Kalau kuda pekerja sehat, kandang bersih, pengelolaan benar, para penarik delman juga diuntungkan karena modalnya tidak habis untuk kuda yang sakit. Kota pun semarak dengan delman wisata yang jauh dari kumuh dan berbau.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·6 menit baca
Kuda pekerja sering terlihat di jalanan atau tempat wisata di Ibu Kota, tetapi luput dari perhatian masyarakat. Bahkan, dari pemiliknya sendiri, terutama dalam hal kesehatan maupun kesejahteraannya. Padahal, kesehatan dan kesejahteraan kuda berpengaruh pada kesehatan manusia dan lingkungan sekitarnya.
Situasi itu melatar-belakangi program kerja sama Jakarta Animal Aid Network (JAAN) atau jaringan pemerhati hewan di Ibu Kota dengan Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan (Sudin KPKP) Jakarta Selatan. Mereka meluncurkan program pembenahan kesejahteraan kuda pekerja di Kelurahan Petukangan, Pesanggarahan, Kamis (4/2/2021). Kegiatan dimulai dengan pemberian vaksin tetanus dan berbagai pengobatan.
Kuda pekerja umumnya digunakan sebagai penarik delman. Di kandang kuda Pesanggrahan yang terletak di dekat tempat pemakaman umum Joglo dan Jalan Palem VIII itu, terdapat 21 ekor kuda dan 30 ekor sapi. Jika dilihat dari Jalan Palem VIII, mereka yang lalu lalang mungkin tak akan mengira di lokasi itu terdapat kandang kuda dan sapi. Bagian luarnya hanya tampak seperti lahan perkebunan pisang dikelilingi tembok.
Cacing Strongyloides ini sangat berbahaya karena bisa berpindah ke manusia dan binatang lain melalui saluran pencernaan. Kalau di manusia akan mengakibatkan kerusakan otak. (Hasudungan Sidabalok)
Barulah ketika melangkah sekitar 20 meter ke dalam lahan, tampak delman-delman berjejer. Di pojokan lahan ada kandang berisi 4 ekor kuda. Kandang ini hanya berupa struktur dari kayu dan bambu bekas, beratapkan terpal dan karung goni. Tingginya tidak sampai 2 meter dan disekat, yang memiliki lebar 2 meter untuk setiap kuda.
Tanah di lahan itu lembek ketika diinjak. Kamis pagi itu, salah satu pemilik kuda memperingatkan Kompas untuk berhati-hati melangkah. Rupanya, kotoran kuda bertebaran di lahan itu dan hanya ditimbun serbuk gergaji kayu dengan maksud menahan bau busuk menguar, meskipun tidak begitu berhasil.
Setelah jejeran delman itu, ada jalan setapak tertutup rimbun pepohonan pisang. Rupanya, jalan itu menuju sebuah perkampungan yang terdiri atas rumah-rumah petak dari papan triplek dan seng, berikut kandang 17 ekor kuda dan 30 ekor sapi. Rumah dan kandang nyaris tidak berjarak.
Lingkungan berisiko
Apabila di luar kandang kotoran kuda ditimbun dengan serbuk gergaji, di labirin kandang ini kotoran justru dibiarkan begitu saja. Bercampur air hujan dan tanah basah, kotoran itu menjadi becek dengan bau menguar. Anak-anak bermain dengan santainya di dekat kandang satwa-satwa itu.
“Kondisi seperti ini berbahaya sekali untuk manusia dan binatang. Bakteri tetanus, Streptococcus, Staphylococcus, Salmonella, Escherichia Coli, dan cacing parasit seperti Strongyloides berisiko menimbulkan penyakit infeksius. Belum lagi kuman diserap oleh tanah dan mencemari air,” kata Kepala Sudin KPKP Jakarta Selatan drh Hasudungan Sidabalok.
Dokter hewan ini menjelaskan bahwa risiko penularan penyakit dari hewaan ke manusia (zoonosis) sangat besar di lingkungan yang tidak memberi jarak antara tempat tinggal manusia dengan hewan, tanpa pengelolaan limbah yang baik pula. Apabila warga tidak mencuci tangan memakai sabun dan air mengalir, kuman-kuman tersebut akan masuk ke saluran pencernaan dan mengakibatkan penyakit seperti diare dan tifus. Air yang dipakai membilas pun jangan sampai mengandung bakteri berbahaya.
Apabila menyentuh kulit dan tidak segera dibersihkan, bisa menimbulkan iritasi hingga borok. Kuman tetanus yang ada di dalam kotoran kuda juga sangat berbahaya. Jika kulit manusia atau hewan mengalami lecet dan terkena kotoran kuda, maka akan terkena tetanus yang berisiko pada kematian. Belum lagi risiko penyebaran lebih luas melalui vektor lalat, tikus, dan kecoak.
“Cacing Strongyloides ini sangat berbahaya karena bisa berpindah ke manusia dan binatang lain melalui saluran pencernaan. Kalau di manusia akan mengakibatkan kerusakan otak,” papar Hasudungan.
