarnya, dihubungi dari Jakarta, Jumat 23 April 2021.
Perempuan lulusan SLTA Sleman ini juga pernah mengalami penyakit itu. Ketika baru bangun tidur, tiba-tiba ia merasakan demam dan nyeri sendi secara mendadak. Gejala lain yang dirasakan adalah nyeri otot, sakit kepala, kelelahan, pegal pada lutut dan ruam. Penyakit itu disebabkan oleh virus dan menyerang manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti.
Setelah ditelusuri, penyakit itu muncul karena ia tinggal di daerah dengan kebersihan dan sanitasi lingkungan buruk. Di tempat tinggalnya, sebagian masyarakat yang masih buang air besar di sungai. Padahal, aliran dari sungai itu dipakai masyarakat untuk mengairi sawah, mencuci pakaian, sayuran, dan alat masak. Sungai yang kotor menjadi sarang penyakit.
Buruknya sanitasi juga menyebabkan tengkes pada anak balita, selain kondisi kurang gizi kronis. ”Kalau sanitasi bersih, anak balita sehat, tidak akan ada stunting. Di desa saya ada dua anak stunting. Selain faktor sanitasi, mereka juga kurang gizi,” jelasnya.
Kegiatan arisan jamban bermula ketika Sri Napsiah mengikuti pelatihan kebersihan yang diadakan oleh USAID IUWASH PLUS pada 2017. Program ini merupakan sebuah inisiatif untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan akses air minum dan layanan sanitasi serta perbaikan perilaku higiene bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan di perkotaan. Pelatihan diselenggarakan untuk meningkatkan kesadaran kebersihan, membangun sanitasi, dan mendorong perilaku higienis masyarakat.
Pelatihan ini dihadiri perwakilan masyarakat, pengurus Kelompok Swadaya Masyarakat, dan staf pemerintah Desa Tamanagung dan Pucung Rejo. Pelatihan ini juga mengajari peserta keterampilan praktis dan pengalaman membangun jamban dan tangki septik yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI), dan meyakinkan peserta bahwa sarana sanitasi tersebut mudah dan terjangkau untuk dibangun.
Setelah pelatihan itu, daerah di RT 003 RW 013 dijadikan proyek percontohan untuk membangun sanitasi. Pembangunan sanitasi menggunakan dana jimpitan (sumbangan masyarakat yang dikumpulkan setiap bulan). Sayangnya, tempat tinggal Sri Napsiah yang berada di RT 004, bersebelahan dengan RT 003, tidak termasuk dalam daerah percontohan.
Padahal, di tempat tinggalnya terdapat 14 dari 60 kepala keluarga tidak mempunyai sanitasi layak. ”Kalau saya menunggu hibah dana dari pemerintah, itu terlalu lama dan jumlah sedikit. Dalam satu dusun hanya akan dibangun lima jamban. Belum tentu saya kebagian. Akhirnya, saya berinisiatif membuat arisan jamban,” kata perempuan yang ikut turut menandatangani komitmen Deklarasi Open Defecation Free (ODF), atau stop buang air besar sembarangan di Magelang pada 2019 ini.
Antusias
Sri Napsiah mengajak masyarakat yang belum punya jamban untuk ikut arisan yang besarnya Rp 3.000 per bulan per orang. Angka arisan memang tidak besar karena ia menyadari ada banyak pengeluaran masyarakat untuk kebutuhan lainnya. Beberapa peserta yang mampu mengikuti 2-3 arisan atau membayar uang lebih besar. Arisan dikocok setiap dua bulan sekali. Uang arisan itulah yang ia pakai untuk membangun jamban.
Arisan jamban pertama kali bergulir pada 3 Oktober 2018. Meski target utama peserta arisan adalah 14 kepala keluarga yang belum punya jamban, kenyataannya peserta mencapai 45 orang. Setiap peserta mendapatkan uang arisan yang besarnya Rp 650.000 yang dipakai sebagai ”pancingan” untuk membangun jamban. Peserta yang sudah mempunyai jamban memakai uang arisan untuk memperbaiki kamar mandi atau menambah jamban di rumahnya.
