Dari banyak kepala desa di Indonesia, mungkin hanya ada beberapa yang terus memikirkan kelayakan jamban warganya. Salah satunya adalah Mukh Ma\'ruf, Kepala Desa Pucungrejo, Muntilan, Kabupaten Magelang.
Oleh
Budi Suwarna
·5 menit baca
“Berdayakan masyarakat miskin!” Pesan yang disampaikan pemimpin pondok pesantren tempat Mukh Ma’ruf pernah digembleng, menancap kuat di kepalanya. Pesan itu coba ia jalankan saat ia dipercaya warga sebagai Kepala Desa Pucungrejo, Muntilan, Jawa Tengah sejak 2007. Ia memikirkan kondisi rumah, ketahanan dapur, air bersih, hingga jamban warganya.
Di tengah cuaca terik, Senin (23/3/2021), Mukh Ma’ruf ditemani beberapa perangkat desa meninjau failitas sanitas di Dusun Growong, Pucungrejo. Di sana berdiri instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dan fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK) bercat warna-warni yang dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada 2018. Fasilitas yang digunakan secara bersama-sama oleh warga itu terawat cukup baik.
Namun, Ma’ruf tidak lantas puas. Pasalnya, di Desa Pucungrejo masih ada 100-an dari 2.800-an keluarga yang belum memiliki jamban di rumahnya. Salah satunya keluarga Trimulyani di Dusun Kenatan yang siang itu dikunjungi rombongan Ma’ruf. Di rumah Trimulyani tidak ada fasilitas jamban atau kamar mandi. Keluarga itu mesti berjalan 50-an meter ke MCK terdekat sekadar untuk mandi atau buang air. Kalau desakan buang air besar di tengah malam, kata Trimulyani, ia memilih menahannya sampai besok pagi.
Istilahnya buang air plung hap. Ini tidak standar dan bisa mencemari lingkungan
Selain itu, Ma’ruf masih menemukan banyak jamban warga yang limbahnya digelontorkan begitu saja melalui pipa paralon ke parit atau sungai. “Istilahnya buang air plung hap. Ini tidak standar dan bisa mencemari lingkungan,” ujar Ma’ruf sambil tersenyum.
Sejak beberapa tahun terakhir, Ma’ruf dan jajarannya fokus menggarap perbaikan sanitasi di Pucungrejo. Ia tahu sanitasi yang buruk akan berdampak pada kesehatan masyarakat secara luas. Tahun 2010, ia memutuskan membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) di desanya. Namun, saat itu inisiatif ditolak warga. Alasannya IPAL akan mencemari sumur-sumur warga sampai dengan jarak 50 meter. “Penolakannya cukup keras. Sampai didemo segala dan ditulis media,” cerita Ma’ruf.
Ia berusaha meyakinkan warga bahwa IPAL dibangun sesuai standar, dicor sehingga kedap air. Jadi, tidak akan mencemari sumur warga. Meski warga masih tetap menolak, Ma’ruf terus melangkah. “Setelah jadi dan merasakan manfaatnya, warga yang menolak malah minta dibangunkan IPAL lagi,” kata Ma’ruf.
Sejauh ini, sudah ada empat IPAL yang dibangun di Pucungrejo. Satu IPAL bisa melayani puluhan keluarga. Setiap keluarga hanya membayar iuran Rp 5.000 per bulan untuk biaya perawatan IPAL.
Ma’ruf melanjutkan proyek terkait jamban. Ia bekerja sama dengan USAID-IUWASH PLUS, sebuah inisiatif untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam meningkatkan akses air minum dan layanan sanitasi serta perbaikan perilaku higien bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan di perkotaan. Dengan bantuan IUWASH PLUS, Ma’ruf makin intensif mengkampanyekan gerakan jamban layak. Ia gunakan semua ruang komunikasi, mulai pengajian, rapat RT/RW, dan pertemuan lain untuk membujuk warga agar tidak lagi membuang limbah rumah tangga ke sungai.
“Banyak yang sudah sadar, tapi masih ada juga warga yang belum mau mengubah perilakunya,” ujar Ma’ruf.
Ma’ruf dan IUWASH PLUS lantas menggandeng Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas untuk pembangunan 40 jamban layak. Jamban layak yang dimaksud adalah toilet tertutup berikut septic tank yang dicor sehingga kedap air.
Program yang dimulai Selasa (23/3) lalu itu, ini dijalankan dengan sistem dana bergulir dengan dana berasal dari donasi pembaca Kompas. Setiap keluarga mendapat bantuan Rp 3 juta untuk membangun jamban layak. Mereka hanya mengembalikan Rp 1,5 juta secara mencicil. Uang pengembalian itu digunakan untuk membangun jamban layak bagi keluarga lain.