Dasuki, pemilik dari kuda yang ia beri nama Raymond mengatakan, biasanya ia hanya menyiram kandang pada pagi dan sore hari untuk mengeluarkan kotoran dari lantai kandang. Setelah itu, kotoran dibiarkan saja mengendap di tanah. Seringkali, Raymond memakan rumput atau dedak yang berceceran di lantai kandang dan tercampur kotorannya sendiri.
Limbah cair dari kandang kuda pun tidak melalui pengolahan sebelum dipaparkan ke tanah. “Warga sini mandi dan masak pakai air yang dipompa dari tanah,” ujarnya.
Pelatihan
Dalam pertemuan itu, Hasudungan memberikan setiap pemilik kuda sebuah buku kecil yang wajib mereka isi mengenai catatan vaksinasi serta pengobatan yang telah diberikan. Satu kuda memperoleh satu buku. Pemilik harus memasukkan nama, usia, dan foto kudanya.
Menurut Hasudungan, kuda-kuda pekerja di Jaksel sudah ditanami mikrocip sejak tahun 2018. Melalui teknologi ini, pemerintah bisa melacak kuda biarpun hewan itu telah berpindah tangan karena dijual pemiliknya. Selain itu, peranti lunak ini juga otomatis mencatat semua vaksinasi, pengobatan, dan konsentrat multivitamin yang dikonsumsi kuda.
“Pemberian buku pemantau kuda ini untuk mengajarkan ketelatenan kepada pemilik agar mereka memperhatikan kuda. Pelan-pelan kami mengenalkan sistem pengelolaan kandang yang sehat untuk lingkungan. Nanti secara rutin dokter hewan dari Sudin KPKP Jaksel datang memantau,” ujar dia.
Sofyan, salah satu pemilik kuda mengatakan, beberapa teknik pengelolaan kandang dan perawatan kuda sudah ia pelajari. Ia biasa membawa kudanya, Jono, untuk menarik delman di Taman Margasatwa Ragunan. Untuk dapat beroperasi di sana, berarti Sofyan harus memenuhi berbagai persyaratan dari pengelola kebun binatang seperti standar kebersihan dan kesehatan hewan.
Menurut dia, permasalahan ada di lahan tempat kandang. Umumnya, lahan tersebut bukan milik para kusir. Mereka menyewa dari orang lain dengan tarif Rp 200.000 untuk setiap kuda. Tidak jarang pula para pemilik terpaksa berpindah-pindah lokasi kandang bila lahan hendak dijual si empunya tanah.
“Di sini saya hanya bisa memastikan kandang Jono (kuda milik Sofyan) bersih. Tapi, dia kan diapit sama kuda-kuda lain yang pemiliknya enggak telaten menjaga kebersihannya,” tutur Sofyan.
Salah satu pendiri JAAN Karin Franken menjelaskan, mereka sudah mendekati para kusir delman ini sejak tahun 2009. Semua berawal dari berbagai keluhan wisatawan, terutama di Monumen Nasional (Monas) terkait kuda-kuda yang kurus, kelelahan, dan bau. Secara rutin, organisasi ini mengadakan penyuluhan swadaya bagi para kusir dan pemilik kuda mengenai perawatan dasar hewan tersebut.
“Delman adalah budaya Nusantara dan atraksi pariwisata. Akan tetapi, sekarang kita harus memikirkan pengelolaan bisnis, hewan, dan kesehatan yang baik agar tidak membahayakan lingkungan. Kalau hewannya sehat, kandangnya bersih, pengelolaannya benar, para penarik delman juga yang diuntungkan karena modalnya tidak habis untuk kuda yang jatuh sakit,” ucapnya.
Langkah lebih lanjut ialah mengadvokasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta agar memetakan titik-titik wisata yang cocok untuk atraksi delman. Tempat itu harus memiliki fasilitas istirahat dan pengelolaan limbah kuda yang benar. Menurut Karin, bila delman dikelola dengan tepat, wajah Ibu Kota juga yang akan tampak positif.
Pada tahun 2009, JAAN mendata ada 740 ekor kuda di Jakarta yang dipakai bekerja di daerah-daerah wisata. Pada periode 2010-2012, organisasi ini sempat menyediakan tempat peristirahatan bagi para kusir dan kuda di wilayah Puri Kembangan, Jakarta Barat. Itu dipilih karena kuda-kuda kebanyakan datang dari wilayah pinggiran Jakarta dan harus menempuh perjalanan jauh.
Apalagi, di tempat seperti Monas tidak ada fasilitas penanganan limbah kuda, sehingga bau air kencing dan kotoran kuda menguar, di lokasi yang tak jauh dari simbol pemerintahan. Namun, tempat istirahat tersebut tidak bisa dilanjutkan karena dipermasalahkan sejumlah pihak di Puri Kembangan.
JAAN memahami bahwa kuda pekerja dan pemiliknya bekerja sama untuk saling menghidupi. Kekurangan yang ada, kata Karin, itulah yang harus diatasi bersama. Bukan untuk berpihak kepada salah satu pihak. Pemilik dan kudanya, sama-sama memerlukan perhatian demi kesehatan manusia, kuda, rumah, dan kotanya.