Karin Franken, Pejuang Kesejahteraan Hewan
Karin Franken yakin, kesejahteraan hewan berpengaruh pada kesehatan manusia dan lingkungan sekitarnya. Karena itu, hewan peliharaan, hewan ternak, atau hewan pekerja tidak bisa diurus sembarangan.
Karin Franken yakin bahwa kesejahteraan hewan berpengaruh pada kesehatan manusia dan lingkungan sekitarnya. Keyakinan itu mendorong Karin memperjuangkan kesejahteraan hewan sejak dua dekade terakhir.
”Kalau kita memiliki hewan peliharaan, hewan ternak, atau hewan pekerja mengurusnya enggak bisa sembarangan,” kata Karin Franken, salah satu pendiri Jakarta Animal Aid Network (JAAN), sebuah organisasi pemerhati kesejahteraan hewan, Kamis (4/2/2021), di Jakarta.
Saat ini, Karin tengah sibuk dengan program pembenahan kesejahteraan kuda pekerja di Jakarta Selatan. Organisasi ini bekerja sama dengan Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan Jakarta Selatan. Mereka memberi pelatihan dan pendampingan kepada para pemilik kuda ataupun kusir delman yang tinggal di wilayah ini, mulai cara menjaga kebersihan kandang, memberi pakan sehat, serta mengolah limbah agar tidak mencemari lingkungan.
Tujuan program ini ialah menyehatkan serta menyejahterakan tidak hanya kuda, tetapi juga manusia pemiliknya serta ekosistem di sekitar. JAAN percaya bahwa manusia, binatang, dan alam adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Oleh sebab itu, harus dipastikan terjadi simbiosis mutualisme yang menguntungkan antarketiga pihak.
Baca juga: Sehat Kuda Pekerja, Sehat Warga Ibu Kota
Penyayang binatang
Lahir dan besar di Belanda, Karin tumbuh di keluarga yang menyayangi binatang. Di rumahnya, di pinggiran kota Den Haag, keluarga memelihara anjing, kucing, dan kuda. Ia dan orangtuanya sudah terbiasa memberi makan dan membersihkan sendiri kandang hewan-hewan tersebut. Di Negara ”Kincir Angin” memang ada aturan ketat mengenai standar pemeliharaan dan pengelolaan kandang hewan peliharaan agar tidak mengganggu kenyamanan lingkungan sekitar.
Ketika Karin duduk di bangku kuliah pada awal 1990-an, orangtuanya pindah ke Indonesia sebagai ekspatriat. Ia pun kerap datang berkunjung. Selama tinggal di Jakarta ataupun bertualang menjelajahi Nusantara, Karin tetap memperhatikan kondisi hewan-hewan yang ia temui, baik hewan liar di alam, di jalanan, maupun hewan peliharaan. Kegiatan rutinnya ialah memberikan makanan anjing dan kucing jalanan yang hidup di sekitar rumah ataupun hotel tempat ia menginap.
Tidak sebatas memberi makan, Karin mulai mengumpulkan kucing liar yang hidup di sekitar tempat tinggalnya dan membawa mereka ke dokter hewan agar dikebiri. Tujuannya supaya populasi kucing terkendali dan perilakunya tidak agresif. Semua memakai biaya dari kantong sendiri.
Sering berinteraksi dengan hewan membuat Karin cermat mengamati hubungan manusia dengan hewan. Ia menemukan bahwa konsep pemeliharaan hewan di masyarakat Indonesia berbeda dengan masyarakat barat. Meski banyak orang Indonesia yang menyayangi dan merawat binatang peliharaan dengan baik, banyak pula mereka yang kurang peduli dengan hal itu. Perilaku ini terjadi di kalangan sosial-ekonomi bawah hingga atas.
”Ternyata di Indonesia suka itu tidak berarti sayang. Saya bertemu orang-orang yang memiliki uang sehingga mengoleksi hewan-hewan unik atau anjing dan kucing dari ras yang mahal, tetapi kesejahteraannya tidak diperhatikan. Mereka dikurung di kandang sampai stres, bahkan binatangnya sering dimarahi atau dipukul,” tuturnya.
Hal serupa juga terjadi dengan orang-orang yang menggantungkan nafkah dari hewan, seperti kusir delman dan topeng monyet. Binatang-binatang itu tidak dirawat dengan baik, sering kelaparan, dan mengalami kekerasan. Menurut Karin, hal ini karena pemilik belum memahami bahwa binatang yang sehat dan bahagia akan membuat pemiliknya bahagia juga. Binatang sejahtera otomatis mengurangi biaya perawatan. Jika binatang dimanfaatkan untuk bekerja, binatang itu akan bisa bekerja dalam jangka waktu lama.
Semangat ini membuat Karin bergabung menjadi sukarelawan penyelamat binatang, salah satunya di Pondok Pengayom Satwa, Ragunan. Bahkan, ia sempat menjabat sebagai ketuanya. Saat itu, misi gerakan penyayang hewan Ibu Kota ialah sebatas mendapatkan majikan baru untuk para binatang. Lama-kelamaan Karin berpikir bahwa cara ini juga tidak sehat karena belum ada metode yang menjamin bahwa majikan baru ini akan menyayangi dan merawat hewan piaraannya dengan baik.