“Untuk tahap awal 40 keluarga dulu. Nanti setelah dananya bergulir ini bisa dipakai untuk 100 keluarga,” tambah Ma’ruf.
Selain membangun jamban layak, Ma’ruf memikirkan rumah untuk warga miskin. Ia bergerak ke sana ke mari mencari dana untuk merenovasi rumah tidak layak milik warga dalam program bedah rumah. Ia juga membangun 50 unit rumah sewa untuk warga miskin yang belum punya rumah di lahan milik desa. Warga hanya membayar Rp 250.000 per bulan.
Pengalaman pesantren
Ma\'ruf berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya hanya pekerja kecil di sebuah pesantren. Kadang jualan di pasar. “Pokoknya keluarga kami miskinlah. Ekonomi keluarga baru berkembang setelah bapak usaha kayu,” tutur Ma’ruf yang cukup lama mondok di pesantren di Yogyakarta dan Jombang.
Saat mondok di Jombang, ia sempat menjadi ketua pondok putra yang tugasnya antara lain mengkoordinasi pekerjaan bersih-bersih kamar mandi sampai solokan. Jamban di pesantren, lanjut Ma’ruf, banyak yang standar. Selain itu, jumlahnya selalu kurang dibandingkan jumlah santri. “Jadi, saya punya pengalamanlah soal jamban yang tidak standar,” ujar Ma’ruf sambil tersenyum.
Masalah kemiskinan dan jamban terekam terus di benak Ma’ruf. Apalagi pemimpin pesantren di Jombang berpesan kepada santri-santrinya agar ikut berperan dalam pemberdayaan masyarakat miskin setelah lulus dari pesantren. Karena itu, begitu Ma’ruf lulus dan pulang ke Pucungrejo dan menemukan banyak anak-anak dari keluarga miskin tak bisa sekolah pada 2000, ia menggalang dana untuk membantu mereka. Sampai sekarang, bantuan dana sekolah untuk keluarga miskin masih berjalan. Mereka yang menerima bantuan dana itu jumlahnya ratusan. "Mereka mendapat dana sampai selesai lulus SMA," kata Ma\'ruf.
Ma\'ruf juga terjun dalam gerakan memberdayakan masyarakat. Ia sempat menjadi ketua Badan Keswadayaan Masyarakat Pucungrejo dan Badan Permusyawaratan Desa Pucungrejo. Pada 2007, ia terpilih sebagai kepala desa Pucungrejo. Hingga masa ketiga jabatannya, program kerjanya fokus pada pemberantasan kemiskinan, pendidikan, perbaikan rumah, dan layanan sanitasi.
“Saya ingin warga saya 100 persen terlayani urusan sanitasinya. Semua anak bisa sekolah, dan tidak ada warga yang tinggal di rumah gedhek,” tegas Ma’ruf yang juga Ketua Paguyuban Kepala Desa Ngesti Projo Kabupaten Magelang.
Dari mana dana untuk membiayai semua program itu? “Dana itu sumbernya banyak Mas. Ada dana APBN, APBD, Dana Desa, Bagi Hasil Restribusi Pajak, PAD. Selain itu, ada bantuan gubernur, aspirasi anggota dewan, swasta, dan pihak lain. Tinggal bagaimana kita berkomunikasi dengan mereka (yang memegang dana),” jawabnya.
Makanya Mar’uf heran jika ada desa yang programnya tidak bisa jalan hanya karena tidak ada dana desa. “Tanpa dana desa bisa jalan kok. Kita cari dari sumber lain. Yang penting programnya jelas untuk kesejahteraan masyarakat," tegas Ma\'ruf.
Sebagai kepala desa, Ma\'ruf memang sangat lincah. Hal itu diakui oleh perangkat desa lainnya dan warga Pucungrejo. Fahrudin, Ketua Kelompok Swadaya Masyarakat Semali Asri Desa Pucungrejo mengatakan, "Kalau di tempat lain kepala desa keteteran menjalankan program yang diusulkan masyarakat, di sini justru masyarakat yang keteteran mengikuti ide-ide Pak Kades."
Mukh Ma’ruf
Lahir: Magelang, 19 Maret 1971
Pendidikan:
SDN Pucungrejo 1, Muntilan
SMPN 1 Muntilan
MAN 1 Yogyakarta
S1 Teknik Sipil dari Universitas Darul Ulum, Jombang
Ponpres Sunan Pandan Aran, Yogyakarta
Ponpres Bahrul Ulum, Tambak Beras, Jombang
Jabatan:
Kepala Desa Pucungrejo sejak 2007
Ketua Paguyuban Kepala Desa Ngesti Projo Kabupaten Magelang.