Uang arisan yang besarnya Rp 650.000 memang tidak cukup membangun jamban. Untuk membuat sebuah jamban sederhana dibutuhkan dana Rp 1.500.000. Ia meminta warga menabung sendiri untuk menutupi kebutuhan yang tidak terakomodasi pada uang arisan.
Biasanya, setelah arisan warga akan gotong royong untuk menggali fondasi, mengaduk semen, menata batu bata, mencangkul tanah untuk membuat lubang tangki septik. Namun, ada juga warga yang memilih membayar tukang untuk membangun jamban di rumahnya. Kini, semua warga sudah punya jamban. Kegiatan arisan pun berkembang menjadi pemilahan sampah.
Tantangan utama pada kegiatan arisan jamban ini, menurut Sri, terletak pada sulitnya mengubah perilaku masyarakat. Mereka turun-temurun menggunakan sungai untuk membersihkan diri. Warga bisa menempuh jarak 100-300 meter dari rumah ke sungai untuk buang air besar. Ada pula warga yang sudah memiliki kamar mandi bagus, tetapi saluran pembuangannya di arahkan ke sungai.
Untuk mengubah prilaku ini, Sri pelan-pelan berusaha meyakinkan masyarakat. ”Saya sering sosialisasi kesehatan ke simbah-simbah. Saya jelaskan, ’simbah kalau jalan kaki ke sungai capek, jalannya jauh. Sekarang, biar tidak capek, dibangun jamban di rumah’. Akhirnya mereka mengerti,” ujar Sri menirukan perkataannya kepada warga yang sudah berusia lanjut.
Ada pula warga yang ngotot tidak mau membangun jamban. Dengan berbagai alasan, seperti mengatakan tidak ada tempat atau tidak punya biaya, warga tersebut menolak. Padahal, kalau diperhatikan sebenarnya warga tersebut masih mampu membangun jamban. Sebagai jalan keluarnya, Sri akan meminta bantuan dana dari desa untuk bikin jamban di rumah warga.
Hingga kini, sanitasi di Indonesia memang masih menjadi masalah rumit yang berdampak besar terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan. Pembangunan sarana sanitasi yang layak masih relatif rendah dan tak sebanding dengan jumlah penduduk.
Berdasarkan laporan dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2007, diare bertanggung jawab pada 31 persen kematian anak usia 1 bulan hingga 1 tahun, juga 25 persen pada anak berusia 1 hingga 4 tahun. Diare pada anak-anak dari keluarga yang membuang kotoran di sungai 66 persen lebih tinggi daripada yang menggunakan toilet pribadi.
Baca juga : Mukh Ma’ruf, Jamban Sang Kepala Desa
Sebagai penggerak arisan jamban, Sri merasakan suka duka dalam kegiatannya ini. Ia sangat senang karena inisiasi kegiatan ini bisa membantu warga memiliki jamban di rumah mereka dengan begitu, bisa mendorong kebersihan, kesehatan, dan mengurangi penyakit. ”Dukanya ya kalau ada warga yang tetap tidak mau bikin jamban,” ujarnya.
Kini, kegiatan sehari-hari Sri diisi dengan menjahit pakaian, membantu suami bekerja sebagai montir, momong cucu, dan terus mengedukasi warga tentang pentingnya menjaga kesehatan dan kebersihan lingkungan. Ia merasa sangat senang karena keinginannya melihat semua warga mempunyai sanitasi tanpa bantuan dari mana pun sudah terwujud. ”Kalau dulu, saya merasa jijik ada di dekat sungai, sekarang saya merasa sungai adalah tanggung jawab kita bersama,” katanya.
Sri Napsiah
Lahir: 7 Desember 1965
Pendidikan: SLTA Sleman (Guru SD)
Aktivitas: Kader Kesehatan RT 004 RW013, Dusun Nglawisan, Desa Tamanagung