Ia memutuskan keluar dari organisasi tersebut dan mendirikan JAAN pada 2008. Lembaga ini adalah buah kerja sama Karin dengan rekannya, Femke Den Haas. Mereka berbagi tugas, Karin bertanggung jawab atas hewan-hewan domestik dan Femke mengurusi isu hewan-hewan liar. Meskipun berbasis di Ibu Kota, kiprah JAAN mencakup seluruh Indonesia.
Mereka menyelenggarakan berbagai penyuluhan bagi para pemilik hewan maupun orang-orang yang menggantungkan nafkah dari hewan. Kegiatan ini sudah diadakan di Nusa Tenggara Barat, Bali, dan Jawa Barat. Dari hasil penyuluhan ini muncul komunitas-komunitas lokal peduli kesejahteraan hewan, antara lain di Karimunjawa dan Lombok. Mereka menjadi rekan JAAN dalam menolong hewan.
Misi awal mereka ialah kampanye antimakan anjing. Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), perdagangan daging anjing berkaitan erat dengan penyebaran rabies. Dalam pedoman hewan pangan terbitan Kementerian Pertanian, anjing juga tidak termasuk binatang layak dikonsumsi. Berbeda dengan sapi, kerbau, kambing, babi, dan ayam. Data Kementan juga menunjukkan hanya 7 persen penduduk Indonesia memakan daging anjing sehingga jumlah ini tidak sepadan dengan risiko penularan rabies.
”Kami mengajak masyarakat berdialog, bukan asal melarang mereka makan daging anjing. Semuanya butuh proses. Kuncinya ialah bersama-sama melihat budaya pangan lokal dan mencari solusi penerjemahan kembali budaya itu sesuai dengan kondisi lingkungan sekarang,” kata Karin.
Setelah kampanye penghentian konsumsi daging anjing berjalan stabil, JAAN berkembang ke kampanye penghentian topeng monyet. Atraksi jalanan ini dianggap menghibur oleh masyarakat, tetapi di baliknya ada risiko yang besar. Manusia bisa menularkan berbagai penyakit ke monyet, termasuk tuberkulosis. Demikian pula sebaliknya, penyakit yang ada di monyet juga bisa menjangkiti manusia. Apalagi, dalam atraksi topeng monyet mayoritas penontonnya anak-anak.
Selain itu, perlakuan pawang kepada monyet juga sarat kekerasan. Penelitian JAAN mengungkapkan bahwa monyet-monyet sering dipukul dan tidak dikasih makan apabila tidak mematuhi pawang. Oleh sebab itu, organisasi ini mendekati Joko Widodo yang saat itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta untuk menjadikannya program pemerintah.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan JAAN menawarkan ganti rugi Rp 1 juta untuk setiap monyet yang diserahkan oleh pawang. Terkumpul 120 ekor monyet yang ditampung di Taman Margasatwa Ragunan sampai mereka dinyatakan sehat untuk dilepas ke alam liar.
”Bagi pawangnya kami menawarkan pelatihan gratis untuk keterampilan kerja, terserah jenis keterampilan yang mereka pilih. Sayangnya pawang-pawang enggak ada yang berminat. Mereka memilih mengambil uang ganti rugi lalu pergi,” tuturnya.
Saat ini, untuk divisi hewan domestik yang diurus oleh Karin tengah fokus membenahi perawatan kuda pekerja di wilayah Jakarta. Kuda-kuda ini biasanya menarik delman di wilayah Puri Kembangan, Monumen Nasional, dan Ragunan. Bagi Karin yang tumbuh besar hobi melakukan olahraga berkuda, penting menjaga kesehatan hewan ini karena apabila sakit biaya perawatannya mahal sekali dan sangat mmeberatkan kusir. Demikian juga dengan pengelolaan kandang beserta limbahnya agar jangan terlalu dekat dengan permukiman dan sumber air.
Karin mengatakan, semakin banyak anggota masyarakat yang memedulikan hewan jika dilihat dari meningkatnya sukarelawan dan donatur JAAN. Ia optimistis masyarakat Indonesia akan kian memahami bahwa kesejahteraan hewan bukan hanya pekerjaan orang-orang berduit, tetapi bagian dari menjaga kesehatan alam.
Bacajuga: Delman Wisata Butuh Aturan Komprehensif, Bukan Pelarangan
Karin Franken
Lahir: Den Haag, Belanda, 13 Agustus 1972
Suami: Elmo Hillywan
Anak: Anando Hillywan
Pendidikan: S-1 Pemasaran dan Komunikasi Universitas Erasmus, Belanda
Pekerjaan:
- Pendiri Jakarta Animal Aid Network bersama Femke Den Haas
- Pemilik Animal Clinic, Jakarta